Kihujan – Ketika payung hanya bisa menahan hujan tapi tak bisa menahan dingin
Nusantara langitmu saksi kelabu...
Nusantara terdengar lagi tangismu...
Nusantara kau simpan kisah kereta...
Nusantara kabarkan marah sang duka...
-1910 – Iwan Fals-
Ijen beku di tempatnya, menatap teman-temannya yang dengan antusias membuat perahu untuk Wilis. Ijen kesal. Marah. Kenapa teman-temannya sepertinya mendukung keputusan Wilis untuk pergi? Bukankah mereka yang paling akrab dengan Wilis?
Ijen masih belum paham. Masih nggak bisa berpikir kenapa. Tapi satu hal yang bisa mendobrak kesadaran Ijen kali ini. Dia nggak rela kalau Wilis pergi. Dia nggak akan pernah mengizinkan cowok itu meninggalkannya. Egois, kan? Iya, karena Ijen nggak pernah sekalipun menuntut. Orang tuanya meninggal ketika dia masih kecil. Ijen kecil tumbuh kuat sendiri, bersama Nini. Ijen kecil nggak pernah iri dan menuntut Nini untuk mendapatkan apa yang anak lain dapatkan. Ijen bahkan menurut saja saat ketua suku menyerahkan cucunya, Rinjani untuk Ijen. Namun kali ini, apa boleh Ijen meminta satu hal? Ijen ingin Wilis.
Kalau Wilis sudah lelah dan menyerah, maka Ijen sudah putus asa dan ingin binasa. Saat ini juga. Dia masih mencara tentang makna perasaannya. Dia nggak bisa diam saja, kan? Kakinya melangkah ke arah teman-temannya yang sedang sibuk membantu membuat perahu untuk Wilis.
"Nanti kamu cuma tinggal kayuh aja perahunya. Kalau angin dan badai udah reda, baru kamu bisa pergi..." Lawu memberikan petunjuk. Ijen diam. Mendengarkan dalam bungkam.
"Aku harus bawa bekal yang banyak... Atau bisa juga mancing ikan, kan?" Wilis mengangguk antusias. Lihat itu! Bagaimana bisa cowok itu tersenyum senang seperti itu?
Ijen geram. Emosinya perlahan merayap begitu saja. Ijen marah. Marah. Marah. Kakinya melangkah cepat, menarik lengan Wilis. Dia nggak menyeret Wilis seperti biasanya, melainkan mengangkat tubuh Wilis. Lalu memanggulnya di punggung. Ijen melangkah cepat, membawa Wilis menjauh. Wilis meronta, menjerit, meminta Ijen menurunkannya. Tapi Ijen menulikan telinganya dan membawa tubuh kurus Wilis menjauh dari kawanannya.
"Turunin aku, Ijen!" Wilis meronta. Ijen menurut, lalu menurunkan tubuh Wilis. Wajah Ijen sudah marah. Mereka sudah sangat jauh dari kawanan. Sudah jauh dari rumah warga. Bagaimana kalau ada binatang buas dan memangsa mereka? Wilis menelan ludahnya gugup. Ijen tahu kalau Wilis takut dengan tingkahnya.
"Kita.. udah jauh..." Wilis berbisik. Ijen juga nggak tahu bagaimana bisa dia memanggul tubuh Wilis dan melangkah sejauh ini.
"Aku..." Rahang Ijen mengatup kencang. Tanda kalau dia sedang mencoba menahan kemelut di hatinya, juga emosi di otaknya.
"Kita udah sering ngomong soal kepergianku..."
"Jangan pergi!" Ijen menggeram.
"Kamu juga udah berkali-kali ngomong itu, Ijen!"
"Aku larang kamu pergi!"
"Apa itu sebuah permintaan?" Wilis mendekat. Ijen menatap wajah Wilis dengan raut sama. Emosi.
"Ini perintah!!"
"Kamu nggak ada hak untuk itu, Ijen..." Wilis mendengus. Wilis jadi kesal mendadak. Bagaimana mungkin cowok tarzan ini memerintahkan dia seenaknya? Setelah apa yang sudah dia lakukan? Setelah apa yang sudah dia katakan? Memangnya Ijen pikir Wilis itu cowok macam apa? Wilis juga sanggup melakukan apapun sendiri, tanpa bantuannya.
"Di pulau ini masih wilayah kawanan, Wilis! Jangan lupakan itu!"
"Aku bakalan pergi dari sini.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Jungle
General FictionIni adalah kisah yang mengatasnamakan ketidaktahuan. Bahkan di dalam hutan belantara pun kisah itu bisa saja terjadi. Ini adalah kisah tentang seorang pria yang terdampar di sebuah pulau terpencil, di sebuah hutan pedalaman. Hingga dia bertemu denga...