Pleonasme Ketiga Belas: Cemara

17.8K 1.7K 208
                                    

Cemara – Ketika pucuk hati mulai bicara

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan...

Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan...

Banyak cerita yang mestinya kau saksikan...

Di tanah kering bebatuan...

-Berita Kepada Kawan – Ebit G Ade-

Wilis nggak ingin membohongi hatinya kalau dia juga merasa sangat sayang pada Ijen. Tapi dia bisa apa? Kalau memang kehadirannya di sini bisa membuat Ijen dan Rinjani berpisah, dia yang harus mundur. Wilis nggak punya hak apa-apa di sini. Perasaannya juga sakit sekali. Wilis sudah pernah jatuh cinta beberapa kali, namun yang paling sakit adalah terhadap Ijen. Apa karena sayang yang Wilis rasakan terlalu besar?

Tapi ini bukan tempat dia bicara. Bagaimana kalau homoseksual ditentang di pulau ini? Lalu dia diusir... dibuang.. dibunuh... Hal yang paling dia takuti bila Ijen adalah seorang homophobic.

"Wilis... Wilis...!" Lu berteriak ke arahnya, berlari kencang dan memeluknya. Namun sedetik kemudian bocah itu menjauh lagi. "Maaf, aku nggak bermaksud peluk-peluk Wilis seenaknya..." Lu menunduk. Wilis menaikkan alisnya. Jadi, Lu menganggap kepergiannya karena pelukan?

Wilis mendekat, lalu memeluk bocah itu lagi. Namun sekali lagi bocah itu menggeleng dan mencoba melepaskan diri.

"Aku janji nggak akan peluk Wilis lagi.. tapi Wilis jangan pergi.. jangan pergi..." Bocah itu menangis. Wilis menggelng.

"Wilis pergi bukan karena pelukan Lu. Wilis justru senang karena Lu selalu memeluk Wilis...." Wilis tersenyum padanya. Lu mengerjap lalu menatap wajah Wilis lagi.

"Sungguh?"

"Wilis adalah ratu Lu..."

"Wilis... aku sayang Wilis...!" Lu memeluknya lagi. Oh, Tuhan senang sekali ya rasanya jadi bocah. Bisa menyatakan semua perasaan mereka tanpa dilarang dan dianggap aneh.

"Wilis juga sayang Lu. Sayang Kim. Sayang Kin. Sayang kalian semuanya..."

"Wilis jangan pergi!"

"Tempat Wilis bukan di sini, Lu..."

"Tapi ini rumah Wilis yang baru. Wilis sudah bagian dari kami..."

"Lu..." Wilis menatap mata bocah tengil itu. Wilis menghapus air matanya, mencoba menguatkan bocah itu kalau semuanya pasti baik-baik saja. Wilis hanya harus pergi dan Lu harus bersikap seperti biasanya. "Lu harus tumbuh kuat. Lu harus jadi orang yang kuat di luar dan juga di dalam..."

Lu menggeleng kencang, lalu mulai menangis lagi.

"Tapi aku sayang Wilis!"

"Wilis tahu..."

"Aku yang menemukan Wilis pertama kali. Aku yang bawa Wilis ke sini. Aku yang jadiin Wilis ratu. Aku yang..." Rengekan bocah itu makin membuat Wilis sakit. Hatinya sangat lemah saat ini. Dia nggak bisa meninggalkan mereka. Dia sayang sekali dengan bocah itu. Sangat. Apa yang sudah dia lakukan pada mereka?

"Lu..." Wilis memeluknya. Erat. Wilis juga menangis setelah itu, membiarkan Lu memeluknya makin erat. Bahkan teman-teman Ijen yang lain seperti Lawu, Bromo dan lainnya hanya sanggup bungkam.

Wilis benar-benar sakit kali ini. Sangat. Hatinya sakit hanya mengingat bagaimana Ijen terhadapnya. Alasannya kenapa harus menetap di sini. Semuanya berputar-putar, begitu rumit. Hanya karena Ijen enggan mengatakan apapun. Ijen melarangnya pergi, tapi Ijen nggak memberikan alasan bagi Wilis untuk tetap tinggal di sini. Wilis lebih baik pergi kalau hanya akan terluka dan disakiti.

Love In The JungleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang