17. Farewell

2.1K 136 2
                                    

Rein begitu capek hari ini. Tapi semua kelelahannya tak sia-sia. Sekolahnya menang dengan skor 6-1 pada pertandingan basket tadi. Rasanya setelah sampai rumah Ia langsung ingin membanting dirinya dikasur. Tapi bayang-bayang papanya yang tak pernah sekalipun dekat dengannya, ditambah Randi yang sering kurang ajar padanya membuatnya malas untuk berlama-lama dirumah. Hanya mamanya lah satu-satunya alasan yang membuatnya kembali kerumah.

Ia pun memarkirkan mobilnya digarasi begitu sampai dirumah. Saat turun dari mobil dengan menyandang tasnya, Ia bisa dengar didalam sana sedang ada keributan.

Ia berdecak sambil menggeleng pelan. Ia tersenyum miris. "Berantem terus.", batinnya. Ia pun berjalan dengan santai untuk memasuki rumah. Ia membuka pintu dengan sedikit keras dan mendapati papa juga mamanya sedang bertengkar tanpa memperdulikan kedatangannya.

"REIN ITU ANAK KAMU JUGA!"

"KAMU YANG TIDAK BISA DIDIK DIA JADI PRIBADI YANG BAIK!"

"HARUSNYA KAMU JUGA HARUS BISA JADI CERMIN! SETIDAKNYA SAYA SUDAH BERSIKAP LEMBUT SAMA DIA!"

"JUSTRU KARENA KAMU LEMBUT DIA MAKIN MENJADI-JADI!"

"MAU KAMU, SAYA HARUS JADI CERMIN YANG BAGAIMANA HAH?! HARUS JADI KAMU YANG TIDAK BISA DEKAT DENGAN ANAK SENDIRI!"

Kemudian, tidak ada lagi perdebatan diantara mereka. Suasana hening sejenak.

"Kamu urus aja anak kamu itu sendiri! Saya sudah muak!", gertak Devin pada Jennifer.

"HEH!", teriak Rein sambil menghampiri papanya. "Papa keluar dari rumah ini sekarang.", kata Rein dengan dingin tanpa menatap papanya.

Papanya hanya manggut-manggut. "Oke, kalau memang itu mau kamu. Saya pergi. Dan kamu Jen, besok saya akan kirim surat cerai.", kata papanya sebelum melangkahkan kaki keluar rumah.

Seketika itu juga seluruh air mata Rein tumpah. Ia berjalan menuju mamanya yang juga sudah menangis kemudian memeluknya.

Mulut Rein seakan kaku untuk berkata. Ia tidak tau apa yang harus Ia lakukan dan apa yang harus Ia katakan sekarang. Hatinya seperti diremuk-remuk. Ia hanya ingin pulang dan membawa kabar gembira untuk mamanya, tapi nyatanya Ia malah mendapat kenyataan pahit kalau kedua orang tuanya harus berpisah.

Rein melepas pelukan mamanya dan menatap mamanya nanar. "Randi mana?", tanya Rein masih terisak.

Jennifer menggeleng sekilas. "Dia belum pulang."

"Sial.", desis Rein pada dirinya sendiri. Ia kemudian bangkit dan berjalan kekamarnya yang terletak dilantai dua. Ia meninggalkan mamanya sendiri dibawah.

Ia masih tak habis pikir tentang perkataan papanya tadi sampai-sampai tak fokus pada  kehidupan nyatanya sekarang. Tangannya menggeser keramik dengan pelan yang berada dimeja belajarnya saat ingin meraih ponselnya. Vas itu pecah dan berserakan dilantai. Rein terdorong untuk mengambil satu pecahan. Ia terduduk dilantai sambil menyandarkan dirinya ditembok dengan air mata masih terus mengalir dan senyum miris. Ia menatap pecahan itu nanar lalu digoreskannya kepunggu tangannya hingga darahnya menetes kelantai parkit kamarnya.

Ia memejamkan matanya sambil terus menangis. Rasa sakit akibat goresan ditangannya itu tak sebanding dengan rasa sakit penderitaannya selama ini. Bahkan tak sebanding dengan pernyataan papanya kalau mereka akan berpisah. Ia kembali menggenggam pecahan kaca itu sampai telapak tangannya juga ikut berdarah hingga darah dilantainya semakin banyak.

Setelah agak lama menangis, Ia kemudian bangkit kekamar mandinya untuk mencuci luka-lukanya. Setelah agak bersih, Ia membiarkan setiap goresan ditangannya terbuka tanpa dikasih obat merah ataupun dibalut perban. Sedikit demi sedikit darahnya masih keluar, namun Ia tak menghiraukannya. Matanya mulai terasa berkunang-kunang, pening. Rasanya Ia tak punya satupun tegangan ditubuhnya.

Ia memutuskan untuk turun kebawah dan ingin bersama mamanya. Ia memasuki kamar mamanya dan mendapati mamanya tengah duduk ditepi ranjang yang melihat keluar jendela. Mamanya pun menoleh kearah pintu dan mendapati putrinya dengan luka goresan yang panjang dan masih segar ditangan kirinya juga telapak tangan yang sedikit merah.

Rein mulai merasakan tubuhnya begitu berat. Pandangannya berubah menjadi gelap semua. Kepalanya terasa sangat pening.

"REIN!", pekik ibunya dengan panik sambil berlari menuju putrinya yang kini sudah terjatuh kelantai.

Namun Ia sudah tak melihat apa-apa lagi. Semuanya berubah menjadi putih.

---

Rafa duduk dimeja belajarnya. Ia memandangi tembok didepannya yang dipenuhi oleh foto-foto hasil kamera Polaroid. Foto-foto itu terdapat dirinya dan orang tuanya, dirinya dan kakak perempuannya sedang bermain basket, dan masih banyak lagi kenangan difoto itu yang membuatnya tersenyum. Tapi satu spot yang paling Ia suka, fotonya bersama Rein, Reta, Rachel, dan Abi. Mereka mengambilnya sewaktu dipuncak kemarin.

Tiba-tiba ponsel yang berada dipinggir meja belajarnya berbunyi dan terjatuh dari meja akibat getarannya. Ia merunduk untuk mengambil ponsel itu dan menekan tombol hijau.

"Rafa! Rein masuk rumah sakit!", kata seorang wanita dari sebrang sana yang tak lain dan tak bukan adalah Jennifer. Ia terdengar sangat-sangat panik dan nafasnya sedikit naik turun.

Rafa sontak ikut kaget dan menghentakkan ponselnya dimeja. Ia mengerjap beberapa kali agar sadar lalu kembali menempelkan ponsel ditelinganya.

"Rumah sakit mana, tan?!", tanyanya juga dengan panik sambil beranjak dari kursi belajarnya.

Jennifer pun menyebutkan alamat dan nama rumah sakit itu. Rafa menulisnya di notes tempelnya dan memasukkannya didalam kantongnya. Tanpa pikir panjang, Ia langsung mengambil jaket dan kunci mobilnya untuk segera menuju rumah sakit.

Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan agak tinggi, dan dengan cepat juga Ia mendial nomor Abi. Saat nada sambung ketiga, Abi langsung bersuara.

"Bi, gawat! Rein masuk rumah sakit! Sekarang gue jemput lo kebetulan lewat sekitar rumah lo! Cepetan siap-siap!", setelah mengatakan hal itu, Rafa langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Ia masih panik.

4 menit kemudian, Rafa pun sampai didepan rumah Abi. Abi yang sudah menunggu didepan gerbang langsung cepat-cepat naik dan menutup pintu mobil. Rafa kembali melajukan dengan kecepatan diatas rata-rata.

***

O'Clock [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang