REIN's
"Hai ma.", sapa gue sambil tersenyum pada mama yang duduk disamping ranjang gue. Ini udah pagi dan gue baru bangun.
Mama ngusap rambut gue. Gue seneng banget liat mama gini. Dia bisa ada disamping gue saat gue bener-bener ngga tau mesti apa.
"Bentar lagi dokter datang buat meriksa keadaan kamu sekaligus mindahin ke kamar rawat.", kata mama. Gue hanya manggut-manggut kecil tanda mengerti.
"Ma, Rein boleh pulang yah hari ini.", kata gue dengan memohon. Asal kalian tau, disini ngga enak. Gabut, ngga bisa kemana-mana.
"Ngga bisa sayang.", kata mama sambil tersenyum ngeyakinin gue.
Oke, gue yakin kalo mama udah senyum ke gue.
Ngga lama, dokter dan dua orang suster masuk ke tirai dimana gue berada. Mereka meriksa segala macam keadaan gue. Gue ngga ngerti apa yang mereka periksain ke gue, yang jelas mereka nanya-nanya apa yang gue rasa selama udah sadar.
Setelah meriksa gue, mereka pindah ketirai sebelah buat meriksa orang yang ada disana juga. Ngga berapa lama, datang lagi perawat laki-laki buat mindahin gue kekamar rawat. Mereka bantuin gue buat pindah kekursi roda.
Melewati beberapa lorong rumah sakit, naik lift, ngelewatin beberapa orang yang juga duduk dikursi roda, gue akhirnya sampai dikamar rawat inap yang ternyata VIP. Gue kembali dibantu agar bisa berbaring kembali. Mama ikut nyusul masuk sambil bawa barang-barang yang dari UGD.
"Ma, udah jam berapa sih?", tanya gue pada mama yang masih sibuk ngerapihin barang-barang.
"Udah mau jam sebelas.", jawab mama.
Lagi-lagi, gue hanya merespon dengan manggut-manggut kecil.
"Sayang, mama pergi dulu yah.", kata mama lalu nyamperin gue ditempat tidur sambil nyium kening gue. Gue hanya bisa natap dia entah apa yang rasanya ganjel didiri gue sekarang. Gue bahkan lupa apa kejadian kemaren. Tidur semalem mungkin cukup buat gue sedikit amnesia.
Mama pun keluar dari kamar inap. Suara hihgheels-nya mulai menjauh. Artinya dia benar-benar punya urusan yang penting banget hari ini.
***
AUTHOR's
Jennifer berjalan menyusuri berbagai koridor rumah sakit untuk menuju keparkiran segera. Tapi matanya menangkap sosok yang tak lain dan tak bukan adalah Rafa. Ia menghampiri anak cowok yang masih berseragam sekolah itu.
"Oh, hai tan. Mau kemana?", sapa Rafa duluan sambil menyalimi tangan Jennifer.
"Kamu mau ke UGD?"
"Iya tan. Emang kenapa?"
"Gini, tante harus pergi ke perceraian hari ini. Rein udah pindah kekamar inap VIP di lantai dua. Tante harap kamu jagain dia.", kata Jennifer sambil memegang kedua bahu Rafa.
"I-Iya tante.", jawab Rafa sedikit tergagap. Rafa membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali menuju lift.
"Eh Raf, tunggu. Kamu jam segini bolos?", tanya Jennifer dari belakang punggungnya yang membuat Rafa kaget. Sedetik kemudian, ekspresinya kembali berubah santai.
"Engga tan. Tadi ada rapat guru jadi saya pulang cepet.", kata Rafa berbohong. Ia tadi menyempatkan dirinya ketoilet sebelum bel masuk berbunyi.
"Trus Ab–"
"Abi lagi ngejemput temen-temen tante. Dia nanti nyusul kok. Kalo gitu saya duluan yah tan, kasian Reinnya sendirian.", seakan tau apa yang ditanyakan oleh Jennifer, Rafa langsng menjawabnya dan berusaha cepat untuk kekamar Rein. Ia takut ditanya yang macam-macam lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
O'Clock [REVISI]
Fiksi RemajaIni kisah persahabatan, lika-liku hidup, juga kisah cinta yang sulit dijelaskan. Sebuah kisah perasaan yang terpendam, mencarinya, dan pada akhirnya menemukan akhir kebahagiaannya. Ini kisah enam orang sahabat yang menemukan hidup mereka dikisahnya...