03.20 AM
Dentuman demi dentuman musik menggema diseluruh ruangan. Gemerlap-gemerlap cahaya lampu warna neon membuat ruangan yang luas itu rasanya sesak dan sempit. Jiwa orang-orang yang berada diruangan itu pada waktu selarut itu bahkan sudah tidak menempel pada raganya, pergi melayang, melanglang buana seperti tak menyentuh tanah lagi.
Namun mereka sebenarnya lupa kalau kenikmatan yang mereka rasakan saat ini hanyalah sesaat. Sebentar lagi, mereka akan kembali ke dunia disambut dengan perasaan mual dan tidak enak.
Seorang cewek yang memakai baju kaos merah marun dibalut jaket kulit dan celana jeans berwarna hitam tengah duduk dikursi bar. Sudah tiga jam Ia berada diantara keramaian itu, tapi Ia hanyan baru akan menghabiskan sebotol radler.
Penampilannya beda. Beda dari kebanyakan perempuan yang biasanya nongkrong di club malam jam segini. Pakaiannya lebih sopan dan tertutup untuk kadar perempuan. Rambutnya pun di ikat ekor kuda. Ia juga hanya memakai sepatu kets berwarna merah marun.
Hingga akhirnya Ia meneguk habis radler dibotolnya hingga tak tersisa lagi.
"Ngga nambah, Rein?", Tanya sang bartender laki-laki yang memang sudah lama mengenal pelanggan setianya itu. "Lo udah lama disini, baru kali ini minum radler doang. Cuman sebotol lagi."
Cewek bernama Rein itu meletakkan botol radler kosongnya keatas meja bar, tepat dihadapan lelaki bartender yang bernama Daniel itu. Cewek berbola mata coklat terang itu mengambil kunci mobil yang terletak didekat botol radlernya, kemudian merogoh dompet yang berada disaku celananya. Ia pun mengeluarkan 4 lembar uang berwarna merah dan menyerahkannya pada Daniel.
Daniel menerima uang tersebut dan berniat mengambilkan kembalian dikasir. Namun Rein menahannya. "Udah, lebihnya buat lo aja, sob."
"Lo selalu aja gini ke gue. Lo cuman mesen satu botol radler yang harga dipasaran cuman 30 ribuan loh," kata Daniel sedikit tidak enak pada Rein. Cowok itu berniat kembali ke kasir untuk tetap mengambilkan kembalian untuk Rein.
Namun lagi-lagi Rein menahannya. Kini cewek itu tersenyum kearah Daniel. "Udah, Dan. Gue ikhlas itu buat lo. Lo kan temen gue."
Rein lalu turun dari kursi bar dan langsung berjalan melewati keramaian menuju pintu keluar club. Sementara Daniel, cowok itu menatap kepergian Rein sambil geleng-geleng kepala.
"REIN!"
Belum jauh cewek itu berjalan dari bar, Ia mendengar namanya dipanggil oleh suara yang sangat Ia kenal itu adalah Daniel. Cewek itupun berbalik dan melemparkan tatapan bertanya pada Daniel yang mengukirkan senyum tipis dibibirnya.
"Kalo lo butuh apa-apa, cerita sama gue yah!"
Rein hanya mengacungkan jempolnya sebagai tanda setuju. Ia pun kembali melangkahkan kakinya keluar dari tempat tersebut.
***
Cewek itu menarik nafasnya dalam. Lalu menghembuskannya secara kasar. Rein menyusuri jalan tol yang sepi saat dini hari sendirian sepulangnya dari club. Entah mengapa malam ini Ia tidak ingin mabuk, tidak seperti biasanya.
Ia pun menepikan mobilnya dipinggir jalan tol. Mematikan mesinnya dan memilih membuka kaca mobilnya, menikmati dan membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Cewek itu pun meraih kotak rokok, mengeluarkannya sebatang dan menyalakannya.
"Kurang ajar kamu! Kamu pikir dengan berkelahi, masa depan kamu akan baik-baik saja?! Kamu pikir, papa sama mama akan nanggung kamu terus-terusan sampai mati?!"
"Suka atau ngga suka, keputusan papa ngga akan diganggu gugat! Papa sama mama mindahin kamu ke SMA Weither agar kamu lebih terkontrol."
Kalimat demi kalimat itu terus terngiang diotaknya. Bahwa Ia harus menerima kenyataan akan bersekolah disekolah yang bina oleh yayasan milik orang tuanya. Sekolah yang tak pernah Ia suka, yang paling Ia benci.
Cewek itu memejamkan matanya. Meredam rasa kesal dan emosinya, terlebih harus menerima kenyataan untuk pindah sekolah walaupun baru 3 bulan yang lalu menjalani penerimaan siswa baru di sekolah sebelumnya, SMA Tris Marga.
Singkat cerita, anak perempuan dari pemilik yayasan sekolah aka kakak kelasnya selalu menindasnya dengan alasannya bahwa tampang Rein memang harus diberi pelajaran sejak dini, meskipun Rein sendiri tak pernah melakukan apa-apa pada anak perempuan pemilik yayasan yang bernama Bella itu.
Rein juga dituding sering mendekati ketua basket yang merupakan mantan pacar Bella. Namun sebenarnya, saat itu Rein memang patut dan selalu dibanggakan karena sejak MOS, Ia telah dikenal dapat bermain dengan sangat baik oleh kalangan ekskul basket disekolahnya.
Karena tak terima diperlakukan seperti itu, Rein segera bertindak. Ia tetap tak terima diperlakukan seenak jidat kakak kelasnya. Ia terpaksa menghajar cewek itu tanpa tanggung-tanggung, seperti layaknya Ia menghajar seorang laki-laki.
Rein kembali menghembuskan asap rokoknya ke udara dan menikmati setiap ketenangan yang ada disekitarnya saat ini. Ditengah kegundahannya, hanya hal seperti ini yang dapat membuatnya tenang.
Ia juga harus menerima kenyataan bahwa ayahnya tak pernah memberinya kasih sayang.
Bahwa dunia memang tak pernah berpihak pada dirinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
O'Clock [REVISI]
Teen FictionIni kisah persahabatan, lika-liku hidup, juga kisah cinta yang sulit dijelaskan. Sebuah kisah perasaan yang terpendam, mencarinya, dan pada akhirnya menemukan akhir kebahagiaannya. Ini kisah enam orang sahabat yang menemukan hidup mereka dikisahnya...