Semua sibuk dengan kegiatan mereka. Leo yang sibuk mengecek CCTV dan terus memantau GPS di HP Luna seandainya menyala. Ravi dan Verel terus mencari Luna di berbagai tempat yang memungkinkan. Si hantu Rio juga mencari Luna mengikuti Ravi dan Verel.
Nihil. Hasilnya nihil. Sekeras apapun mereka mencari. Hanya jalan buntu yang mereka dapati. Tidak ada. Dimanapun itu. Seakan hilang di telan Bumi.
"Verel, tidak ada. Tidak ada tanda-tanda Luna di sekitar sini." Kata Ravi. "Kita harus mencarinya!" Bentak Verel. "Aku percaya kita bisa menemukan Luna. Kita bisa karena kita percaya." Lanjut Verel. Mereka kembali mencari dan terus mencari tanpa ada petunjuk sedikitpun.
Sedangkan Leo hanya bisa menghela nafas panjang. CCTV di sekitar gedung menghilang entah kemana. Ponsel Luna juga tidak segera aktif. "Aku tidak menemukannya. Ravi dan Verel juga sama." Rio muncul dan segera melapor. "Aku...juga." Leo menatap sedih cincin yang pernah diberikan Luna agar dia bisa melihat Rio.
.
.
.
Di tempat lain, Luna perlahan membuka matanya. Tersadar dari tidur panjangnya. Dia melihat sekeliling. Tempat asing yang ada di sekitarnya. Melihat tangan dan kakinya di ikat di kursi."Dimana aku?" Gumamnya. "Ada di rumah lamaku." Jawab seorang laki-laki dari belakang. "Siapa kamu?" Luna menoleh ke belakang mencoba melihat wajah laki-laki yang menculiknya. Laki-laki itu berjalan dan berhenti di depan Luna.
Berjongkok agar badannya sejajar dengan Luna. "Kamu belum tau aku? Berarti Verel belum bercerita tentangku." Laki-laki itu menyeringai lagi. "Namaku Ricky." Lanjutnya. Matanya merah dan gigi taringnya muncul saat itu.
"Vampir." Kata Luna. "Iya, aku vampir. Sama seperti kekasihmu." Kata Ricky. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menculikku?" Tanya Luna. Jujur, Luna sangat takut karena matanya yang merah dan itu sangat berbeda dengan Verel.
"Verel sangat baik dalam menutupi kebenaran." Ricky berdiri dan menyilangkan tangannya di dada. "Dia yang membunuh orang yang aku cintai. Aku hidup karena dia membunuh orang yang aku cintai dan memberikan darahnya padaku." Jelas Ricky.
"Memangnya kamu siapa? Maksudku, kamu siapanya Verel?" Luna mengernyitkan dahinya saat mendengar penjelasan Ricky. "Sebelum dia membunuh orang yang aku cintai, dia sahabatku." Ricky memundurkan langkahnya hingga menyandar pada pintu.
"Bukankah itu wajar dia melakukannya? Karena dia tidak ingin kehilangan sahabatnya." Luna mendongakkan kepalanya, memberanikan diri menatap mata Ricky. "Jangan bercanda. Aku tidak bisa membiarkan Luna meninggal begitu saja!" Bentak Ricky.
"Luna? Namaku juga Luna." Kata Luna dengan polos. "Karena kamu Luna milik Verel, aku tidak peduli. Aku harap Verel bisa menemukanmu sebelum aku membunuhmu." Kata Ricky sambil keluar.
Melihat Ricky yang sudah pergi, Luna mencoba melepaskan ikatan di tangannya. Tapi itu terlalu susah, karena ikatan yang terlalu rapat. Luna hanya bisa pasrah dengan keadaan, berharap ada orang yang datang menyelamatkannya.
.
.
.
Verel dan Ravi terus mengendarai, menyusuri jalan yang memungkinkan seorang penculik membawa Luna. Tiba-tiba ada anak kecil menyebrang. Verel segera mengerem mobilnya. Kepalanya terbentur begitu juga dengan kepala Ravi. "Hufftt... hampir saja." Ravi mengelus sisi kepalanya yang terbentur.Setelah anak kecil itu menyebrang, Verel segera mengemudikan mobilnya lagi. Sejenak kepalanya mengingat satu tempat, tempat dimana Luna mungkin diculik. Apa ini perbuatan Ricky? Tanya Verel dalam hati.
Dia segera memutar mobilnya. "Kita mau kemana?" Tanya Ravi. "Diamlah, mungkin kita bisa menemukan Luna disana." Jawab Verel. Ia melajukan mobilnya denga kecepatan penuh. Untung saja, jalanan tidak begitu ramai. Ravi terdiam sambil berdoa dalam hati agar nyawanya tidak melayang saat ini.
.
.
.
Mereka sampai di sebuah taman. Taman lama yang dulu menjadi pertemuan Luna dan Ricky dua puluh tahun yang lalu. Verel berlari mencari jalan menuju suatu tempat. Ravi hanya bisa mengikuti Verel dan terus berlari. Entah kemana mereka akan pergi.
Verel berhenti di sebuah pertigaan. Ingatannya kembali, ingatan dua puluh tahun yang lalu. Ingatan yang dia lupakan. Ingatan di pertigaan sempit waktu itu benar-benar menyakiti hatinya. Dia terus berlari menuju rumah lamanya.