Retorik Kesembilan Belas: Ara

18K 1.4K 219
                                    

NB : Gaachan nggak pernah bikin catatan di awal cerita. Tapi ini harus. Ini kawasan anu-anu. Kalau kalian illfeel dan jijik sama scene anu-anuan, tolong lompati bagian ini! Gaachan bikinnya dengan mengernyit, sampai harus buka koleksi anime homo buat observasi. *tipe belajar dari melihat*

.

Gaachan udah ingetin, lho! Jadi jangan ada komentar : Dasar mesum! Kurang hot! – Ini bukan tungku pembakaran, temen-temen! Nggak bakalan panas, karena kalau kepanasan ntar jadi gosong. Jadi maklumi kalau tingkah absurdku berubah. Lupakan kalau aku pernah bikin cerita alim macam Zain! Ini Gaachan yang evil. The other side of my life. Yin and yan.

.

I told you before, guys! Jangan suka gosip, saya belum mau jadi artis.. *sok terkenal*

***

Ara – ketika kisah tak lagi sama.

Apakah itu kamu, apakah itu dia...

Selama ini kucari tanpa henti...

Apakah itu cinta, apakah itu cita...

Yang mampu melengkapi lubang di dalam hati...

-Lubang di Hati – Letto-

Wilis menangis. Seorang diri. Wilis tahu, Aki bukannya nggak setuju dengan hubungannya bersama Ijen. Namun Aki menyimpan sesuatu. Sesuatu yang Aki sebut dengan nama "takdir" dan "reinkarnasi" itu. Wilis mengerti, pasti ada yang Aki sembunyikan darinya. Aki menentang hubungan mereka. Meskipun Aki mengatakan ini itu, tetap saja Aki nggak merestui hubungannya dengan Ijen.

"Wilis..." Ijen memanggilnya. Wilis menoleh, dan menghapus air matanya. Ijen mematung menatap air mata yang sudah jatuh di pipinya itu. Wilis menggeleng cepat, mencoba menghalau jejak air matanya. Namun terlambat, Ijen sudah melihatnya.

"Kenapa? Ada apa?" Ijen merengkuh bahunya dan memeluknya. Dia berbisik lembut, seolah Wilis adalah barang yang sangat berharga. Dia nggak akan pernah melepaskan Wilis apapun yang terjadi.

"Hanya ingat tentang apa yang Aki bilang kemaren, Ijen..."

Ijen kaku dalam pelukan Wilis. Perlahan Ijen menatap mata itu, mengusap air mata yang jatuh untuk yang ke sekian kalinya lagi. Ijen menguatkan Wilis. Dia siap untuk apapun yang akan terjadi.

"Ijen, apa kita nggak ditakdirkan bersama?" Wilis berbisik dengan tangis.

"Aku nggak akan melepaskan kamu, Wilis! Nggak akan pernah!" Ijen sudah bertekad untuk jadi orang paling egois, karena matanya nampak bukan Ijen yang biasanya. Wilis tahu, ini pertama kalinya Ijen belajar tentang makna memiliki. Apa semua hal harus dibagi dengan orang lain? Nggak, nggak semua hal bisa mereka dapatkan dengan mengambil hak orang lain. Wilis yang nggak pernah menuntut apapun juga merasakan apa yang Ijen rasakan. Dia juga nggak akan pernah melepaskan Ijen. Dia nggak pernah punya hal yang berarti baginya hingga dia sampai di tempat ini.

"Aku cinta kamu, Ijen!"

"Aku sangat mencintaimu, Wilis...! Sangat!" Ijen memeluknya lagi. Dengan lebih erat. Bahkan setelahnya Ijen mulai melepaskan diri, berganti dengan mengecup bibir Wilis. Melumatnya dengan penuh cinta, dengan rasa takut yang perlahan menyelip di antaranya. Takut kehilangan. Nggak rela. Nggak akan pernah melepaskannya sampai kapanpun.

Kecupan yang berganti jadi lumatan kini mulai menuntut. Wilis masih menangis, berciuman dengan semua rasa lelah dan sedihnya. Ijen mencoba menyalurkan rasa tenang melalui ciumannya, hingga ciuman itu menuntut lebih. Lebih. Dan lebih lagi. Lumatan itu berganti, dengan lidah Ijen yang kini ikut bergerilya. Menjajah isi mulutnya, berperang dengan sesama daging tak bertulang itu.

Love In The JungleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang