EIGHTEEN

269 21 6
                                    

Vania berlari kecil agar bisa menyeimbangi langkah laki-laki yang tengah berjalan lumayan jauh di depannya. Napasnya sudah tersengal, tetapi masih ia paksakan berlari. Sesekali bibir kecil perempuan itu memanggil nama orang itu, tetapi tak ada balasan, tolehan saja tidak. Hingga akhirnya mereka berhenti di roof top sekolah yang berupa taman kecil.

"Nath, sampe kapan lo ngehindar dari gue?" Tanya Vania dengan napas yang terputus-putus.

Nathan berjalan ke arah Vania. Dicengkramnya kedua bahu Vania dan menatap wajah gadis yang bersimbah keringat. "Ga seharusnya lo ngejar gue ke sini. Itu cuma bikin lo capek," ucapnya tenang.

"Nale! Gue ga peduli lo mau marah atau apa, terserah. Lo masih tetep jadi Nale buat gue." Kedua pasang mata saling bertemu. "Le, it's almost a week since I saw you crying on your balcony. I just want to know what you feel. Gue emang ngebiarin lo untuk cari gue di saat lo udah siap cerita, tapi lo ga pernah dateng ke gue, atau ke yang lain. Lo aneh beberapa minggu ini, almost everyday I see you crying on your balcony, on the roof top, and anywhere. Setelah lo terima telepon lo juga nangis. Sekarang gue tanya, apa hal yang bikin lo nangis adalah pemicu berubahnya lo?" Vania menatap lurus ke arah mata Nathan. Yang ditanya justru membuang pandangan, menghindari tatapan semi-intimidasi dari Vania. Bukannya menjawab, Nathan justru menarik tangan Vania menuju sebuah gazebo mini di sisi roof top.

"Actually, I dunno how I tell this. Gue rasa, lo ga perlu tau, karena ga penting buat lo!" Suaranya kembali seperti semula, dingin dan datar.

"For a million times, you say the same sentence to me! No, Nathan, it's important for me, because you're my best friend. Best friend know each other's secret," ujar Vania.

"Stop telling I'm your best friend, because I ain't. Gue ga pantes jadi sahabat lo, karena sahabat ga pernah nyakitin." Nathan memutar bola matanya.

"Terserah! But I begging you, tell me what did made you crying."

"It's kinda awkward to share my story to you, or other people."

"It's kinda awkward sitting on gazebo without any conversation between us, just an empty-conversation," timpal Vania sambil mendengus.

"Lo yang mulai duluan."

"Oke. Wanna sharing with me?" Vania terus berusaha.

Nathan mendengus. "Okay." Laki-laki menarik napas dalam. "Jadi...." kalimatnya tergantung begitu saja.

"Ayo dong cerita." Tatapan memohon keluar dari diri Vania. Berharap laki-laki itu menaruh kepercayaan pada dirinya dengan menceritakan masalahnya.

"I'm a broken home victim." Singkat, padat, jelas, serta menohok. Gadis si sebelah Nathan langsung menganga tak percaya.

Om Regi, Tante Silvi? Batin gadis itu, bingung.

"Lo bercanda, 'kan?" Vania berharap yang diucapkan Nathan adalah perkataan dusta.

Nathan menggeleng. "Gue ga bercanda. Gue serius," ujarnya dingin.

"O... ke. Wanna sharing with me?" Vania menampakkan deretan giginya.

Nathan mengangguk perlahan. "Gue cerita satu-satu, ya. Gue mulai dari pertanyaan lo kenapa gue berubah. Jadi, orang tua gue baru aja resmi cerai beberapa bulan lalu. Kalau ditanya kaget atau terpukul, gue udah pasti jawab ngga. Karena itu gue mau dari dulu. Gue capek bolak balik rumah sakit untuk jahit luka." Nathan menggulung hoodie-nya dan memperlihatkan bekas jahitan yang kentara. "Semenjak pindah ke Marseille, ortu gue sering berantem. Dari adu mulut sampai adu barang. Yang pada akhirnya yang harus ngerasain sakitnya pecahan kaca itu gue, not once, but several times in a day. Di saat gue berdarah-darah, mereka justru saling menyalahkan dan setelah itu gue baru dibawa ke rumah sakit."

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang