Rasa Kebencian

340 18 1
                                    

(Ziefa POV)

"Jangan!!" Teriak seorang lelaki yang berlari menjauh dari gue. Sayangnya pintu yang ia coba buka terkunci. Tangan gue mengambil sebuah botol kaca lalu dibenturkan ke arah dinding. Suara kaca yang terpencah membuat lelaki itu menoleh pada gue. Dengan muka semakin panik ia terus membuka pintu, "tolong!!"

"Hhmm... Gak ada yang bisa nolong lo disini." Ucap gue dengan sinis. Lelaki itu terpaku saat pecahan botol kaca tepat didepan lehernya kemudian gue berbisik ditelinganya, "lo gak akan bisa lari dari gue."

"Tolong, jangan... Saya akan beri anda uang berapa saja asalkan-,"
Gue sedikit menjauh lalu bertanya, "berapa saja?"
"Iya, berapa pun."
Gue menunduk lalu tertawa senang, "GUE GAK BUTUH UANG!"
Lelaki tersebut terkaget saat gue berteriak kencang, "ma-maksud anda?"
Gue menatapnya lebih gelap dan tajam, "gue butuh darah.... darah lo."

(Arga POV)

Ketukan pintu yang menyaring membuat gue terbangun kemudian bangkit dari ranjang, melangkah dengan bantuan tongkat, "siapa?" Tanya gue sebelum membuka pintu.

"Gu-gue."
Gue terpaku lalu menyahuti, "Ziefa?"
"Hm."
Baru saja pintu terbuka, Ziefa langsung memeluk tubuh gue, "gue kangen lo, sayang." Tiba-tiba saja tubuh Ziefa merosot, "eh, Ziefa?"
Nafas wanita itu tersengal-sengal. Punggung tangan gue menyentuh dahinya yang panas, "badan lo panas. Ayo gue antar ke kamar."

Dia hanya diam pasrah mengikuti langkah gue. Saat gue ingin ke dapur untuk mengambil obat, ia menahan tangan gue, "disini aja temenin gue."
"Cuman sebentar, Zie."
Akhirnya ia mengalah dan melepaskan tangan gue. Tak lama gue pun kembali lagi dengan membawa obat dan sebuah gelas berisi air.

"Makasih." Ucapnya lembut setelah meminum obatnya.
"Sekarang, lebih baik lo tidur."
"Tapi lo tetep disini ya?"
Gue mendengus, "oke-oke, puas?"
Dia terkekeh senang lalu memegang tangan gue erat.
"Lo-lo ngapain?"
Ziefa hanya diam tak berbicara. Sepertinya wanita ini sudah tidur. Sudut gue terangkat saat mengingat ucapan Ziefa dua minggu lalu.

"Gue akan tetap berusaha biar lo jadi milik gue. Dengar ya! MILIK GUE!!"

Gue menaruh tongkat disamping ranjang lalu mengelus rambutnya lembut, "lo dan Altana ini sama ya, sama-sama keras kepala. Dan gue suka itu."

(Altair POV)

"ATA! KAMU DENGAR AKU BICARA GAK SIH?!" Teriak Ana tepat ditelinga gue. Ekor mata gue menatapnya, "kenapa?"
Ana mengembungkan pipinya kesal, "menyebalkan!"
"Maaf, tadi kamu ngomong apa?" Tanya gue sekali lagi dengan nada bersalah. Jawaban dia hanya membuang muka kearah lain.

"Kamu akhir-akhir ini suka banget bengong tau gak? Ada apa sih?" Tanyanya dengan kesal.
Gue sempat terdiam lalu akhirnya menjawab, "gak ada apa-apa."
Ia mendekatkan mukanya. Mata abu-abu kami saling menatap, "jangan bohong sama aku."
Jari gue memegang dagunya, "siapa yang bohong sama kamu coba." Lalu tersenyum manis. Sontak muka Ana memerah dengan cepat. Matanya menatap kearah lain, bibirnya mengerucut, "kamu menyebalkan."

"Iya itulah aku, kakak kamu." Jawab gua sambil menepuk pipinya dua kali. Kami kembali saling menatap dan saling tersenyum.

*flashback*

"Om boleh cerita?" Tanyanya sambil menaruh putung rokok di asbak. Kepala gue hanya mengangguk. "Tentang anak, om."
"Anak om?" Beberapa detik kemudian otak gue mengingat sesuatu, "kak Ziefa?"
Dia tersenyum misterius, "hm." Lalu mukanya berubah semakin gelap. Rahangnya mengeras, alisnya menyatu marah.

A-ada apa ini?

"Memangnya ada apa dengan Kak Ziefa?" Tanya gue dengan sopan.
Om Zio menghela nafas lelah, "Ziefa meninggalkan rumah demi melakukan kesenangannya."
Gue menyerngit, "kesenangan?"
"Saya juga gak tau, apa maksudnya. Saya juga sudah menyuruh pengawal saya untuk mencari nya tetapi selalu tak pernah ketemu. Saya bingung harus bagaimana lagi berbicara dengannya. Dia juga tidak pernah menemui mamahnya selama lima tahun ini."
Mata gue terbelalak, "lima tahun?"
"Iya."

Karena Cinta Kita BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang