Part 19

1.7K 274 13
                                    

MAAFIN LAMA YAAAA:(

AKU UDAH BIKIN TAPI DIAPUS, SOALNYA PAS BIKIN LAGI BADMOOD :3

***

Kami terus bersisian, dan ada beberapa yang membelakangi. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, kami bisa saling memantau keadaan divisi. Setelah aku beritahu tentang keselamatanku, dan tentang Grace yang bersedia menampung kami di rumahnya, Theo segera memerintahkan kami agar menuju rumahnya pagi buta. Hal yang baik, namun anjing penjaga tetap berkeliaran sepagi ini.

"Phantom, ambil sisi kanan." perintah Theo dari depan sana. Aku mengangguk dan berpindah formasi. Meskipun kami berjumlah 786 jiwa, tapi kami yakin tidak akan membuat kegaduhan di hutan yang luas ini.

"Dua meter lagi, belok ke arah kiri." tukasku.

Dengan persenjataan seadanya, hanya sekedar revolver kecil, dan panah kayu dengan racun tumbuhan Harvo di ujungnya kami saling melindungi. Aku harap dengan bantuan Grace pasukan kami menjadi terlatih dan memadai.

Theo mengangkat kepalan tangan kanannya, "Phantom, buka pintu,"

Aku berjalan ke depan, menemukan pintu rahasia milik Grace yang berada di bawah telapak kaki kami. Aku berlutut dan mengetuk pelan tanah yang terasa dingin di bawahku, ketukannya terasa berisi dan...

Tuk!

Aku tersenyum dan mengetuk tiga kali, pintu terbuka dan menampilkan wajah keibuan milik Grace, "Aku kira kau tidak datang, Nak," tukasnya.

Grace menyingkir dan segera ku isyaratkan pasukan untuk masuk secepatnya. Dengan bantuan Theo, Are, dan Leon dalam satu menit kami sudah memasuki seluruh pasukan, termasuk kami. Rumah Grace sangat luas. Bahkan aku tidak tahu rasanya bagaimana dia tinggal sendiri dibawah sini, mungkin telinganya berdengung setiap waktu.

"Baik, Grace, terima kasih atas pertolonganmu yang sangat besar. Kami sangat menghargai." ucap Theo dan dibalas dengan anggukan Grace.

"Dan untuk divisi, kalian sudah tahu maut kalian. Sekarang istirahatlah, sebelum pukul 6 kita berkumpul lagi di sini. Grace akan menunjukkan kamar kalian. Terima kasih." lanjutnya dan divisi pun segera bubar.

Aku menarik tangan Are sebelum dia pergi, Are berjengit dan membuatku sedikit tertawa.

"Apa?" ketusnya terdengar jijik.

Aku terkekeh, "Ikut aku, aku ingin bicara."

Aku menariknya menuju bunker persenjataan yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Are terlihat penasaran dan membuatku tertawa kecil.

Aku benar-benar ingin bicara, Are.

***

Aku menarik nafasku yang bergetar, merasakan perih yang baru ku rasakan selama ini. Air mataku terus mengalir mengingat pernyataannya. Ya, aku tahu mungkin sangat menjijikan menangisi seorang pria. Tapi percayalah kalian akan menangis jika aku mengatakannya.

Aku serius. Ah--aku payah membuat drama.

Sudah hampir dua bulan aku mengenalnya, merasakan hal yang luar biasa ketika mengetahui bahwa aku bukan Fata Lector satu-satunya. Dan selama satu bulan, aku menyukainya. Meskipun aku tahu Phantom juga menyayangiku, namun sangat sakit bahwa dia memutuskan untuk melupakan perasaannya kepadaku. Phantom bermimpi tentang perang itu, saat itu juga dia terbunuh. Dan Phantom memintaku untuk membaca takdirnya, dan benar, itu akan terjadi.

"Aku akan melupakanmu, Are. Kau juga. Demi kebaikan kita, agar tidak ada yang merasa kehilangan."

"Arrrgh!"

Aku menutup telingaku, mencoba menghindar dari perkataan Phantom yang terus menerus berdenging di kepalaku. Nafasku masih tidak teratur dan bantal yang kutiduri sudah terasa lembab. Apa katanya? Untuk kebaikan kita?

"Bodoh!"

Aku menyanyangimu. Aku harus membahagiakanmu, seperti tugas yang seharusnya aku lakukan.

"Kau bodoh, Phantom! Bodoh!"

***

Biarin dibikin sadis dikit, mau tau respon kalian :3

Fata Lector [Masa Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang