Verel melihat amplop coklat di atas mejanya. Tangannya dengan cepat membuka amplop itu. Dia merogoh isinya dan mengambil foto yang berada di dalam amplop. Matanya membelalak lebar saat melihat isinya adalah foto-foto Luna akhir-akhir ini yang di bagian lehernya sudah di sobek.
"Ada apa?" Tanya Ravi melihat ekspresi Verel seperti terkejut. "Tidak." Jawab Verel sambil memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplop dan menyimpannya di lacinya, lalu Ia menguncinya. Ravi tau pasti ada yang salah dengan amplop itu. Dia terus memperhatikan ekspresi Verel yang gelisah.
"Kenapa Luna belum kembali?" Tanya Verel. "Dia juga tidak menelepon salah satu dari kita dari tadi." Sahut Leo yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Benarkah? Apa dia tersesat?" Ravi menambahi. "Kamu pikir Luna anak kecil sampai tersesat?" Tanya Leo.
Tanpa diketahui siapapun Leo mengkode Rio dengan dagunya untuk mencari Luna. Rio mengangguk mengerti lalu menghilang mencari Luna. Belum sampai lima menit, Rio sudah kembali "Dia ada di parkiran." Kata Rio. Leo hanya mengangguk dan kembali ke tempat duduknya.
"Aku kembali." Luna masuk sambil membawa anak kecil. "Siapa dia?" Tanya ketiga laki-laki itu yang langsung berdiri melihat Luna membawa anak kecil. "Dia keponakan kor..." Luna berpikir sebentar lalu menghela nafas panjang. "Aku akan beritahu kalian nanti." Lanjut Luna. Yang lainnya mengerutkan keningnya tidak mengerti dan penasaran dengan maksud Luna.
Luna mengkode mereka untuk masuk ke ruang rapat. Luna berjongkok di hadapan Sannie. "Bibi akan berbicara sebentar dengan paman-paman yang ada di sana. Nanti kalau selesai, Bibi akan memperkenalkanmu kepada mereka. Selagi Bibi sedang bicara dengan paman-paman itu, kamu bisa duduk di sini. Kalau lapar, ambil makanan di kulkas itu." Jelas Luna dan pergi meninggalkan Sannie yang duduk-duduk di sofa.
Ruang rapat
"Jelaskan pada kami siapa anak itu." Ravi mengawali pembicaraan. "Iya, iya, sabar." Luna kesal karena terus di lihat dengan tatapan introgasi mereka. "Dia keponakan dari korban tadi. Aku tidak bisa membiarkan dia begitu saja. Jadi aku membawanya." Jelas Luna.
"Lalu dia akan di rawat di rumah siapa?" Tanya Leo. "Di rumahku." Jawab Verel dan Luna bersamaan. "Kenapa di rumahmu?" Tanya Luna. "Bukankah lebih aman?" Verel kembali bertanya. "Tidak, bukan begitu. Tapi kan..." Luna berhenti melanjutkan kata-katanya. Mata Luna seperti berbicara ke Verel 'Tapi kan kamu vampir.' Dengan cepat Verel menangkap kode itu. "Baiklah. Kamu saja." Jawaban Verel membuat Luna tersenyum lebar.
Mereka keluar ruangan dan menuju ke Sannie. Mereka duduk di depan Sannie kecuali Luna yang duduk di sampingnya. "Sannie, kenalkan, Paman yang wajahnya putih dan tinggi ini namanya Paman Ravi. Paman yang rambutnya berjambul namanya Paman Leo dan Paman yang yang rambutnya berponi ini namanya Paman Verel." Jelas Luna. "Hai Paman! Namaku San Andreas. Paman bisa memanggilku Sannie." Balas Sannie.
"Sannie, tunggu di sini ya? Karena Bibi seorang detektif, Bibi harus bekerja. Bibi harus menangkap penjahat." Kata Luna. "Iya. Bibi bolehkah aku berkeliling?" Tanya Sannie. "Boleh. Tapi jangan masuk ke ruangan yang itu." Luna menunjuk ruang rapat karena takutnya Sannie melihat data Bibinya yang meninggal. Sannie mengangguk mengerti.
.
.
.
Mereka melanjutkan penyelidikan sampai larut malam. Ravi sudah menguap berkali-kali. Kelopak mata Leo sudah naik turun sedari tadi. Verel terus bekerja meski dia juga mengantuk. Luna ikut tertidur di sofa saat menidurkan Sannie tadi.Verel Point of View
Nihil. Aku mencarinya dimana-mana, tapi hasilnya nihil. Aku harus mengingat satu puzzle yang belum terselesaikan. Dimana rumahku yang dulu. Bagaimana aku bisa lupa?
Luna. Maafkan aku, aku membuatmu dalam bahaya. Apakah ini karma? Aku bahkan mencintai orang yang namanya sama setelah sekian tahun. Aku lupa tentang kejadian itu. Apa ini hukuman karena aku melupakan kejadian waktu itu?
Apa aku salah menyelamatkan sahabatku? Kalau di pikir-pikir, aku rasa aku akan marah jika aku di posisi Ricky. Tapi waktu itu aku sedang tenggelam dalam amarahku.
Author Point of View
Verel terus memandangi Luna yang tertidur. Wajahnya tampak lelah karena kasus akhir-akhir ini. Ia terus memandangi Luna hingga akhirnya, matanya tertutup. Tertidur lelap di kursi kerjanya. Semuanya juga sudah berada di dreamland. Tentu saja kecuali Rio, karena dia hantu. Dia hanya berkeliling dan sesekali berpura pura tidur.
.
.
.
.
.
Pukul enam tepat dan mereka semua terbangun karena alarm. Ravi mengerutkan keningnya melihat Sannie yang duduk di sofa dengan posisi menekuk lututnya untuk menyembunyikan wajahnya. "Ada apa denganmu?" Tanya Ravi. Sannie mendongak dengan wajah yang penuh dengan air mata.Mereka berlari menuju Sannie. "Hei, hei, ada apa?" Tanya Verel. "Bibi..." Sannie terus terisak. "Bibi? Luna? Ada apa dengannya?" Verel semakin panik, begitu juga Leo dan Ravi. "Baru saja... ada... yang mengambil Bibi." Sannie menjawab sambil terisak. "WHAT!?" Ravi membelalak lebar mendengar jawaban Sannie.
"Kenapa tidak membangunkan kami!?" Bentak Leo. "Paman itu bilang...dia akan membunuh Bibi kalau akau membangun kalian." Jawab Sannie. Verel berdiri dengan tatapan kosong. Apa yang harus aku lakukan? Dimana Luna? Aku mohon jangan sakiti Luna. Dimanapun kamu berada, aku harap kamu baik-baik saja. Batin Verel.
"Leo, lacak ponsel Luna dan periksa CCTV di gedung ini. Ravi, kamu ikut aku mencari Luna." Perintah Verel. "Kita akan mencari dimana!?" Bentak Ravi. "Dimanapun! Asalkan dia ketemu!" Verel tidak kalah membentak. Verel dan Ravi pergi mencari Luna. Leo mulai berkutat dengan komputernya. Wajahnya memucat dan tangannya bergemetar.
"Ada apa dengan kantor?" Tanya Rio yang baru muncul. Leo mendongakkan kepalanya dengan wajah sedih. "Luna...dia di culik. Dimana kamu semalam?" Wajah Leo kini berubah tajam. "APA!? Jangan menatapku seperti itu. Aku kemarin keluar karena aku bosan di kantor. Aku akan mencarinya." Rio pergi begitu saja karena dia juga khawatir.
Sannie mengerutkan dahinya melihat Leo yang berbicara sendiri. Dia tidak bertanya, dia hanya memeluk sepatu baru pemberian Luna saat perjalanannya kemari kemarin.
Flashback
Pukul tiga dini hari, seorang laki-laki berdiri di depan kantor Tim Investigasi Khusus. Mulutnya menyeringai dan kakinya mulai memasuki kantor. Perlahan dia menuju sofa dimana Luna sedang tertidur sambil memeluk Sannie.
Kepalanya menoleh dan melihat Verel yang tertidur di kursi. Mulutnya kembali menyeringai. Pandangannya kembali beralih kepada Luna. Tangannya mulai menyehtuh tubuh Luna dan menggendongnya. Luna sudah terlalu lelah, sehingga dia bahkan tidak terbangun.
Sannie terbangun dan melihat seorang laki-laki hendak membawa Luna pergi. "Bibi?" Sannie mengerjap-ngerjapkan matanya. "Paman siapa?" Tanya Sannie. "Jangan bawa Bibi." Sannie menarik jaket laki-laki itu.
"Jangan berisik. Kamu bisa membangun yang lainnya. Diamlah. Kalau kamu tidak diam dan membangunkan mereka, aku akan membunuh perempuan ini." Setelah berkata seperti itu, laki-laki itu pergi begitu saja. Sannie menangis sambil menutup mulutnya. Takut kalau yang lainnya bangun dan laki-laki itu membunuh Luna. Di saat seperti itu, Rio juga sedang tidak ada di kantor.
Di pintu kantor, laki-laki itu menyeringai lalu melangkah pergi meninggalkan kantor Tim Investigasi Khusus dengan membawa Luna.
Flashback END