25. Ignore

1.8K 145 0
                                    

Rein membalas tatapan mata Abi dengan tajam. Berusaha mencari kekonyolan dan candaan didalamnya. Tapi nihil. Semua yang dilihat Rein adalah sebuah ketulusan dan keseriusan.

Apa sekarang saatnya gue buat berubah jadi lebih matang?

Apa iya sahabat gue yang harus jadi pengubah hidup gue?

Apa iya gue jadian sama sahabat gue sendiri?

Ngga mungkin.

"Sorry... Bi.", kata Rein pada akhirnya dengan nada lemas sambil menunduk. Ia melepaskan genggaman tangan Abi dengan cepat.

"Kenapa Re?", tanya Abi terdengar sedikit frustasi.

Lagi-lagi, Rein masih terdiam.

Apa iya gue bakal bilang yang sebenarnya sama Abi biar dia ngga makin jatuh lebih dalam?

Apa iya dia harus ngerasain sakit?

Gue rasa buat ngehindarin semua kesalah pahaman, lebih baik gue jujur.

"Karena gue suka sama cowok lain, Bi."

"Siapa?"

"Rafa.", jawab Rein datar lalu pergi berlari begitu saja meninggalkan Abi.

Mendengar nama itu, hatinya terasa sangat sakit. Sakit seperti ditusuk-tusuk jarum panas. Hati, pikiran, dan tubuhnya terasa lemas untuk bekerja. Ia bahkan tidak bisa berpikir apapun sekarang. Semuanya terasa kaku.

***

Rafa menaiki lantai 2 untuk menyusul Abi dan Rein sambil membawa bola basketnya. Ia terlihat santai saja.

"Lo mau ngga jadi pacar gue Re?"

Suara Abi terdengar begitu kaki kanan Rafa mulai terpijak dilantai koridor. Ia mengernyit bingung dan mencari-cari dimana spot itu berasal.

Ia mendapati Abi tengah menggenggam tangan Rein dan juga Rein yang terlihat sedang menunduk. Rafa berlari kecil, mengendap-endap untuk mencari kelas kosong. Dari balik pintu kelas itu, Ia mendengar semua percakapan Abi dan Rein.

"Sorry... Bi.", terdengar suara Rein yang begitu lemas.

"Kenapa?", tanya Abi dengan sedikit frustasi.

Sejenak tak ada percakapan diantara mereka. Rafa makin mengernyit ingin mendengar apa saja yang mereka bicarakan selain Abi sudah menyatakannya pada Rein dan juga Rein yang baru saja menolaknya dengan permintaan maaf.

Entah kenapa, hatinya begitu deg-degan menunggu jawaban selanjutnya dari Rein.

"Karena gue suka sama cowok lain, Bi."

"Siapa?"

"Rafa."

Seketika itu pula Rafa membeku. Membeku ditempatnya, masih berusaha mencerna apa yang didengarnya barusan. Perasaannya campur aduk. Antara senang dan gelisah. Yah, entah mengapa Ia bisa merasa senang tapi dibalik itu Ia juga gelisah entah mengapa.

Sedetik kemudian, suara sepatu yang berlari menuruni tangga terdengar. Rafa enggan dulu menyembulkan kepalanya karena kelas yang Ia tempati sembunyi berdekatan dengan tangga. Ia bahkan tak tau siapa yang sedang turun duluan.

Ia menyandarkan dirinya dipintu kelas kosong itu. Badannya terasa lemas. Ia tak tahu apa yang Ia harus lakukan setelah mendengar bahwa Rein menyukainya. Tak bisa dipungkiri, ternyata omongan Rachel 2 tahun lalu tepat sasaran. Rein akan jatuh cinta padanya, sama seperti Rachel pada Abi waktu itu.

Matanya sudah terasa berat dan panas. Penglihatannya mulai buram karena cairan yang menggenang dimatanya. Hingga akhirnya cairan itu mulai turun perlahan.

Benar apa kata Rachel. Sekarang gue udah tau, hel. Bener apa kata lo kalau Rein bener-bener bakal jatuh cinta sama gue. Gue ngga bisa ngapa-ngapain lagi, hel. Gue ngga tau mesti ngapain lagi. Gue cuman mau dia jadi sahabat gue selamanya. Gue cuma mau kita, kita, sahabat. Gue rasa itu udah lebih dari kata nyaman.

Rafa lalu menggenggam dan mencium kalung dengan liontin kecil berbentuk burung khas film The Hunger Gamesnya. Kalung itu diberikan oleh Rein kepada keempat temannya sebagai penguat pertemanan mereka. Karena baginya, Ia percaya bahwa lambang burung dengan sebutan mockingjay itu bisa membuat kebaikan walaupun sebenarnya itu hanyalah fiksi.

Mungkin gue harus belajar buat cinta ke Rein.

***

Rein memasuki kelas yang sudah mulai ramai. Ia duduk dibangkunya, tepat dibelakang bangku Reta dan Rachel.

Ia masih berusaha mencerna percakapannya dengan Abi tadi. Ia tak menyangka bahwa Abi menyukainya juga dan Ia juga tak menyangka akan mengatakan yang sebenarnya pada Abi.

Inikah sahabat?

Tak lama kemudian, Rafa masuk dan berjalan dengan lesu, sama lesunya dengan Rein ketempat duduknya tepat disamping Rein.

"Lo kok lesu banget?", Rein berusaha berbicara dengan santai tanpa menoleh kearah Rafa sedikitpun.

Lupain semuanya Re, anggap aja semuanya udah rusak. Keep calm.

Rafa menoleh kearahnya dan menatap sejenak wajahnya dari samping. Perlahan Ia mulai nyaman dengan setiap detail dan lekuk wajah cewek itu.

Ia menggeleng sambil tersenyum manis, membuat siapapun yang melihatnya pasti ingin meleleh saat itu juga. "Ngga kok."

Lo emang bakat ekting Re. Lo bisa nyembunyiin semuanya selama 2 tahun dari gue dan temen-temen. Lo ngga salah milih keputusan tadi. Tapi tenang aja, Re. Penantian lo ngga bakal sia-sia.

Rein yang merasa dilihati, menoleh kearah Rafa dan mendapati Rafa masih menatapnya dengan senyuman manisnya. Detik itupun pipi Rein memerah. "Lo kenapa liatin gue?"

Rafa kembali tersadar dan melihat rona merah dipipi Rein. "Ngga. Cieee sampe blushing gue liatin gitu. Senyum gue manis yah?", goda Rafa sambil tertawa.

Pipi Rein makin memanas dan memerah. Ia kemudian memalingkan wajahnya kearah lain. "Tai lo!"

Rafa kembali menoel dagu Rein dengan jahil. "Udahlah lo bilang aja kalo gue cakep."

Rein hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng melihat tingkah Rafa. Menurutnya itu sudah biasa.

Gini nih Raf, lo selalu buat gue terbang. Gue harap lo ngga buat gue jatuh.

Karena dengan buat lo tertawa, hidup gue juga lebih berwarna Re.

***

O'Clock [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang