Luke mengerjapkan matanya perlahan menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Nyeri di punggungnya masih sangat berasa. Apalagi matanya terasa perih saat terbuka karena tadi menangis hebat. Ia melihat sahabat-sahabatnya sedang menatapnya.
Luke bangun dengan perlahan lalu menyenderkan tubuhnya pada tembok. Ia berusaha bicara tapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya menunjuk gelas pada nakas dan minta di ambilkan.
Luke menenggak habis satu gelas air putih lalu terdiam cukup lama hingga tidak sadar menangis lagi. Ia baru teringat kembali kalau Hailee sudah pergi. Tidak ada lagi yang bisa ia ledeki hingga menangis atau seseorang yang bisa mengajaknya chatting seperti orang gila.
Luke mengerjapkan matanya, menyeka kasar mata.
"Gue tahu ini sulit buat lo, Luke. Tapi lo harus mulai nerima belajar keadaan dari sekarang. Yang tabah ya." Michael menepuk-nepuk lengan Luke pelan. Terasa jelas rasa kekeluargaan dalam kamar itu.
"Kalian tinggalin gue sendiri dulu, bisa?"
Ketiganya mengangguk lalu tersenyum tipis sebelum menutup pintu kamar.
Luke menyapu pandangan sekelilingnya baru tersadar rupanya ini kamar Hailee. Ia beringsut berdiri dan melangkah menuju dinding khusus yang di tempeli foto yang sudah di cetak. Terdapat foto saat Hailee kecil, remaja, hingga besar. Ada juga foto Hailee menangis karena berebut lolipop.
Luke tertawa pelan.
Lalu matanya berpindah melihat fotonya dengan Hailee. Ada foto saat Luke menembaknya di sebuah cafe yang sudah di rancang khusus. Wajah keduanya masih terbilang lucu dan malu.
Setelah melihat-lihat foto ia berpindah menuju kasur lagi. Ia memeluk lututnya erat lalu dan hanya terdiam. Ia masih tidak menyangka kalau Hailee sudah pergi. Rasanya waktu cepat sekali berlalu.
"Luke?"
Luke menoleh ke sumber suara dan mendapati Rava dan Shaina yang berdiri di ambang pintu. Keduanya berjalan masuk dan duduk di tepi kasur.
"Maaf kakak mukul kamu tadi, kakak takut kamu lepas kendali." Ujar Rava dan hanya di balas anggukan kecil oleh Luke.
"Kakak tahu ini pasti sulit banget buat kamu terima, kita juga sama kok. Satu-satunya jalan terbaik relain dia pergi dan tenang. Disana dia jauh lebih bahagia ketimbang dia harus hidup tapi mengeluh sakit.."
Shaina mengelus pundak Luke pelan. Ia mencoba menyemangati Luke kembali dan sebenarnya ada juga yang ingin ia ceritakan pada Luke.
"Kakak mau jujur sama kamu."
Luke menoleh ke Shaina, "apa?"
Shaina mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya. Ia menatap Rava sebentar lalu kembali pada Luke. "Maaf sebelumnya kalau kakak udah bohongin kamu, tapi.."
"Tapi apa kak?"
"Tapi yang balas line kamu seminggu kemarin itu bukan Hailee." Shaina menarik tangannya dari pundak Luke lalu menunggu reaksinya.
"Maksud kakak apa? Terus setan gitu yang bales line aku? Gak lucu."
"Kakak yang bales line kamu Luke, maafin kakak udah bohongin kamu tapi ini semua permintaannya Hailee."
Luke mengepalkan kedua jemarinya keras hingga buku-buku tangannya memutih. Nyeri itu timbul lagi, ia lelah harus menangis. Matanya sudah sulit mengeluarkan air mata.
"Jadi itu semua permintaannya Hailee?" Tanya Luke.
Shaina mengangguk pelan, ia menggigit bibir bawahnya. "Maaf ya Luke, tapi kakak lakuin itu juga demi dia."
"Jadi apa syaratnya?" Tanya Shaina sembari duduk di sebelah Hailee.
"Aku tahu aku pasti gak bakal panjang kak umurnya. Jadi aku mau kakak bales line Luke seolah-olah kakak itu aku. Kakak harus bawa hp kemanapun kakak pergi. Bales line Luke tanpa mancing kecurigaan dia."
Shaina mematung mendengar permintaan adiknya. Syarat yang benar-benar tidak masuk di akal. Tapi apa boleh buat, jika ia tidak melakukan itu Hailee tidak mau minun obat dan kemoterapi.
"Kamu yakin?"
Hailee mengangguk yakin, meskipun air mukanya terlihat ragu.
"Aku yakin kak, lakuin ini demi aku ya."
Shaina menghela nafas berat lalu mengangguk beberapa kali. Kebohongan akan terjadi sebentar lagi.
Luke bangkit dari duduknya lalu merogoh kunci mobil dan berniat pergi meninggalkan Shaina dan Rava. Ia tidak mau berlama-lama disini. Masih butuh waktu setelah semuanya terjadi. Ia berjalan ke bawah dan terlihat orang-orang sedang mengaji jadi ia memutuskan lewat pintu belakang.
Setelah berhasil masuk ke dalam ia menyenderkan tubuhnya pada jok mobil, memejamkan matanya menahan emosi. Beberapa saat kemudian ia menyalakan mesin mobil lalu pergi entah kemana.
×××
Sekarang sudah pukul 9 malam tapi Luke masih juga berada disini. Cafe yang ia sewa khusus untuk merayakan ulang tahun Hailee dan juga melamarnya.
Dari pintu masuk cafe ini sudah terdapat karpet merah panjang dan lilin kecil yang wangi menemani di setiap sampingnya. Di setiap jalan juga terdapat clue yang harus di baca menunjukan dimana sebenarnya keberadaan Luke yang harus Hailee cari.
Karpet itu terputus dan berhenti di depan kolam kecil. Di tengah-tengah kolam terdapat tulisan 'I ♡ U HAILEE' yang di susun menggunakan bunga yang di tabur di atas kayu tipis berwarna coklat mengkilat.
Lalu di sisi kolam terdapat lilin lagi yang menenangkan jika di hirup.
Ada layar di belakang kolam, itu berisi video Luke yang mengucapkan ulang tahun pada Hailee. Disana ia menggunakan tuxedo rapih, video itu juga di selingi oleh foto-foto mereka saat baru pacaran. Dan lagu All Of Me menjadi soundtracknya.
Pada rencananya, jika video itu sudah selesai maka Luke akan keluar dan berlutut di depan Hailee. Mengeluarkan kotak cincin dan melamarnya menjadi tunangan.
Kalian jangan senang dahulu, ini hanya impiannya. Pada kenyataan Luke sekarang justru sedang mabuk di cafe ini.
"Jadi ini di cancel mas?" Tanya sang Manager cafe.
"Iya maaf ya Pak, tapi saya tetap bayar semuanya. Besok saya transfer."
Pak Adi mengangguk lalu menjabat tangan Luke dan juga memberi ucapan duka. Luke hanya memberi senyum palsu dan membalas jabatan tangannya.
Setelah sang manager pergi, Luke menyerahkan cangkir pada sang bartender lalu melipat tangannya. Ia menaruh kepalanya disana dan bergumam kecil.
"Aku sayang kamu Hailee, yang tenang ya disana."
a/n
ngetik ini pas lagi sakit,gaada yang ucapin gws?:-(
KAMU SEDANG MEMBACA
Hemmings
Fiksi Penggemar"Aku memang tidak sesempurna lelaki lainnya. Tapi rasa sayangku lebih dari kata sempurna untuk membahagiakanmu." -Luke Hemmings.