Bidara – dunia lain tentang kita itu ada.
Perihnya masih terasa...
Sakitnya tak terhingga...
Nafsu ingin berkuasa...
Sungguh mahal ongkosnya...
-Untukmu Negeri – Iwan Fals-
Ijen menatap Wilis yang masih mengernyit kesakitan. Mungkin nggak banyak tahu tentang hubungan mereka. Aki, Nini, Lawu, dan Rinjani mungkin. Ah, jangan lupakan Lu! Bocah tengil itu juga sepertinya mengetahui banyak hal, namun dia memilih diam dan bertingkah seperti anak nakal pada umumnya.
"Masih sakit?" Ijen menatap cemas wajah Wilis. Wilis mengangguk pelan. "Maafkan aku! Aku terlalu... bersemangat semalam..." Ijen menunduk. Wilis terkekeh, lalu mengecup pipi Ijen sekilas.
"Kamu luar biasa..."
Ijen tersenyum bahagia. Bangga membumbung begitu saja dalam hatinya. Ijen ingat semalam bagaimana mereka bercumbu. Kalau ingat kejadian itu Ijen jadi tegang lagi. Apalagi membayangkan ekspresi dan desahan Wilis. Ijen bisa gila hanya karena pikirannya sendiri. Ijen menggeleng, menghalau pikiran kotor yang melesak dalam otaknya.
Nini yang baru sampai di gua pribadinya terkejut melihat keduanya. Lalu kening Nini berkerut. Sepertinya Nini sedang nggak enak badan malam ini.
"Nini..." Ijen menggaruk kepalanya malu. Wilis bahkan sudah menutup wajahnya sendiri.
"Ijen, ada hal yang ingin Nini bicarakan dengan kalian..." Raut Nini jadi muram. Ijen menduga kalau ini soal perpisahan mereka. Sampai kapanpun Ijen nggak akan melepaskan Wilis.
"Ijen harus pergi, Nini! Ada perkumpulan dengan teman-teman..." Ijen ingat kalau saat ini teman-temannya sedang mempersiapkan senjata berburu mereka. Ijen meninggalkan Wilis di sana bersama Nini, yang hanya ditatap Nini dengan raut : Aha, kamu melakukannya Ijen! Pasti dengan kasar!
Nini melangkah ke arah Wilis, memeriksa pinggang cowok itu. Kekasih Ijen. Sebenarnya Ijen masih nggak rela meninggalkan Wilis, namun dia harus berkumpul dengan teman-temannya.
Kita tinggalkan saja Ijen yang melangkah dengan nggak rela! Kita berbalik pada Nini dan Wilis yang sedang serius saat ini.
"Jadi, berapa lama kalian melakukannya?" Nini bertanya cepat. Nini duduk di sebelah Wilis. Wilis menunduk.
"Sampai hampir pagi..."
"Punggungmu baik-baik saja?"
"Seperti remuk, Nini!"
"Apa ada bagian lain yang berdarah?"
Wilis menunduk malu. Nini tahu, pasti itu menyakitkan. Nini membuat obat-obatan dari dedaunan lagi. Nini megusap kasar wajahnya. Nggak biasanya Nini terlihat begitu frustasi.
"Nini nggak tidur, ya?" Wilis menatap mata Nini yang bengkak. Ada kantung di bawah kelopak mata Nini, tampak makin jelas dari biasanya.
"Nini nggak bisa tidur, nak! Ada masa depan menakutkan yang Nini lihat, hingga Nini nggak berani menutup mata." Nini berbisik pelan. Wilis nggak enak soal ini. Dia takut sekali.
"Apa ini tentang kami?"
"Aki melarang kalian bersama..." Nini berbisik lembut. Wilis bungkam. Sedih tiba-tiba mendera hatinya.
"Nini..." Wilis menunduk, lalu menangis. "Aku cinta Ijen, Nini..."
"Nini tahu, nak! Sangat tahu!" Nini memeluk tubuh Wilis yang mulai gemetar. "Tapi Nini akan membicarakan ini kalau Ijen sudah berada di sini... Kita harus bicara bertiga..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Jungle
General FictionIni adalah kisah yang mengatasnamakan ketidaktahuan. Bahkan di dalam hutan belantara pun kisah itu bisa saja terjadi. Ini adalah kisah tentang seorang pria yang terdampar di sebuah pulau terpencil, di sebuah hutan pedalaman. Hingga dia bertemu denga...