6

92.1K 6.5K 937
                                    

"we can't run away from reality. we can only accept the reality though is difficult."

-Adel-

•••

Aku terduduk di kursi kayu yang berada di balkon kamarku. Aku menatap kosong ke depan. Jiwaku memang disini, tapi pikiranku melayang entah kemana. Dadaku semakin sesak mengingat kejadian semalam.

Tamparan itu, bentakan itu, kemarahan itu, tangisan itu, seperti terus memutar di kepalaku, bagaikan cambuk yang terus mencambukku setiap saat tanpa ampun. Bahkan aku dapat mengingat semuanya dengan jelas. Semuanya seperti sudah tersimpan di sel otakku yang paling jauh dan terdalam membuatku sulit untuk melupakannya.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menghilangkan sesak yang sedari tadi mengangguku.

Kurasakan seseorang menepuk pundakku lalu duduk di sampingku. "are you okay, hel?" tepat saat itu, kurasakan setetes air mata mulai jatuh melewati pipiku.

"i'm here, don't cry," bisik Kak Nico tepat di telingaku lalu menghapus sisa air mataku dengan lembut.

Perlakuan itu justru membuatku semakin menangis dan mulai terisak, aku susah payah menelan ludah berusaha untuk membasahi kerongkonganku yang kering.

Rasanya, aku ingin melontarkan semua pertanyaan yang ada di dalam otakku sekarang, tapi tidak bisa. "tell me, please," justru kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Terkadang, apa yang kita lontarkan dengan apa yang kita pikirkan berbanding terbalik.

Kak Nico menatapku dengan tatapan teduhnya. "not now, hel."

Aku menatapnya dengan tatapan memohon. "pleaseeee," aku berusaha menggoyang-goyangkan tangannya sekuat tenaga, namun tidak berhasil karena tenagaku sudah habis terkuras lewat air mata.

Sekali lagi, Kak Nico menghela nafas panjang. "Okay, fine," ucapnya sembari memegang kedua pundakku.

"Kamu tau kenapa Papa jarang pulang belakangan ini?" aku menggeleng lemah sebagai jawaban.

Kak Nico susah payah menelan ludahnya. "Itu karena Papa selama ini nginep di rumah sekertarisnya hel. Dan mereka...." Kak Nico memejamkan matanya, aku menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan.

"Mereka, mereka khilaf hel. Papa selingkuh sama wanita itu. Mama tau dari temennya yang kebetulan kerja sekantor sama Papa. Temen Mama bilang Papa sering mesra-mesraan di kantor dan ahh," jelas Kak Nico lalu mengacak rambutnya frustrasi.

Bang!

Dadaku seperti di hujani batu kerikil. Air mataku lolos untuk kesekian kalinya, membuat mataku berubah kemerahan. Punggungku bergetar hebat, aku menutup mataku dengan kedua tanganku.

Aku membuka mataku perlahan dan langsung bertemu dengan mata hazel milik Kak Nico, aku menatapnya dengan tatapan terluka. "you lied to me," ucapku dengan nada bergetar.

"It was a lie, right? KATAKAN PADAKU KALAU ITU SEMUA BOHONG!!!" ucapku setengah berteriak dan kembali terisak.

Kak Nico langsung membawaku ke dalam pelukannya, ia menenggelamkan kepalanya di pundakku lalu mengelus-ngelus punggungku tanpa menjawab pertanyaanku tadi.

Broken HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang