14. The Threat

1K 79 2
                                    

Semua sibuk dengan pekerjaan mereka. Luna dan Leo sibuk dengan rekaman CCTV dan black box mobil yang mereka ambil untuk menemukan vampir yang membunuh manusia waktu itu. Ravi sibuk dengan komputernya mencoba mencari bukti sekecil apapun itu. Dan Verel, dia belum kembali sejak tadi pagi.

"Kemana Verel? Ini sudah jam 7 malam. Apa dia akan berkeliaran sepanjang malam?" Ravi menatap Luna yang seolah tau kemana perginya ketua tim-nya. "Kenapa kamu menatapku?" Tanya Luna merasa aneh dengan tatapan menginterogasi milik Ravi. "Kamu kan dekat dengannya." Spontan jawaban Ravi itu membuat Luna salah tingkah.

"Luna? Kamu dekat dengannya?" Tanya Rio. Luna malah memelototi Rio si hantu kurang kerjaan. Lalu Leo menulis di sebuah sticky note yang ditujukan untuk Rio.

Lebih baik kamu keluar dari sini dan cari vampirnya.

"Baiklah! Baiklah! Aku mengerti." Rio menghilang begitu saja dengan wajah sebalnya. Luna dan Leo malah menahan tawanya. "Kenapa kalian senyum-senyum?" Ravi menyadari ada hal ganjal dengan Luna dan Leo. "Ah tidak." Jawab Luna sambil tersenyum.
.
.
.
Kantor tiba-tiba menjadi sepi. Bukan karena mereka pulang ke rumah. Tapi ini sudah malam dan mereka mengantuk. Ravi mengangkat kepalanya dengan malas dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. "Aku tidak...ta...han." Badan Ravi bersandar di kursi dan dia tertidur lelap. Luna sudah tertidur dari tadi di pundak Leo. Sedangkan Leo mulai menguap dan kelopak matanya mulai naik turun.

Tiba-tiba pintu depan terbuka dan masuklah Verel dengan wajah lesunya. Verel melihat sekeliling dan matanya tertuju kepada Luna. Verel sedikit cemburu ketika melihat Luna tidur di pundak Leo. Tapi akhirnya Ia menghampiri Luna dan memindahkannya di sofa.

Verel mengusap keringat di dahi Luna dengan lembut. Perlahan Luna membuka matanya dan terbangun sempurna. Melihat Verel di depannya, Ia segera duduk. "Kapan sampai?" Tanya Luna. "Baru saja." Verel duduk di samping Luna.

"Bagaimana?" Tanya Luna lagi. "Aku tidak menemukannya." Verel menunduk lesu. "Aku mencarinya di tempat biasanya. Saat dua puluh tahun lalu, aku biasa ke sana dengannya. Tapi dia tidak ada. Aku ingin pergi ke rumah lamaku, tapi aku tidak ingat lokasi tepatnya. Aku tidak ingat." Lanjutnya.

Luna memegang tangan Verel dan menariknya ke dalam pelukannya. "Besok ayo kita cari bersama-sama." Ajak Luna. Verel membalas pelukan Luna. Di pikirannya sekarang hanyalah cara agar dia bisa melindungi Luna. Di dalam pelukan Luna, dia terus teringat dengan kata-kata Ricky yang akan membalas dendam.
.
.
.
.
.
"Ayo semua bangun!" Suara Luna menggelegar di seluruh kantor. Ketiga laki-laki yang sedang tertidur segera terbangun dengan tergesa-gesa. "Ada apa?" Tanya Ravi sambil menguap. "Kamu mengejutkanku." Kata Leo dan menguap. Verel juga ikut terbangun tapi hanya mengucek matanya yang berat untuk di buka.

"Verel? Jam berapa pulang? Kemana saja? Kenapa HP mu tidak aktif? Apa kamu sudah makan? Apa kamu ada yang terluka?" Ravi terus nyerocos ketika melihat Verel yang ada di sofa. Verel hanya menguap lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.
.
.
.
Mereka kembali berkutat pada pekerjaan masing-masing sampai ada HP berbunyi milik Verel. "Halo. Saya Detektif Verel dari Tim Investigasi Khusus." Kata Verel. "Baiklah, kami akan segera ke sana." Jawab Verel seraya menutup teleponnya. "Ada apa?" Tanya Leo.

"Ada korban lain. Dokter Lito sudah di sana. Ayo cepat." Verel segera menyambar jaketnya, begitu juga dengan Ravi. Mereka berangkat dengan mobil kantor. Menuju lokasi dengan wajah penasaran mereka. Korban apa lagi kali ini? Batin Verel. Aku harap bukan vampir. Batin Luna. Apa pembunuh yang sama? Batin Leo. Bagaimana kalau vampir lagi? Batin Ravi.
.
.
.
.
.
Mereka sampai di TKP. Mereka segera menuju korban. Dokter Lito sudah berada di sana sambil mengecek tubuh korban. Mereka segera melihat leher korban dan melihat ada bekas gigitan. "Kali ini tidak ada darah yang tersisa." Kata Dokter Lito. Verel mengepalkan tangannya. Wajah marah tersirat di mukanya. Wajah marah yang baru pertama kali ini Tim Investigasi Khusus lihat.
Ravi yang ada di sampingnya mengelus punggung Verel dengan kasar. "Tenanglah. Kita akan menangkapnya." Ravi mencoba menenangkan Verel. Tanpa mereka sadari, Luna sedari tadi tidak ada di sekeliling. "Dimana Luna?" Pertanyaan Leo membuat ketiga laki-laki itu menoleh dan berjalan kesana kemari mencoba menemukan Luna.

Luna sendiri setelah mendengar Dokter Lito menjelaskan, dia melihat sesosok perempuan dengan wajah pucat berdiri di gang yang tidak begitu jauh dari TKP. Luna menghampirinya. "Apa ada yang ingin Anda sampaikan?" Tanya Luna. Arwah itu mengulurkan tangannya yang di sambut oleh Luna.

Kali ini arwah itu tidak menunjukkan penampakan yang terjadi pada malam dia meninggal. Dia menunjukkan bahwa di rumahnya ada anak kecil yang sedang menunggunya. Arwah itu menghilang tiba-tiba saat terdengar suara Verel memanggil Luna. Luna menoleh dan menemukan Verel sudah ada di belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Verel. "Bukan apa-apa." Jawab Luna. "Ayo kembali ke kantor." Verel menarik tangan Luna menuju mobil. Tapi Luna menarik tangannya. "Ada apa?" Tanya Verel. "Kalian pergi saja dulu. Ada suatu tempat yang harus aku kunjungi." Tanpa menunggu persetujuan Verel, Ia pergi begitu saja.

Verel kembali ke mobil menyusul Leo dan Ravi. "Dimana Luna?" Tanya Leo. "Katanya dia akan pergi ke suatu tempat dulu." Jawab Verel sambil masuk ke mobil. Mereka segera menuju ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan yang melelahkan ini.
.
.
.
.
.
Luna menuju rumah korban seperti yang diperlihatkan arwah tadi. Di pintu masuk dia juga melihat arwah perempuan. Luna mengangguk dan arwah itu pergi begitu saja. Pintunya bahkan tidak di kunci. Anak kecil yang berada di dalam rumah langsung memeluk Luna.

"Bibi aku takut." Anak laki-laki itu terus memeluk Luna. Saat dia menyadari bahwa itu bukan bibinya, Ia segera melepaskan pelukannya dan berjalan mundur. "Bibi bukan orang jahat. Bibi ke sini karena bibimu menyuruhku menjagamu. Bibi janji akan melindungimu." Luna berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan anak kecil itu yang tingginya hanya sepinggul Luna.

"Apa bibi janji?" Tanya anak kecil. "Iya." Luna mengacungkan kelingkingnya yang di balas dengan kelingking anak kecil itu. "Namaku San Andreas. Bibiku sering memanggilku Sannie." Kata Sannie sambil tersenyum lebar. "Kamu bisa memanggilku Bibi Luna." Luna memeluk Sannie. Aku akan menjadi bibimu sekarang. Batin Luna.

Sannie melepas pelukannya dan melihat ke arah Luna. "Bibi, kapan bibiku pulang?" Tanya Sannie. Luna bingung ingin menjawab apa. "Mmmm... Bibi juga tidak tau. Sekarang ikut Bibi saja dulu di tempat Bibi." Ajak Luna. Sannie mengangguk dengan gembira. "Nanti Bibi akan belikan baju baru untukmu." Lanjut Luna yang melihat baju Sannie kotor dan lusuh.
.
.
.
.
.
Di tempat lain, Tim Investigasi Khusus lainnya sudah sampai di kantor. Leo langsung menuju kamar mandi. Dia sudah menahannya sejak di TKP tadi. Ravi dan Verel kembali ke mejanya. Ravi kembali berkutat di depan komputernya.

Verel melihat amplop coklat di atas mejanya. Tangannya dengan cepat membuka amplop itu. Dia merogoh isinya dan mengambil foto yang berada di dalam amplop. Matanya membelalak lebar saat melihat isinya adalah foto-foto Luna akhir-akhir ini yang di bagian lehernya sudah di sobek.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vomment ya!

Vampire and Paranormal DetectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang