Masihkah Ada Kesempatan?

97 4 0
                                    

Arga menutup bukunya pelan lalu menatapnya lama. Tanpa sadar, ia tersenyum miris karena perasaan gelisah yang akhir-akhir ini menghantui. "Arga.. berikan aku darah wanita itu." ucap iblis yang berada didalam dirinya. Bukannya menjawab Arga hanya lebih memilih diam dan bangkit dari kursi. Kini ia tahu harus pergi kemana.

~~~~~~~~~~~~

Cahaya yang masuk diantara tirai berhasil membuat mata Altana terbuka. Didepan cermin, ia bisa melihat betapa mengerikan wajahnya sekarang; muka pucat, kantung mata, mata bengkak dan rambut yang super berantakan. Hari ini tepat seminggu, Altana tak bertemu Arga. Padahal ia sudah mencoba kabur dari Ata tetapi usahanya gagal. Helaan napas keluar dari mulut Altana, "aku mau bertemu dengannya."

Suara ketukan pintu yang lumayan keras mampu membuatnya tersentak. "sayang turun, ada Arga dibawah." Mata Altana terbebelak tak percaya saat mamahnya itu menyebut nama pujian hatinya, dengan cepat ia berlari kearah pintu dan membukanya, "kak Arga, mamah serius?!" Nera mengangguk antusias, "iya, dia ada dibawah. Kamu mandi terus dandan yang cantik."

senyuman mengembang dibibir Altana kemudian ia mengangguk cepat. Tak perlu menunggu lama, kini Altana telah terlihat cantik. kaki jenjangnya menuruni tangga dengan cepat. Mata abu-abunya tepat melihat laki-laki itu yang kini berdiri diantara kakak dan papahnya. "kak Arga?" panggil Altana seraya menghampiri ketiga laki-lali kesayangannya.

uh... aura Ata benar-benar serem banget.

"tumben kesini, ada apa?" mata Altana bisa melihat sang papah tersenyum manis. Alis Arga terangkat, "lo baik-baik aja?" Karena saking gugupnya, Altana sampai meremas tangannya kencang kemudian tersenyum hambar "ba-baik."

Tangan Arga menepuk kepala Altana pelan, "syukurlah, lo baik-baik aja." balas lelaki itu seraya tersenyum. senyuman yang mampu membuat jantung Altana seperti mau meledak. momen indah ini berakhir karena Ata menarik bahu Altana kebelakang, "gak usah sok peduli."

"Ata!" teriak Altana kesal sambil melotot kearah sang kakak. Reaksi Arga seperti biasa tak peduli dengan apa yang diucapkan Ata padanya. Sampai akhirnya mulutnya berbicara, "kalau begitu gue pergi dulu." Bola matanya beralih kearah Alfan lalu membungkuk cepat, "terima kasih sudah mengizinkan saya untuk datang kesini, saya permisi." Baru saja kakinya berjalan dua langkah, ia dikejutkan dengan ucapan Alfan, "memangnya saya bilang ya untuk mengizinkan kamu pergi?"

Kepala Arga menoleh kebelakang. Alis terangkat saat melihat wajah Alfan yang tersenyum misterius dengan tangan didepan dada, "enggak kan? kalau begitu sini duduk dulu, kita ngobrol-ngobrol." 

"pah! apaan sih? biarin aja dia pergi." protes Altair tak terima. Bulu kuduk Altait langsung naik saat tatapan Alfan berubah jadi tajam, "ini hak papah, jadi terserah papah, ngerti?" Kepala Altair menunduk takut, "i-iya, maaf." Setelah berbicara itu, Alfan tersenyum manis, "sini, ayo duduk. Anggap saja rumah kamu sendiri."

Kepala Arga mengangguk memgerti, perlahan tubuhnya ikut duduk disamping Alfan.

"udah kenal Ana dan Ata sejak kapan?"
"em... gak tau pak, saya lupa."
Alfan menahan tawa, "pak? kamu itu bukan karyawan diperusahaan saya, kenapa harus panggil saya pak?"
"jadi saya harus panggil apa?"

Tepat saat itu Nera datang, wanita itu menaruh tiga cangkir teh diatas meja kemudian menatap Arga, "panggil papah misalnya?"
"papah?" lirih Arga pelan. "-dia bukan orang tua saya, buat apa saya panggil dia papah?"
Ucapan tajam Arga tak membuat Nera tersinggung, ia malah tersenyum manis dan kembali berbicara, "mungkin suatu saat nanti kita bisa jadi orang tua kamu." Alfan dan Nera sama-sama menatap Altana misterius. Anak perempuan itu baru menyandari beberapa detik kemudian, "papah! mamah! apaan sih?! malu tau!!"

Karena Cinta Kita BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang