FIVE

340 42 6
                                    

Nathan tengah men-dribble bola basket di lapangan sekolah. Matanya menatap tajam ke arah ring basket setinggi tiga meter tersebut.

"Nale!" panggil Vania dari pinggir lapangan.

Nathan hanya melirik sekilas dan tak menghiraukan Vania yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Di lemparnya bola basket ke dalam ring basket. Tidak masuk. Diambil bola tersebut dan meletakkannya di dalam keranjang, lalu pergi meninggalkan lapangan.

Vania yang melihat Nathan hanya bisa bersungut.

Nale... kenapa lau berubah sih? batin Vania.

Vania berjalan mengikuti Nathan di belakang. Berharap Nathan meliriknya dan mau berbicara dengannya. Vania sengaja menghentakan sepatu dengan keras agar Nathan mau menanggapi dirinya. Ya, cukup berhasil. Nathan melirik ke arah Vania dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Mau ngapain sih?" tanya Nathan diikuti dengusan kesal.

"Pulang, yuk!" ajak Vania dengan nada sedikit ketakutan.

"Pulang sendiri emang ga bisa? Gue masih ada urusan," ucap Nathan ketus.

"Oh, ya udah. Nanti malem gue anterin kue bolu kesukaan lo, ya," kata Vania lalu berjalan mendahului Nathan.

"Terserah!" ujar Nathan cuek.

"Nale... kenapa lo berubah?" gumam Vania

Nathan menghampiri Vania yang berjalan di depannya. Dihempaskan tubuh Vania ke dinding dan Ia menekan kedua pipi Vania

"Stop panggil gue dengan sebutan Nale, karena gue ga suka! Jangan pernah tanya kenapa gue berubah, karena gue bukan lagi anak tujuh tahun yang selalu ada buat lo! Gue seorang Nathan yang udah besar, bukan lagi Nathan kecil yang bawel!" Nathan melepas tangannya dari pipi Vania. Terlihat cap jarinya tercetak jelas di pipi Vania.

Nathan berjalan meninggalkan Vania di lapangan. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipi mulus Vania. Hatinya terasa dicabik-cabik oleh ucapan Nathan barusan.

Delapan tahun berhasil mengubah lo jadi Nathan yang lain. Lo bukan lagi Nathan dengan sejuta omongan yang bikin orang sakit kuping, tapi sekarang lo adalah Nathan yang memiliki sejuta ucapan pedas yang bikin sakit hati. Gue kangen Nathan kecil, gue kangen Nale, gue bener-bener mau balik ke masa dimana lo ga kaya gini, batin Vale miris.

"Lo kenapa?" tanya Tommy yang kebetulan sedang melewati lapangan.

Vania buru-buru menggeleng dan menghapus bulir air matanya.

"Gue tau lo kenapa-kenapa. Kenapa? Masalah Nathan?" tanya Tommy.

Vania mengangguk lesu. Seketika Tommy langsung menarik tubuh Vania ke arah dadanya ketika anggukan tersebut diiringi bulir air mata. Dibawanya Vania pergi dari lapangan menuju tempat yang lebih sepi.

^^^

"Mbak, titip kue ini buat Nathan, ya," ucap Vania pada seorang pembantu di rumah Nathan.

"Iya. Nak Vania mau masuk dulu?" tanya seorang wanita paruh baya itu.

"Nggak usah, Mbak. Aku pulang dulu, masih ada PR," ucap Vania seraya berjalan menuju rumahnya.

PR untuk mencari Nathan kecil yang hilang, batin Vania.

Tin tin

Suara klakson mobil memekakkan telinga Vania yang tengah berjalan. Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati mobil Nathan sedang melaju dengan klakson yang terus berbunyi. Langsung Vania meminggirkan langkahnya.

"Lo udah mau mati? Jalan tuh yang bener!" ujar Nathan ketus.

Vania hanya bisa menelan mentah ucapan Nathan yang begitu menusuk. Diteruskannya berjalan menuju rumahnya yang tinggal beberapa meter lagi.

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang