Verel Point of View
Kenapa dia tidak juga memberi kabar? Sudah berapa jam terlewat. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan mereka? Ah sudahlah. Lagi pula Luna pandai bertarung.
Author Point of View
“Detektif Verel, daritadi Detektif Luna saya telepon tidak di angkat sama sekali.” Kata Ravi khawatir. “Tenang saja.” Kata Verel dingin. Dasar tidak punya hati. Batin Ravi sambil mencoba menelepon Luna lagi. Tak kunjung menjawab teleponnya, Ravi yang mulai tidak sabar mengambil jaketnya berniat untuk menyusul Luna.
Tapi yang ingin di susul sudah ada di ambang pintu. “Ravi kamu mau kemana?” Tanya Luna. “HEI! DARIMANA SAJA KAMU?” Teriak Ravi sambil menghampiri Luna. “Ah maaf tidak memberi kabar. HP ku tertinggal di mobil. Aku baru saja mengambilnya dan melihat missed call darimu banyak sekali.” Jawab Luna sambil senyum yang penuh dengan rasa bersalah.
Selagi Ravi dan Luna berbincang-bincang di pintu. Dari meja Verel yang menjangkau pemandangan di pintu, dalam diam dia memperhartikan Luna. Melihat setiap inchi tubuhnya apakah ada yang terluka. Dan benar saja, dia melihat tangan Luna yang di perban. Bodoh. Kenapa aku tidak menyadari kalau dia terluka. Batin Verel.
“Detektif? Kenapa kamu melamun?” Tanya Ravi sambil melambai-lambaikan tangan dari pintu. “Ah tidak apa-apa.” Jawab Verel. Ravi hanya mengangguk-angguk, lalu mengajak Luna duduk di tempat bersantai para detektif.
Verel bergabung dengan mereka yang sedang membicarakan keadaan Leo. “Tanganmu kenapa?” Tanya Verel di sela-sela pembicaraan Ravi dan Luna. “Tidak apa-apa.” Jawab Luna dingin dengan muka datarnya.“Oh iya, mulai sekarang kita memanggil satu sama lain dengan nama masing-masing bagaimana? Tidak Lagi pula di sini aku, kamu, dan Leo kan seumuran, hanya Verel saja yang beda 1 tahun.” Sahut Ravi. “Baiklah, boleh juga.” Jawab Luna masih dengan wajah datarnya. “Apa kalian akan memanggilku kakak?” Tanya Verel. “Tentu saja tidak.” Jawab Ravi dan Luna bersamaan. Verel hanya memandang sebal mereka.
Di tengah-tengah perbincangan mereka, HP Verel berbunyi menandakan ada panggilan masuk. “Halo.” Kata Verel setelah meletakkan HP nya di telinga.
“Baiklah. Kami akan segera ke sana.” Kata Verel setelah mendengar penjelasan seseorang dari seberang telepon. “Ada apa?” Tanya Luna. “Ada pembunuhan seorang model. Kita ke sana saja dulu untuk mendengarkan penjelasannya lebih lanjut.” Jawab Verel dan berlalu pergi. Ravi dan Luna hanya mengikuti Verel dari belakang.
Sesampainya di sana, Verel dan Luna segera menuju TKP. Ravi menuju kerumunan orang-orang yang mengaku bahwa mereka saksi. “Dokter Lito? Anda sudah sampai rupanya.” Kata Verel yang melihat Dokter Lito sudah ada di samping tubuh korban. “Tentu saja.” Jawab Dokter Lito. Aku kan harus mengambil darahnya untukmu. Lanjutnya dalam hati.
“Bagaimana pembunuhan kali ini?” Tanya Verel kepada polisi yang sudah berada di sana. “Model ini ditemukan meninggal sekitar pukul 9 pagi tadi. Dia terjatuh dari lantai 3. Namanya Bella. 21 tahun. Banyak yang mengira dia bunuh diri, tapi ada bekas kekerasan di sekitar wajahnya.” Jelas polisi. “Baiklah, kami akan menyelidiki lebih lanjut.” Kata Verel.
Verel mengedarkan pandangannya dan tidak sengaja matanya menangkap sesosok Luna yang terus melihat lantai 3 rumah besar yang mirip istana itu. Sejak tadi Luna terus memperhatikan lantai 3 itu.
Kenapa dia bisa jatuh? Aku harus menemuinya. Dengan begitu aku tau alasannya. Batin Luna. “Ada apa di sana?” Tanya Verel yang tiba-tiba sudah berada di belakang Luna. “Tidak ada apa-apa.” Jawab Luna dan berlalu pergi menuju lantai 3. Ada yang dia sembunyikan. Batin Verel sambil matanya terus menatap punggung Luna yang semakin menjauh.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vomment ya!