s e b e l a s - sebuah syarat

2.4K 340 60
                                    

Luke mengelus puncak kepala Hailee pelan. "Aku pulang ya."

Ia melambaikan tangannya pada Hailee sebentar lalu melangkahkan kakinya keluar menuju mobilnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, telinganya sudah menangkap jerit tangisan kekasihnya. Ah, apa perlu diralat? Maksudnya, mantan kekasihnya. Miris, baru dua minggu yang lalu ia merayakan anniversary 2 tahun bersama Hailee, sekarang justru harus kandas hubungannya.

Luke masuk ke dalam mobilnya dan menutupnya kasar. Luke terdiam, memandangi kaca depan tanpa minat. Pikirannya kosong sekali. Hingga tak sadar matanya sudah mengeluarkan cairan bening, dia menangis. Setegar apapun pria, jika memang sudah sayang tersakiti pasti ia akan menangis. Ada kalanya mereka juga menangis untuk menghilangkan beban.

Luke memukul stir dengan keras, lalu menyenderkan kepalanya pada stir. Pupus sudah harapannya untuk mengajak Hailee kembali. Ia tahu, sekeras apapun usahanya pasti Hailee akan bersikukuh pada pendiriannya. Lagi-lagi hatinya teriris, perih sangat rupanya.

Ia mulai menjalankan mobilnya keluar dari komplek rumah yang cukup mewah dengan emosi marah dan sedih yang tidak terkendali. Beberapa kali mulutnya memarahi orang tidak bersalah, bahkan sikapnya menjadi tempramental. Luke menancap gas dengan kencang hingga kecepatannya jadi tidak terkendali. Memanfaatkan keadaan jalan yang lengah untuk melampiaskan kesedihannya.

Aku sakit. Kamu sehat. Kita beda! Paham gak sih?

Luke berhenti mendadak, benar-benar membahayakan pengemudi yang lain. Tatapannya lagi-lagi kosong.

"Woi! Bawa mobil yang bener dong! Jangan bikin orang lain celaka, sialan!" Umpat pengemudi lain saat melintas disamping mobil Luke. Sementara yang dimarahi justru hanya terdiam, tidak mengindahkan kicauan itu.

Setelah kesadarannya telah kembali, Luke meminggirkan mobilnya. Luke mengusap wajahnya kasar, "Astagfirullah, gue gak boleh kaya gini."

                             ****

Suara hujan yang deras dan wangi hujan yang sangat tercium, menambah dukungan untuk Hailee bersedih. Seharian ini ia bagaikan mayat hidup. Ia memang bernafas, tapi tidak makan. Ia memang bergerak, tapi pirikannya diam. Dan raganya memang ada, tapi jiwanya entah kemana.

Decitan pintu kamar terdengar pelan. Shaina selaku kakak Hailee menatapnya sedih. Hatinya seakan ikut merasakan apa yang Hailee rasakan sekarang. Shaina menghela nafas pelan, lalu memijat pelipisnya. Ia berjalan mendekati Hailee yang sedang menangis dalam diam dipinggir kasur.

"Makan dulu yuk, abis itu kita kemo ke rumah sakit." Ucap Shaina pelan sembari mengelus punggung Hailee lembut.

"Gak, aku males." Jawab Hailee acuh.

"Sayang, kamu harus makan. Ini udah masuk jam makan malam, sedangkan kamu belum makan dari pagi. Yuk makan, biar kamu sehat." Kata Shaina lembut, terdengar jelas dari nada bicaranya bahwa ia sangat menyayangi Hailee.

Hailee menoleh, "Sehat? Bukannya percuma? Ujung-ujungnya juga mati. Hah."

Shaina membeku. Ucapan adiknya seakan menamparnya barusan, ia kalah telak. "Kamu jangan gitu dong, semangat! Sembuh demi kita dan Luke. Oke?"

Hailee terdiam lalu menggeleng. "Aku capek kak, aku capek harus kemo dan muntahin obat kimia! Aku capek mimisan terus! Aku capek kepala aku sakit terus! Aku capek sakit kanker! Mati aja sekalian!"

Shaina terkesiap saat tubuhnya tiba-tiba dipeluk Hailee erat, hingga ia sulit bernafas. Shaina berusaha melonggarkan pelukan Hailee dan mencari udara untuk bernafas. Hailee menangis lagi. Lagi. Dan lagi.

"Kok gitu sih? Semangat dong! Kamu pasti sembuh kok, lagi pula Luke kan selalu nyemangatin kamu."

Hailee menggeleng, "Aku putus sama dia."

"Jangan nangis terus dong. Kalau kamu kayak gini, terus kenapa kamu putusin Luke?"

Hailee melepaskan pelukannya lalu menyeka matanya. "Aku gak mau buat dia sedih nantinya, aku mau dia bahagia sama yang lain. Tapi disatu sisi aku masih sayang. Jadi aku harus gimana?" Tanya Hailee putus asa.

"Dengerin kakak ya, semuanya pasti akan kembali ke yang Maha Kuasa kok. Cuma bedanya kamu lewat jalur pintas, kalo kakak dan yang lain lewat jalan yang macet. Anggap aja kita balapan, jadi kamu bakal menang duluan." Shaina terus mengelus-elus kepala Hailee lembut, sesekali ia mengusap air mata yang berjatuhan."Kalau kalian bahagia saat bersama, terus kenapa harus mutusin hubungan? Kakak yakin kok Luke bisa ngatasin masalahnya nanti kalau kamu err.. maaf ya, kalau kamu misalnya pergi duluan. Intinya putusin yang menurut kamu adalah keputusan terbaik untuk kamu dan Luke. Oke?"

Hailee mengangguk pelan, "Oke."
Shaina tersenyum manis. "Makan yuk, nanti kita kemoterapi. Kamu mau sembuh kan?"

"Aku mau makan dan kemo, tapi ada syaratnya."

Shaina mengerutkan keningnya, syarat? "Apa syaratnya?"

"...."

Setelah Hailee bicara tentang syarat itu, Shaina benar-benar terdiam dan membeku. Sungguh, perkataan Hailee tadi membuatnya berpikir keras apa ia yakin bisa melakukan hal itu sepenuhnya. Itu akan sangat menyakitkan kedua pihak. Tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak di-iyakan Hailee tidak akan mau kemo dan minum obat lagi.

"Huft, oke. Kakak mau."

---
A/N

Boleh cerita? Jadi 2hari yang lalu aku pergi bareng tmn2 dan si cowo yang aku suka. Alis si friendzone-ku itu. Kita ngumpul dirumah tmn ceweku, aku sama dia main PS berdua. Kita main basara bareng.

Ketawa-ketawa bareng gara-gara dia ngelawak terus marah ngambek. Dan pas aku ambil bantal besar buat aku taro dipaha biar mainnya enak, eh dia justru tiduran dipahakuuuu! Dan sempet modus bilang "kenapa suka sama si itu sih? Mending sama gua"

Ya intinya sih aku cuma mau cerita itu hehe.

Parahhj friendzone bener-ener gak enak:-( help!

HemmingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang