Enam

6.1K 339 1
                                    

Prilly

"Erin, sama gue aja." Ucapan Ali yang berhasil buat gue sakit hati. Apa Ali berusaha ngindarin gue? Gue bersikap acuh tak acuh cuman karena gak mau semakin dalam rasaini.

Gue ngikutin Ali mengantarkan keruangan gue, ruangan ini bersekat sekat menggunakan kaca besar, cukup luas.

"Ini meja lo. Aturan kerja disini, entar Raka kasih sama lo."

Gue cuman ngangguk. Apa dia gak ngerasain apa yang gue rasain? Gue cuman butuh kepastian dari dia. Kalo dia emang cinta gue, gue gak bakalan mundur, tapi kalo dia enggak cinta gue, gue bakalan mundur, dan nguburin rasa yang gue punya.

Gue menyalakan komputer yang berada didepan gue. Rasanya bosan, apakah tidak ada pekerjaan hari ini? Gue berniat nemuin Ali menanyakan kerjaan hari ini.

DEGH...

Badan gue serasa melemas melihat Ali berada dibelakang kursi wanita itu, dan memegang tangan wanita yang sedang memegang mouse, mereka terlibat saling bertatapan dan wajah keduanya begitu dekat.

"Sorry..." lirih gue tercekat dengan merasakan sesak didada.

Keduanya tersadar dan Ali melihat gue kaget. Apa selama ini kerjaan Ali begini? Pantas aja dia begitu betah kerja dikantor.

Gue segera berlalu dari mereka. Sedikit mempercepat langkah, tak ingin orang orang tahu kalau sekarang gue menangis.

Gue duduk dikursi ini, menenggelamkan kepala gue. Tersenyum miris, Ali tak mengejar sekedar meminta maaf atau menjelaskan yang sebenarnya. Rasa rindu menyeruak, mengingat Ali yang suka ngegoda gue. Gue kangen Ali dulu.

"Prill..." suara Raka membuat gue menoleh kedia. "Ini berkas berkasnya, filenya disini. Editingnya yang oke yah!" Raka berlalu begitu saja setelah memberi pekerjaan buat gue. Dengan segera gue mengerjakannya.

Beberapa jam berkutat dengan pekerjaan dan gak kerasa waktunya makan siang. Gue keluar sekedar merefresh otak mencari cafe sekitar sini.

Saat keluar, beranjak dari kursi. Rasa sesak menyeruak kembali, melihat Ali dengan wanita itu. Apa itu Erin? Teman Raka yang tadi pagi Raka bicarakan? Harusnya Ali makan bareng gue bukan dia.

Gue segera keluar dari kantor menuju cafe sekitar sini.

Duduk di pojok cafe ini, pilihan yang tepat. Melihat Ali dan Erin dari sini begitu jelas. Gue cuman pesen segelas Capuchinno. Rasa lapar tadi seketika hilang melihat Ali dan Erin.

Ali terlihat bahagia. Tawanya lepas, begitupun Erin. Belum pernah Ali tertawa saat bersama gue. Tangan gue seketika mengepal melihat Ali membersihkan makanan disudut bibir Erin. Mata gue memanas, apa Ali enggak tahu gue disini? Gue segera pergi dari sini. Lebih baik diam di kantor menyelesaikan pekerjaan.

Sedikit tergesa gesa menuju meja membuat gue terjatuh, "aw..." semua mata menatap gue, gue lihat semuanya menertawakan tapi menutup mulutnya, gue mencoba berdiri, air mata gue udah keluar gitu aja.

Sesekali mengusap air mata yang keluar, meskipun tak bersuara.

Menangis tanpa bersuara, cukup memberi tahu apa yang gue rasain saat ini. Gak ada seorangpun yang mengerti perasaan gue saat ini termasuk Ali.

Gue memejamkan mata, ingin menghentikan air yang keluar menandakan kesakitan saat ini.

Apa ini tandanya gue harus mundur ?

Kisah KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang