24

58.5K 3.9K 665
                                    

"If you want to be strong, learn to fight alone."
Anonymous

•••

"Rachel, Bangun, Nak." Rachel merasakan pipinya di tepuk perlahan. Sinar matahari menyinari wajahnya yang masih terlelap. Silau.

Rachel menggeliat, matanya masih terpejam. "5 menit lagi," rengeknya. Selimut bunga-bunga miliknya di tarik hingga menutupi wajahnya, menghalangi paparan sinar matahari yang menyilaukan.

"Sayang, ini sudah jam 8, kita kan mau pergi ke puncak," ujarnya lembut lalu mengelus puncak kepala Rachel dengan sayang.

Mendengar suara itu membuat Rachel refleks membuka matanya dan tersentak melihat Mama berada di hadapannya dengan senyuman manis di wajahnya. Rachel mengucek mata dengan kedua tangannya seolah-olah tidak percaya bahwa di hadapannya ini adalah Mamanya. Ia takut jika ini hanyalah sekedar halusinasinya semata.

"Mama?!" teriaknya histeris.

"Iya, ini Mama, sayang," jelasnya. Menyadarkan Rachel bahwa di hadapannya ini nyata. Bukan halusinasinya.

"Rachel nggak mimpi, kan?" tanyanya dengan tampang polos yang membuat Mama tertawa kecil.

Tanpa menunggu balasan dari Mama, Rachel segera mendekap Mama dengan sangat erat, seakan tidak ingin membiarkan Mama pergi untuk kedua kalinya. Mama mulai mengelus pundaknya. Kedua mata Rachel terpejam, menikmati sentuhan hangat milik Mama yang membuat dirinya terasa seperti benar-benar hidup. Setetes air mata lolos melewati kedua pipinya, air mata yang memancarkan kebahagiaan. Segera ia menghapus air mata itu dengan punggung tangannya. Tidak ingin Mama mengetahui jika ia sedang menangis saat ini.

"Kamu ini kenapa sayang?" tanya Mama saat Rachel tak kunjung melepaskan pelukannya. Rachel terdiam, mulutnya mengatup rapat-rapat.

"Udah ah, pelukannya. Kita udah telat, sayang," ujar Mama seraya berusaha melepaskan pelukannya. Mau tidak mau, akhirnya Rachel melepaskan pelukannya dengan perasaan tidak rela.

Rachel masih tidak percaya bahwa di depannya ini adalah Mamanya. "Ini beneran Mama?" tanyanya sekali lagi, memastikan bahwa di depannya memang benar-benar Mama. Tangan mungilnya bergerak menyentuh pipi Mama.

Kening Mama mengerut. "Iya, ini Mama sayang. Kamu ini kenapa sih? Kok daritadi nanyanya kayak gitu."

Ini nyata. Sangat nyata. Rachel tersenyum senang seraya menggeleng. "Nggak kenapa-napa kok, Ma."

Mama mencium kening putrinya. "Yaudah. Kamu mandi dulu sana. Mama mau nyiapin sarapan dulu, ya," ujarnya seraya berbalik, hendak turun ke lantai dasar untuk menyiapkan sarapan.

Arah pandangan Rachel mengikuti tubuh Mama yang akhirnya menghilang di balik pintu. Kini, pandangannya beralih menyapu seisi ruangan ini. Kamarnya. Ia berada di kamarnya.

Ini membingungkan. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ini nyata, tapi ini terlihat nyata. Bagaimana bisa? Membingungkan. Aneh tapi nyata.

Tak memusingkan hal itu, Rachel segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi dengan handuk baymax di tangannya. Setelah itu, ia segera membersihkan badan serta wajahnya yang di penuhi dengan belek serta iler.

Beberapa saat kemudian, Rachel keluar dari kamar mandi dengan handuk baymax yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia berlari kecil menuju lemari bajunya dan memilih satu setel sweater merah muda serta celana jeans di atas lutut.

Broken HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang