Asosiasi Pertama: Rumput

43.5K 2.8K 404
                                    

Rumput – liar, bebas adalah nafas hidupnya.

Engkau bagai air yang jernih...

Di dalam bekas yang berdebu..

Zahirnya kotoran itu terlihat...

Kesucian terlinding jua....

-Suci Dalam Debu – Iklim-

Kicauan burung.

Suara ombak.

Pasir.

Matahari.

Wilis membuka matanya, mengerjap sesaat lalu mulai mengumpulkan puing-puing kesadarannya. Kepalanya pening, tapi dia dihadapkan pada kenyataan yang paling ambigu semasa hidupnya. Matanya menatap lingkungan sekelilingnya yang kini bukan lagi deretan gedung tinggi. Gedung-gedung itu kini telah menjelma jadi pohon-pohon yang tumbuh rimbun, lengkap dengan kicauan burung yang membuat kepalanya makin pening. Ini bukan tentang liburannya. Sama sekali bukan.

Ini pertama kalinya dia terbangun di tempat asing seperti ini. Dia juga nggak mengerti bagaimana bisa dia sampai di sini. Setahunya, semalam kapal yang dia naiki mengalami bencana. Dia berhasil menyelamatkan diri dengan pelampung, tapi pada akhirnya dia terpisah dari rombongan pelampung itu. Dia terpisah dan terdampar di pulau mencurigakan ini seorang diri. Kalau saja dia nggak ingat karena terantuk batu karang, mungkin dia akan segera berpura-pura jadi penduduk pulau ini.

Wilis menghembuskan nafasnya sekilas, lalu mencoba menegakkan tubuhnya. Dia mencoba bangkit meski tertatih. Nggak akan ada nafas lain di sini selain binatang buas yang pasti sedang meneteskan air liur melihat tubuhnya. Nggak ada bisikan wanita seksi di sini selain gemerisik angin yang menerpa dedaunan. Sesekali pohon-pohon itu mengibaskan embun bekas hujan badai semalam.

Wilis tahu, hidupnya sekarang benar-benar dalam bencana!! Bencana!!

Masalah adalah kesenjangan antara keinginan dan kenyataan. Keinginannya hanya satu sebenarnya. Pulang. Dia ingin menuntaskan kerinduannya. Dia juga punya pulau sendiri di rumahnya. Pulau kapuk namanya. Namun kenyataannya, dia jauh sekali dari pulau bernama kapuk itu. Atau tepatnya sekarang pulau itu telah diupgrade dengan nama baru. Pulau matras. Kasur musim semi. Springbed. Apa lagi?

Namun pertama-tama, dia harus menyelamatkan diri sendiri dulu. Survival. Setidaknya sampai bantuan datang. Ini mulai nggak lucu. Perutnya mulai keroncongan. Dia harus makan apa? Ikan banyak, tapi dia bukan penggemar raw fish. Dia pernah melihat acara penyelamatan diri dengan menggunakan api dari batu. Itu hanya ada di film. Dia nggak bisa melakukannya! Tangannya belum terlatih untuk itu. Dia belum pernah mengikuti pelatihan penyelamatan diri seumur hidupnya, karena yang dia tahu.. dia akan baik-baik saja. Pemikiran yang dulu dia anggap bodoh itu pun kini nggak bisa menyelamatkannya. Sedikitpun!

Bagai anak ayam yang telah kehilangan induknya. Begitulah dia sekarang!

Wilis bangkit dengan tertatih, mengabaikan rasa lapar dan pusing yang menderanya. Dia mencoba sekuat tenaga untuk menyeret langkahnya, mencari makanan yang bisa diperoleh dengan mudah.

"What the hell! Kidding me, huh?" Bagaimapun, berapa kalipun, umpatan nggak akan bisa mengembalikan semua waktunya. Dia harus kembali pada kenyataan kali ini. Umpatan nggak akan membuat perutnya kenyang, bahkan emosi sudah merusak sisa-sisa tenaganya.

Wilis menyeret kakinya paksa, masuk lebih dalam ke hutan di pulau mencurigakan itu. Pilihannya satu: Menyelamatkan diri. Matanya mencoba mencari benda yang bisa membungkam perut kosongnya, namun sekali lagi dia merasa putus asa. Pohon kelapa bukan destinasi yang cocok untuknya. Dia akan mati sebelum sempat memetik buah itu. Tapi nggak mungkin dia makan rumput! Ketika kakinya terseret makin dalam, masuk ke dalam hutan... saat itulah.. sebuah kenyataan tentang dunia lain yang belum pernah kita jamah itu muncul di depan matanya. Ini bukan tentang dunia ghaib, sama sekali bukan! Ini tentang bagaimana Tuhan menggariskan nasibmu dan menelantarkanmu di pulau mencurigakan. Tapi Tuhan nggak akan membiarkan kamu sendirian. Benar.... karena di depan matanya kini, muncul seorang anak kecil! Dan dia.. manusia!

Love In The JungleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang