Hari sudah sore. Matahari mulai kembali ke peristirahatannya dan memberi tahu bulan, bintang, & malam agar segera menggantikan posisinya.
Sedikit lagi Rein menyelesaikan catatan matematikanya yang tertinggal saat Ia kecolongan tidur dikelas tadi. Ia meminjam catatan milik Rachel, dan tentu saja Rachel menunggu hingga Rein selesai dengan perkara catatannya. Areta sudah pulang duluan sejak 15 menit yang lalu. Kini kelas itu hanya berisi Rachel dan Rein.
"Nih udah," kata Rein sembari menutup bukunya dan buku Rachel. Tangannya menjulur memberikan buku itu kepada Rachel. "Thanks ya," katanya lagi sambil tersenyum menampakkan deretan gigi-giginya. Terdapat satu gigi gingsul disebelah kiri.
Rachel menerima bukunya dan langsung memasukkannya kedalam tas. Ia tertawa mengingat bagaimana cara tidur Rein tanpa bisa ketahuan Bu Helen saat pelajaran matematikanya berlangsung, "Lo kalo soal tidur dikelas kayaknya udah kelas kakap, ya."
Rein terkekeh, "Jelas dong." Cewek itu menyampirkan tasnya dipundak sembari beranjak dari bangkunya. "Gua udah terlatih dengan keberadaan guru disekitar gue. Dengan itu gua akan sendirinya sadar kalo lagi diperhatiin. Mumpung tadi bu Helen adalah guru ter-baik yang pernah gue liat, yah gue tidur deh."
Kini mereka berdua tertawa bersama. "Iya, bu Helen itu orangnya lucu, gampang dibego-begoin sama anak-anak sini," sahut Rachel setelah tertawa.
"Wahh syukur dong."
Mereka berdua pun berjalan keluar dari kelas bersama, mengobrol sejenak, hingga akhirnya Rachel dijemput tepat didepan gerbang.
"Bye, Hel," Rein melambaikan tangannya pada mobil yang ditumpangi Rachel. Rein pun kembali berjalan menuju parkiran dimana Ia memarkirkan motornya untuk segera pulang dan membagi kebahagiaannya kepada mamanya hari ini. Ia bahagian bisa bertemu Rachel dan Reta meskipun insiden tadi pagi masih membuatnya geram.
***
Suara knalpot mobil terasa menggema dijalanan kompleks yang sepi. Rein akhirnya memasuki garasi rumahnya dan memarkirkan mobil sedannya disana.
Ia berjalan menuju pintu utama rumah yang terbuka lebar. Namun tidak ada tanda-tanda adanya tamu yang datang. Melihat hal itu, Ia langsung merubah haluannya menuju pintu garasi yang tembus dapur rumahnya.
"REINDINA!"
Suara teriakan sekaligus nada gertakan menghentikan langkah Rein menuju pintu garasi. Ia belum tahu mengapa seketika hatinya retak begitu saja.
"SINI KAMU!"
Suara itu berasal dari ruang tamu rupanya. Suara Devin yang lantang memanggil nama Rein.
Cewek itupun menghembuskan nafasnya kasar. Mau tidak mau Ia harus menghadapi papanya sore ini yang Ia sendiri pun belum tau apa alasannya. Ia pun memutar tubuhnya dan kembali melangkah menuju pintu utama rumah.
"Assalamualaikum-"
"SINI KAMU!"
"Yaelah orang salam tuh ya dijawab balik dong. Ini malah langsung di-"
"KURANG AJAR KAMU YA! BERANI BANGET KA-"
"Yang ngajarin kurang ajar siapa? Yang teriak-teriak duluan siapa? Ini rumah apa hutan? Jadi sebenarnya yang ngajarin buat-"
PLAK!
Satu tamparan telak mendarat mulus dipipi Rein, tanpa bisa dihindari. Panas, nyeri, kesemutan, itulah yang dirasakan Rein.
Sementara Randi hanya berdiri disamping Januar tanpa berkata apa-apa sedikitpun. Melihat saudarinya diperlakukan seperti itu oleh ayahnya.
Rein mendongakkan kepalanya dengan paksa. Jujur saja, semuanya sudah terasa berat saat telapak tangan ayahnya mendarat dan mendorong wajahnya. Namun Ia masih tidak terima, tidak puas.
Cewek itu melirik Randi yang jaraknya sangat dekat dengannya. Cewek itu dengan sigap menarik kerah baju Randi dan sedikit mengangkatnya. "Ini pasti karna masalah lo, kan?"
Tangan Rein menghempaskan kerah itu sehingga Randi tersungkur ke lantai.
"REIN! APA MAKSUD KAMU?!"
"Eh, pa. Tanya aja anakmu itu, maksud dia juga apa dengan sengaja ngatain saya nyogok masuk kelas unggulan didepan semua siswa dan dengan sengaja numpahin jus saya dbiaju saya sendiri didepan banyak orang," tegas Rein berapi-api. Tidak sedikit pun membiarkan salah satu diantaranya menyangkal atau menyahut.
"CUKUP!" Dian muncul dengan perasaan marah. "Apa-apaan ini?!"
"Tanya sendiri anakmu itu-"
"Saya udah dengar semuanya," potong Dian dengan cepat. Ibu itu langsung memeluk anak perempuannya.
"Randi! Kamu kenapa sih, nak? Apa salah kakak kamu? Apa dia pernah nyakitin kamu dengan sengaja dan tanpa sebab?"
Randi diam. Ia masih berada pada posisinya setelah Rein menghempaskannya ke lantai.
"Tapi seharusnya anak perempuanmu juga tidak tersulut emosi dengan cepat," kini Devin membuka mulut.
"Kira-kira papa emosi ngga kalau diserang dan direndahkan tanpa sebab? Papa sendiri tau, bahkan Randi sendiri tahu saya paling tidak suka hal itu dan-"
"DIAM KAMU!"
"BERHENTI BENTAK REIN!", Dian balik membentak. "Ajari anak laki-lakimu itu supaya lebih pintar dalam bertindak! Jangan semena-menanya pada orang apalagi pada saudaranya sendiri. Dia salah, dia berhak menerimanya dari Rein."
Ruangan kini menjadi hening. Tak ada lagi yang berani menyahut. Rein dan mamanya beranjak meninggalkan Randi dan papanya.
"Rein," suara dingin dari papanya menghentikan langkah Rein tepat didepan tangga.
"Pergi kamu dari rumah ini."
Tanpa disadari, air mata telah mengucur deras dipipi Rein. Ia tak menyangka akan menerima kata-kata pedis itu. Dian yang mendengarnya langsung tersulut emosi. Melihat mamanya, Rein langsung menahan mamanya untuk tetap tenang kalau memang ini keputusannya.
"Udah, mah."
Dian meneteskan air mata melihat wajah sembab putrinya. "Jangan, Rein. Dengerin mama. Gausah dengerin papa. Jangan pergi dari rumah."
Rein tersenyum. "Ngga apa-apa, mah."
Hatinya sakit. Sangat sakit.
Cewek itu dengan cepat naik kekamarnya yang berada dilantai 2. Menutup pintunya rapat-rapat dan segera mengemasi barang-barangnya. Ia memutuskan akan pergi dari rumah itu.
Mengetahui bahwa ayahnya masih belum bisa menunjukkan rasa cintanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
O'Clock [REVISI]
Dla nastolatkówIni kisah persahabatan, lika-liku hidup, juga kisah cinta yang sulit dijelaskan. Sebuah kisah perasaan yang terpendam, mencarinya, dan pada akhirnya menemukan akhir kebahagiaannya. Ini kisah enam orang sahabat yang menemukan hidup mereka dikisahnya...