Part 25: Forever Gone

1.4K 189 19
                                    

Haiiiii ><

kayaknya yang baca ini makin sepi ya:(

Ngebosenin ya?

***

Author POV

Gadis itu menarik Phantom dari bencana. Raut wajahnya sedih dan kecewa, marah juga kesal. Arenna membawa Phantom ke semak-semak dimana satu-satunya tempat paling aman berada.

"Apa yang kau fikirkan, Phantom?!" bentak Are.

Phantom mengerjap, "Apa?"

Are memutar bola matanya, "Membunuh Lilith? Apa itu bagus menurutmu? Kekacauan di luar sana semakin menjadi-jadi! Kita harus berperang melawan rakyat Up Land yang marah karenamu!"

Arenna memutar tubuhnya dan menarik nafas. Wajahnya memerah terbakar emosi. Namun di sisi lain hatinya merasa sakit memarahi Phantom.

"Kau tidak mengerti," lirih Phantom. Arenna pun menoleh.

"Apa lagi yang perlu kau jelaskan?" suara Arenna berubah parau. Matanya berkaca-kaca dan tubuhnya sedikit bergetar. Perang batin menguasai dirinya saat ini, begitupun keadaan mentalnya yang tertekan.

"Lilith adalah Ibuku,"

***

Di sisi lain dari ruang lingkup Up Land, terjadi kericuhan yang besar. Warga yang marah karena pemimpinnya terbunuh, dan menyalahkan warga Down Land sebagai pemicunya.

"Kita tidak bisa bertahan di sini, Theo," ujar Vi tanpa lengah dari para penjaga kedamaian.

Theo tidak menggubris perkataan Vi. Fikirannya masih berputar dan khawatir pada satu hal. Bukan— bukan perang dengan warga, tapi jika Presiden Lilith mati dia akan mengeluarkan pasukannya.

"Theo awas!"

Sebelum Theo menyadari, peluru sudah meluncur dan melewatinya.

"Lain kali perhatikan musuhmu," ujar sahabatnya itu.

Theo menggulum senyum, namun hilang sedetik kemudian, "Bukankah kau seharusnya berada di—"

"Markas hangus, perangkat kita tidak akan tersambung. Tapi semuanya selamat," potong Damien. Pistol pun terarah pada penjaga kedamaian yang berusaha membunuhnya.

"Apa kau tahu tentang bom waktu yang kita siarkan?"

Theo menggeleng cepat, pedangnya kembali menusuk tubuh musuh yang mengancam keselamatannya, "Bom waktu— peribahasa, eh?"

"Ini nyata. Jika kau terkena ledakannya, kau akan terperangkap dalam dimensi lain. Ruang hampa yang tak kenal waktu," jelasnya.

Theo kembali bungkam. Dia pun melirik Vi, Tilda— yang muncul bersama Damien, Lou— bibi dari Arenna, dan semua pasukannya, ralat— kerabatnya. Keadaan benar-benar mengancam, jika dia tidak bisa bertingkah bijak maka dia akan kehilangan semua orang yang disayanginya.

"Aku juga khawatir, Lilith sudah mempersiapkan semuanya." ujar Theo ketika mendapati dirinya jatuh ke bawah tanah malam lalu.

"Apa?"

"Lilith memprogram lima buah robot pembunuh,"

Jelas terlekat pada memori Theo. Ketika dirinya terperosok secara tak sengaja, matanya tepaku pada lima robot yang mengkilat. Theo berusaha merusaknya namun gagal, robot itu di program dengan sensor biometrik untuk menghidupkannya.

"Tunggu—" Theo tersadar. "—kita tidak tersambung? Jadi siaran itu tidak sampai?"

Damien mengedikkan bahunya, "Aku menyiarkan sebelum markas hangus, semoga saja sampai."

Beberapa detik kemudian terdengar bunyi ledakan yang cukup membuat permukaan tanah bergetar dari arah istana. Setiap telinga yang mendengarpun terdiam memerhatikan, dan mata mereka terpaku pada lima buah benda metal yang terbang ke arah yang berbeda-beda.

"Aku yang periksa bersama Tilda," tukas Vi sebelum mereka berlari ke arah yang di tuju. Vi mengenakan sarung tangan berkekuatan medan gaya yang membuatnya terhindar dari serangan peluru yang melesat ke arahnya.

***

Arenna POV

Aku merengkuh Phantom dan mengusap tangannya. Aku tahu, seharusnya aku mendengar penjelasannya terlebih dahulu sebelum menyalahkannya atas semua ini. Tubuh Phantom terasa dingin dan kaku, matanya pun tidak berhenti menatap kosong rerumputan di hadapannya.

"Phantom," lirihku.

Dia tidak bergeming. Aku pun mengeratkan dekapanku dan merasakan tubuhnya sedikit bergerak, tangannya mengelus rambutku perlahan dan menyalurkan rasa hangat yang seharusnya kuberi padanya.

"Aku tidak apa-apa," ujarnya.

Aku menengadah dan menatap bibirnya yang melengkung. Dekapanku semakin mengerat dan menangis di dadanya. Tapi telingaku memekak ketika mendengar suara bangunan runtuh dari arah istana. Aku pun mencoba menghubungi siapapun melalui The Eary Tell namun tidak ada yang merespon.

"Ayo kita pergi," tukas Phantom dan mengeluarkan sebuah papan berbentuk oval berwarna perak.

Aku mengernyit ketika Phantom mengisyaratkanku untuk ikut berdiri di atas papan itu, "Ayo, Are." pintanya dan menarik lenganku.

Papan itu mengangkat tubuhku juga Phantom. Terpaan angin pun membelai rambut kami. Mungkin aku terlihat seperti Aladdin di zaman moderen, ck.

Selang beberapa detik, mataku terpaku pada pemandangan di bawah. Tiga robot yang menyerang pasukan. Vi, Tilda, dan Alex serta Leon, mereka terlihat kelelahan melawan robot itu meskipun dengan perisai medan gaya dari Vi.

Phantom mengeluarkan kawat, pisau lipat dan beberapa anak panah seperti laser. Dia mengulurkan anak panah itu padaku.

"Apa?" tanyaku heran.

Phantom tertawa kecil, "Ck, jika ada anak panah pasti ada busur,"

Seketika otakku seperti ilmuwan. Aku mengerti apa yang diucap Phantom dan menyeringai.

Aku pun menerima anak panah tersebut dan mengeluarkan busur laser milikku. Phantom segera meluncurkan papannya ke arah robot itu.

"Kau alihkan dia, aku mencoba mengikatnya," tukasnya sebelum papan yang membawa kami membelah dua. Memisahkanku dengan Phantom.

Phantom mengangguk untuk meyakinkanku sebelum menjauh, aku pun memantapkan mentalku dan meluncur membidiki robot itu. Darimana munculnya mereka? Urgh, merepotkan.

Aku melesatkan satu panah ke salah satu robot itu, tepat mengenai matanya. Phantom pun melilitkan tubuh robot itu dengan kawat yang dia bawa tadi. Tangan robot itu mengarah kepada ku seperti tinju yang langsung ku hindari. Nafasku tercekat dan membelalak.

Sial! Siapa yang memprogramnya?!

Robot itu jatuh dengan sekali tarikan yang dibuat Phantom. Vi dan Tilda yang tadinya terdiam menatap robot itu segera menghampiri Phantom dan menerima kawat yang diberinya. Phantom pun mengucap kata-kata yang tidak terdengar olehku dari atas sini. Alex dan Leon berlari seraya menembakkan senapannya pada robot kedua dan tiga. Aku pun membantu Alex, Tilda pun menghampirinya dan memasang kuda-kuda untuk melilitkan kawat itu. Aku membidik kepala robot itu dan berhasil.

Dia pun menoleh marah padaku.

Robot itu membuka telapak tangannya dan mengarahkan benda bulat berlampu merah berkedip kepadaku. Aku berhasil menghindar. Namun tangannya dengan cepat mengibas dan aku pun menutup mataku.

Badanku terasa remuk ketika tiba di tanah. Robot itu melesatkan benda bulat itu lagi dengan cepat, aku pun meringis ketika badanku terlempar oleh seseorang.

"Phantom!"

Aku memekik dan meluncur ke arah dimana benda itu di jatuhkan. Ku acak-acak kabut yang menghalangi agar dapat menemukan Phantom. Mataku terpaku dan terasa panas, hatiku berdegup kencang dan nafasku terengah. Tempat itu hanya menyisakan aliran seperti listrik yang membulat tanpa adanya Phantom di sana. Nafasku semakin memburu dan air mataku mulai menetes. Aku menarik nafasku dalam dan menarik rambutku dengan kencang.

"Phantommm!"

***

Vote n comment ya! Masukin saran aja! -fox

Fata Lector [Masa Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang