Mahoni – ketika pahit dan getir jadi satu dalam cinta
Lekuk tubuh anggunmu bagaikan sang dewi...
Di dalam sanubariku terukir wajahmu...
Meskipun kusadari tak mungkin memelukmu...
Walau kau isyaratkan bahwa dirimu tlah bersamanya...
-Senandung Lagu Cinta – Ada Band-
Ijen bukannya nggak sadar kalau cowok asing itu mulai menjauh dan menghindarinya. Ijen nggak tahu awal permasalahannya apa, yang jelas... akhir-akhir ini cowok itu jadi lebih pemikir dari sebelumnya. Wilis selalu menghindari tatapannya sekalipun. Ketika bicara pun, cowok itu hanya menunduk dan bicara dengan jeda yang sangat cepat. Nggak nafas malah.
Ijen akhirnya mikir juga soal ini.
Untuk saat ini dugaannya adalah soal kejadian di sungai kemarin. Saat Lu dan yang lain menelanjangi Wilis. Ijen nggak membantu saat itu. Bagaimana bisa membantu, itu artinya dia juga harus bersentuhan dengan Wilis. Melihat Wilis saja dia jadi merinding. Untung saja waktu itu "adiknya" nggak "hidup".
Seharusnya... seharusnya Ijen senang kalau Wilis menghindarinya dan menjauh. Tapi, nyatanya perasaan dan hatinya nggak bisa semudah itu untuk dikendalikan. Dia merasa ada yang kurang. Ada yang hilang. Apalagi saat mata besar Wilis yang biasanya mengerjap kepadanya kini sudah nggak muncul lagi. Wilis lebih senang menunduk ketika bicara dengannya. Ijen terusik. Sangat.
"Wilis, jangan ambil yang itu!" Lu merebut pisau yang dipegang Wilis. Wilis menggeleng.
"Wilis pinjem, Lu! Bantuin ibu kamu di dapur..."
"Wilis, ah!" Lu merajuk. Wilis berdiri dan berbalik. Ijen nggak sengaja menabraknya. Mereka terdiam. Saling bertatapan, hingga akhirnya Wilis memalingkan wajahnya sendiri.
"Maaf, aku harus pergi..." Nah! Wilis menghindar lagi. Ijen diam. Dia nggak mau melarang Wilis pergi. Biarlah cowok itu hidup dengan pemikirannya sendiri. Kali ini Ijen harus bertanya langsung pada Lu. Siapa tahu bocah tengil itu tahu sesuatu soal Wilis. Tapi, tunggu! Bukankah yang menelanjangi Wilis waktu itu adalah Lu? Wilis nggak marah pada Lu, kan? Kenapa dia yang jadi sasaran ngambek Wilis?
"Dia marah kenapa, Lu?" Ijen salah ucap. Harusnya dia basa-basi dulu, tapi mulutnya keceplosan. Lu menggaruk tengkuknya bingung. Jelas saja dia nggak paham. Lu kan nggak tahu kalau Wilis sedang marah.
"Wilis marah??"
"Ah, maksudnya... apa Wilis marah gara-gara kemarin kita telanjangi dia?"
Lu nyengir. Lalu setelah itu bocah tengil itu tertawa. Ngakak. Dia bahkan sudah memasang wajah senang.
"Aku tadi juga mandi bareng Wilis..." Lu sepertinya puas menyiksa Ijen. Ijen jadi muram. Sejujurnya Ijen nggak suka kejadian kemarin. Dia ingin sekali menyumpal mulut teman-temannya yang menggoda Wilis. Ingin menggantung Lu di pohon mahoni. Ingin membuat Lu kapok dan nggak mengganggu Wilis lagi. Tapi dia nggak mampu. Bagaimana dia bisa, menatap Wilis saja jantungnya sudah kebat-kebit. Belum lagi tubuh mulusnya itu... bokongnya... dan kalau Ijen nggak salah lihat, milik Wilis juga lucu. Pantas saja kemarin Lu begitu histeris.
Ijen menggeleng kencang, mencoba mengabaikan dan mengusir Wilis dari pikirannya. Namun lagi-lagi dia nggak sanggup. Wilis sedang sibuk dengan tugasnya di dapur sambil menunduk. Dia nggak banyak omong seperti sebelumnya. Hanya Nini yang selalu tersenyum sambil menatapnya, mengelus punggungnya sesekali. Sepertinya Nini tahu apa yang sedang terjadi pada cowok itu.
Ijen ingin bertanya pada Nini. Sebelumnya, dia harus menyusun kata-kata dulu.
"Nini, Wilis kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Jungle
General FictionIni adalah kisah yang mengatasnamakan ketidaktahuan. Bahkan di dalam hutan belantara pun kisah itu bisa saja terjadi. Ini adalah kisah tentang seorang pria yang terdampar di sebuah pulau terpencil, di sebuah hutan pedalaman. Hingga dia bertemu denga...