Kata-kata tadi udah lebih dari cukup buat gue. Apapun itu, mau ngga mau, gue harus tetap ninggalin rumah ini. Ninggalin mama. Itu permintaan terakhirnya.
***
"REIN!", suara gedoran pintu dari luar kamar menggema samar didalam kamar Rein. Cewek itu meringkuk dilorong menuju kamar mandi, tepat didepan jendela yang lebar kamarnya. Jendela mengarah tepat ke gemerlapnya kota Jakarta menjelang malam hari. Ia masih tidak percaya pada ayahnya, saudaranya. Bahkan pada dirinya sendiri. Ia tidak percaya Ia akan merasakan hal sesakit ini dan menanggung hal seberat ini.
Ia juga tak percaya akan meninggalkan rumahnya mulai hari ini.
Ia juga masih tak percaya akan dengan tega meninggalkan ibunya. Satu-satunya orang yang menyayanginya.
"Rein sayang, buka pintunya, nak! Mama minta maaf atas nama papa! Jangan tinggalin rumah sayang, tolong!"
Wajah Rein semakin tenggelam. Air mata yang turun makin deras akibat genangan-genangan yang tertimbun dikelopak matanya. Keringat dingin mengucur disekujur tubuhnya. Seperti badannya kini tidak lagi berdaya dan mati rasa.
Maafin Rein, Ma. But I should, gumam Rein dalam hati. Ia mengusap air matanya kasar lalu berusaha mengerahkan semua tenaganya untuk bangkit dari ringkukannya. Ia menuju lemari yang tak jauh dari lorong kamar mandi, menggapai carrier diatas lemarinya, dan mulai memasukkan baju-baju yang dianggapnya penting. Tak lupa Ia memasukkan beberapa hal yang akan sangat berguna baginya nanti.
Setelah carrier-nya terisi, Ia pun keluar dari ruang pakaian menuju bagian kamar depan. Samar-samar Ia masih bisa mendengar ibunya menangis didepan pintu kamarnya. Memanggil-manggil nama Rein terus-menerus tanpa bosan.
Mata sembab cewek itu menyapu seisi ruangan kamarnya, I'm gonna miss you so much, gumamnya sambil tersenyum. Tangannya kini mengusap kembali wajahnya yang sembab.
Kini matanya menangkap sosok bingkai foto yang terdapat diatas nakas samping tempat tidurnya.
Bingkai foto itu memperlihatkan seorang remaja perempuan yang memeluk ibunya dari belakang dengan deretan gigi-gigi yang diperlihatkan jelas. Menampakkan kebahagiaan yang membuat hati cewek itu kini semakin teriris.
Ia mengambil bingkai foto itu. I'm gonna miss you so much, mom. So much. Ia memeluk bingkai itu erat, seakan Ia sedang memeluk ibunya dan memberi tahu betapa Ia menyayangi ibunya itu. Rein memasukkan bingkai foto itu ke dalam tas slempang miliknya sebelum berjalan keluar meninggalkan kamar.
"Rein, sayang, tunggu! Jangan tinggalin rumah, nak! Mama mohon, mama-"
Rein memutar tubuhnya 180 derajat. Tanpa berbasa-basi Ia langsung memeluk ibunya erat, membuat tangis ibunya semakin menjadi-jadi.
"Rein gak mau, mah. But I should," bisik Rein lirik ditelinga ibunya.
Ia pun melepaskan pelukannya lalu segera berlari pergi menuruni tangga kemudian menuju mobilnya yang terparkir di garasi.
Rumah sudah sepi, tak segaduh beberapa menit yang lalu. Seakan semuanya tidak pernah terjadi. Namun hati Rein sudah terlanjur sakit dan Ia tidak bisa menolah untuk tidak pergi.
Bahkan Ia sendiri belum tau kapan Ia harus pulang.
***
Sepanjang perjalanan, air matanya tak berhenti mengalir. Bahkan Ia sendiri tak tahu kemana Ia akan pergi sekarang. Biasanya saat-saat seperti ini Ia nikmati dengan mabuk-mabukan di club dan bercerita pada Daniel di bar langganannya.
Tapi kali ini rasanya sangatlah beda. Ia benar-benar merasakan hal yang sangat memukul dirinya keras-keras membuatnya enggan memikirkan soal club ataupun bar langganannya.
Tangan kanannya merogoh sekotak rokok di sakunya dan mengeluarkannya sebatang. Menyelipkan sebatang rokok itu di bibirnya lalu membakar ujungnya dengan korek api. Hembusan demi hembusan Ia nikmati hingga tak terasa Ia sudah menghabiskan 5 batang.
Ia ingin pergi jauh, kalau saja Ia bisa menghilang dari bumi saat ini, Ia akan melakukannya.
Akhirnya, Ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah pantai Anyer. Ia harap Ia akan menemukan sedikit bahkan lebih ketenangan disana sendirian.
Beberapa batang rokok yang terus Ia bakar, softdrink, juga beberapa lagu dari film seri 13 Reason Why yang dapat menemaninya selama perjalanan malam itu.
Setelah menempuh kurang lebih 91 km, akhirnya mobilnya sampai didaerah Pantai Anyer yang masih ramai akan wisatawan. Ia pun memilih salah satu penginapan dimana mempunyai fasilitas beach view juga bar yang mungkin saja dapat Ia kunjungi ketika sedang bosan.
Ia pun memilih kamar dengan rating tertinggi dibagian receptionist lalu menyerahkan Illegal ID serta kartu debit miliknya. Kakinya berjalan santai menuju kamar dimana Ia akan beristirahat. Matanya disambut oleh view pantai malam yang sepi, begitupun bar dan restaurant yang hanya di isi oleh beberapa orang saja. Berhubung karena sudah sangat larut malam, kebanyakan orang-orang sedang beristirahat.
Sambil berjalan menuju kamar dengan view tepi pantai nya, ponsel yang berad didalam sakunya berbunyi.
Mama
Cewek itu menatap nanar layar ponselnya. Dengan berat, jarinya menggeser layar kekanan dan mulai menempelkan ponselnya ke telinga secara perlahan.
"Nak, mama mohon kamu pulang sekarang. Maafin papa kamu, nak. Cuman kamu harapan mama satu-satunya. Jangan tinggalin mama, nak."
Mata Rein tertutup rapat. Disaat yang bersamaan air matanya jatuh setitik demi setitik. Jantung dan tenggorokannya seperti ditusuk puluhan jarum panas. Sakit dan perih, mendengar suara mamanya yang tengah menangis diseberang sana.
Dengan berat Ia menekan tombol merah dilayar ponselnya lalu dengan cepat mengusap air matanya. Ia pun kembali berjalan menuju kamar yang telah Ia pesan, berharap bisa langsung tertidur pulas diatas kasur dan memutuskan untuk menetap beberapa hari disini untuk menenangkan diri. Lalu selanjutnya akan mencari tempat tinggal yang bisa Ia tinggali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
O'Clock [REVISI]
Teen FictionIni kisah persahabatan, lika-liku hidup, juga kisah cinta yang sulit dijelaskan. Sebuah kisah perasaan yang terpendam, mencarinya, dan pada akhirnya menemukan akhir kebahagiaannya. Ini kisah enam orang sahabat yang menemukan hidup mereka dikisahnya...