23

57.9K 3.8K 689
                                    

"Regret is a lesson to be more careful in making a decision."
–Adel–

•••

"Maafkan Papa... Maaf..."

Suaranya terdengar lirih. Matanya memerah menahan air mata, menyesali atas apa yang telah ia perbuat pada gadisnya. Kini, semua tinggalah penyesalan. Oleh karena itu, pikirkan matang-matang sebelum membuat keputusan jika tidak ingin mengalami penyesalan. Penyesalan memang selalu datang di akhir, karena jika di awal bukanlah penyesalan melainkan permulaan.

"Ssssttt," bisik Rachel. "Simpen maaf Papa. Papa nggak perlu minta maaf sama Rachel. Di sini, harusnya Rachel yang minta maaf. Rachel udah pernah bentak Papa, tuduh Papa yang enggak-enggak, marahin Papa. Rachel bikin Papa marah dan kecewa sama sikap Rachel. Harusnya Rachel nggak ngelakuin itu. Maafin Rachel Pa..."

Kepalanya tertunduk. Bahunya sedikit berguncang. Ia baru menyadari bahwa tidak ada gunanya membalas dendam pada Papa kandungnya sendiri. Seharusnya ia ingat pengorbanan Papa yang telah ia berikan untuknya. Tanpa peran Papa, ia tidak akan ada di dunia ini. Entah setan darimana yang menutupi mata dan hatinya sehingga waktu itu ia sangat membenci Papa.

Papa tidak menyangka bahwa Rachel akan menjawab sedemikian rupa. Kedua bola mata Papa berbinar melihat kedewasaan Rachel yang mulai tampak. Ia patut berbangga hati mempunyai putri seperti Rachel.

"Maaf Papa akan selalu terbuka untuk putri Papa."

Dengan segera, Rachel menarik Papa ke dalam dekapannya. Rio sudah sedaritadi keluar kamar meninggalkan mereka berdua. Memberi ruang mereka untuk berdiskusi dengan leluasa. Hanya mereka berdua, empat mata, tanpa ada perantara ataupun penengah di dalamnya.

Lega. Itu yang di rasakan Rachel saat ini. Beban berat yang ia pikul beberapa tahun belakangan ini runtuh seketika. Sudah tidak ada dendam di dalam hatinya. Sesak di dalam dadanya sudah berangsur-angsur menghilang.

Masih tetap pada posisinya; berpelukan dalam diam. Hanyut akan pikiran mereka masing-masing. Saling menyalurkan rindu yang tertahan setelah sekian lama terpendam.

Suara pintu terbuka membuat Rachel melepaskan pelukannya dan melihat ke arah pintu. Di ambang pintu, terdapat Bi Ima dengan semangkuk bubur dan air mineral di tangannya.

"Maaf Tuan, Non. Bibi ganggu kalian ya?" tanya Bi Ima di ambang pintu.

"Enggak kok, Bi."

Bi Ima berjalan mendekati kasur Papa dengan senyum mengembang di wajahnya. "Oh ya, ini buburnya, Tuan."

"Taruh di sana." Papa mengisyaratkan Bi Ima untuk menaruh mangkuknya di meja dekat kasur. Dengan segera Bi Ima menaruh mangkuk dan air mineralnya di meja dekat kasur, sesuai dengan perintah Papa.

"Saya balik ke dapur dulu ya, Tuan, Non. Ada pekerjaan yang belum selesai, mari." Sedetik kemudian, Bi Ima sudah hilang terhalang pintu.

Suasana berubah sunyi senyap. Mereka saling bertatapan tanpa ekspresi di wajah masing-masing.

"Itu–" ujar mereka berbarengan.

"Papa dulu aja."

"Kamu dulu aja."

Sontak, mereka berdua tertawa. Menertawai diri mereka sendiri lantaran sedaritadi berucap sama sekaligus berbarengan. Mungkin untuk sebagian orang, hal sekecil ini tidaklah lucu. Bahkan banyak yang bertanya-tanya, di mana letak lucunya? Tapi menurut mereka, hal sekecil itu sangat lucu karena sebelumnya mereka belum pernah merasakannya.

Broken HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang