Metafora Kedua: Ilalang

30.2K 2.3K 175
                                    

Ilalang – ketegaran, terjalin menjadi sebuah kekuatan.

Di daun yang ikut mengalir lembut...

Terbawa sungai ke ujung mata...

Dan aku mulai takut terbawa cinta...

Menghirup rindu yang sesakkan dada....

-Ruang Rindu – Letto-

Ijen menatap teman-temannya satu persatu. Ini benar-benar sudah gila. Bagaimana mungkin Nini menerima orang asing itu begitu saja! Bagaimana kalau dia punya niat jahat pada tempat ini? Seperti karang yang selalu memperkenalkan laut, maka dia akan memulai ceritanya. Kenapa dia tinggal di pulau aneh ini beserta sukunya, kenapa dia bisa berbicara dengan bahasa yang sama, kenapa dia memiliki gen ini....

Sebenarnya siapa mereka??

"Lalu kamu diam saja dan menerima dia, Jen?" Teman-temannya mulai membahas lelaki asing itu. Ijen mulai terusik lagi. Badai semalam memang nggak menguntungkan, angin membawa arus laut ke pulau ini. Biasanya memang jarang sekali orang yang memilih bermain di laut ketika bulan-bulan badai. Mungkin cowok yang terdampar itu agak bodoh, makanya dia memilih melaut di bulan yang nggak tepat.

"Juga, lihat wajahnya! Aku nggak suka!" Teman yang lain menimpali. Ijen mengerat di tempatnya. Pasti Nini sudah mulai menceritakan banyak hal pada cowok itu. Siapa namanya tadi? Wilis?

"Kamu mau ngusir dia?" Mereka masih menuntut pendapat Ijen. Sementara Ijen hanya bungkam. Dia memilih untuk membisu. Dia serba salah kali ini. Nenek moyangnya... juga berasal dari tempat yang sama. Kisah nenek moyangnya agak klise. Dulu mereka terdampar di pulau ini, lalu menetap. Mereka nggak pernah sekolah, tapi ilmu selalu diturunkan lewat pengajaran orang tua. Ijen tahu banyak tentang kisah nenek moyangnya. Kisah klise yang dia dengar dari Nini. Nenek moyangnya, kepala suku pertama di pulau ini... bunuh diri bersama kekasihnya. Kekasih prianya. Nggak banyak yang tahu kisah tersebut, tapi Nini sudah menceritakan semuanya pada Ijen. Penduduk suku nggak ada yang paham soal ini. Yang mereka tahu, nenek moyang mereka adalah orang yang terdampar di pulau ini dan nggak ingin kembali lagi ke tempat asalnya. Mereka menikah, punya anak, lalu membangun sebuah keluarga.

"Aku akan mengusirnya!!" Ijen mendengus geram. Ijen nggak bisa menerima orang asing itu. Dia hanya takut, takut kalau cowok asing itu akan membuat masalah. Salah satunya adalah membuat orang-orang datang dengan burung besinya. Ah, apa ya namanya?

"Ijeeeennnn....! Ijeeeennnn....." Lu berlari ke arahnya, mengusik lamunan yang sudah dia rajut dengan susah payah. Ijen menoleh ke arah bocah yang sedang berlarian itu. Lu, bocah itu tertawa senang.

"Ada apa?"

"Nini memanggil...! Nanti kita adakan pesta penyambutaaannnn...." Lu menari senang. Ijen terusik lagi. Bagaimana mungkin Nini menyambut orang asing itu? Ah, Nini! Jangan membuat ini makin rumit! Entah apa yang terjadi, Nini sepertinya sangat menyukai cowok asing itu meski baru pertama kali itu bertemu. Ijen juga sebenarnya terusik dengan matanya.

Ada hal yang membuatnya benar-benar terusik. Dia nggak tahu apa itu, tapi yang dia ingat... Ijen jadi penasaran dengannya! Nggak, nggak... nggak boleh! Bagaimana mungkin logikanya diusik hanya dengan tatapan mata? Bagaimana mungkin rajutan prinsip dan ketegasannya diremukkan oleh sebuah destinasi yang bahkan baru saat itu dia tatap? Nggak, nggak! Ijen, sadarlah!

"Kenapa Nini melakukannya, Lu??" Ijen menggeram kesal. Lu menaikkan alisnya, lalu tertawa lebar.

"Karena dia orang baik. Itu yang akan kita lakukan untuk menyambut orang baik..."

Lu pasti sudah diceramahi oleh Nini hingga bisa bicara dengan kalimat sok bijaksana itu. Ijen kembali melirik Lu yang sibuk dengan cengirannya. Ijen benar-benar nggak habis pikir. Benar-benar bingung. Namun setelah itu, dia berdiri. Kawanannya menyusul di belakang. Kaki Ijen menyibak ilalang yang sudah mulai tumbuh tinggi di lembah tempat perkumpulan sukunya. Lu mengikuti langkahnya, bernyanyi di sampingnya. Sesekali tangannya mencabuti ilalang yang sudah tumbuh tinggi.

Love In The JungleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang