Part 4

269 19 0
                                    

Hari sudah sangat gelap pada pukul tujuh lewat tiga puluh ketika Hori Chie tiba di hotel universitas seorang diri. Hari ini adalah hari di mana ia berjanji untuk bertemu dengan Tsukiya­ma.
Ada sebuah alasan mengapa ia hadir lebi­h awal dari waktu yang telah ditentukan. Jika kau pikirkan, menyelinap ke dalam rumah sakit pada waktu tengah malam akan terasa sulit. Semua pintu mungkin sudah terkunci dan pasti akan ada banyak petugas keamanan. Itu lah alasan mengapa ia berpura-pura menjadi seorang pembesuk untuk dapat memasuki rumah sakit.
Chie berjalan lurus menuju ke toilet khusus wanita. Begitu ia memasuki satu bilik, ia meletakkan ranselnya, mengambil piyama dan berganti pakaian. Ia masukkan pakaian sebelumnya ke dalam tas dan mengalungi kameranya pada leher sebelum menutup ritsleting ransel. Sekarang ia perlu tempat untuk menyembunyikan barang-barangnya.
Chie bergerak kembali menuju lantai rumah sakit. Di sana, semak-semak bunga azalea tumbuh di sepanjang jalan. Chie menghindari cahaya dan meletakkan ranselnya di balik semak-semak tadi di mana cahaya tak dapat menjangkau ransel. Ia sempat melesat kembali untuk memeriksa apakah ranselnya bisa terlihat atau tidak, namun terima kasih kepada kegelapan, ranselnya benar-benar tersamarkan.
"Ah."
Ding-dong-dang-dong. "Pemberitahuan kepada para pembesuk. Jam besuk akan segera berakhir."
Jam besuk mulai dibuka pada jam 10 malam rumah sakit universitas. Setelah mendengar pemberitahuan, para pembesuk mulai meninggalkan rumah sakit satu per satu. Para pasien berdiri di pintu masuk untuk melihat kepergian mereka.
Chie berlama-lama di sana selama beberapa saat, mengamati sekeliling dengan hampa. Bahkan jika ia berdiri seperti itu pun, ia akan terlihat seperti anak SD atau SMP dan orang-orang mungkin hanya akan berpikir bahwa ia adalah seorang anak biasa yang tengah merasa sepi setelah kepulangan orangtuanya.
"Jam besuk telah berakhir."
Tak lama setelah pemberitahuan terakhir dikumandangkan, pintu masuk dikunci. Chie menyelinap masuk di antara para pasien yang bergerak kembali menuju kamar masing-masing. Rumah sakit universitas ini memiliki lebih dari seribu pasien yang selalu datang dan pergi dalam satu gelombang.
Bahkan jika kau bekerja di sana, tidak akan mungkin bagimu untuk dapat mengingat semua pasien. Chie berjalan melewati para dokter dan perawat, namun ekspresinya tak menunjukkan apa pun, tak ada yang mempertanyakan dirinya. Ia memasuki sebuah elevator bersama dengan pasien lainnya.
"Mari lihat..."
Tempat ia sampai merupakan area umum lantai delapan. Sekarang situasinya sangat berbeda.
Tak seperti para dokter dan perawat untuk pasien perawatan biasa, para perawat di area ini dapat mengingat hampir semua pasien yang mereka rawat sesuai tugas. Yang paling utama, area ini dipenuhi manula. Jika seorang gadis yang terlihat seperti anak SD atau SMP berkeliaran di sini, ia yakin akan tertangkap.
Sekali lagi, Chie memasuki sebuah toilet untuk menghindari penglihatan salah seorang suster yang mengambil jadwal bekerja di waktu malam. Chie menutup penutup toilet, duduk di atasnya dan menunggu beberapa saat. Di luar sana masih ribut dan ia bisa mendengar banyak suara langkah kaki.
Seorang pasien mungkin bisa saja memasuki toilet dari waktu ke waktu, namun karena banyaknya bilik toilet, tidak ada yang memperhatikan meskipun ada satu orang yang tengah sibuk sejak lama.
Chie memainkan kameranya dan menghabiskan waktu dengab mengamati foto-foto yang telah ia potret. Mereka adalah orang-orang yang kemarin ia potret di rumah sakit, kemudian juga sebuah foto yang memperlihatkan Tsukiyama tengah melahap seorang manusia.
"... Oh."
Ketika satu jam hampir terlewati, musik klasik mulai mengalun di dalam area itu.
Chie mendongak.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam, ketika sebagian besar lampu dimatikan. Satu per satu, lampu di lantai tersebut dipadamkan seiring berakhirnya lagu. Lampu-lampu ruangan luar toilet juga sudah dimatikan. Tidak ada tanda-tanpa kehadiran orang lain.
Chie tetap di sana sedikit lebih lama, dan setelah tiga puluh menit berlalu baru lah ia keluar dari sana. Dengan langkah pelan, ia mengintip ruang depan, namun tidak ada siapapun di sana. Tetapi dikarenakan adanya cahaya kecil yang terlihat pada deret kamar pasien, ia berpikir bahwa sebagian orang mungkin masih bangun. Dengan amat hati-hati agar tidak membangunkan siapapun, Chie melepas dan menjinjing kedua sepatunya, bergerak melintasi ruangan.
Posko perawat berada di tengah-tengah lantau. Ketika Chie mengintip ke dalam, ia melihat dua orang yang terlihat seperti perawat. Ia berjongkok agar tidak terlihat oleh mereka, dan secara perlahan melewati posko tersebut. Para perawat yang bertugas di jam malam tersebut terlihat penuh tangannya oleh barang-barang pekerjaan dan tak menyadari Chie.
"Sudah sampai."
Tempat yang pada akhirnya berhasil ia jangkau bukan lah sebuah ruang klub besar, melainkan sebuah ruang pribadi yang terletak di ujung lantai. Itu adalah ruangan tempat pria tua yang ia temui kemarin tinggal. Ia menempelkan telinga pada pintu dan mendengar dengkuran keras dari sisi lain. Chie menggeser pintu dengan pelan.
"...?"
Begitu pintu dibuka, terciumlah aroma manis dari dalam. Tidak, aromanya lebih kuat. Sambil mengira-ngira bahwa aroma tersebut merupakan aroma parfum, ia menyadari bahwa lampu-lampu ruangan tersebut padam seluruhnya. Sulit baginya untuk melihat, kemudian ia pun memasuki ruangan dengan lebih berhati-hati.
"Ah, ia sedang tidur."
Di sebelah jendela, terdapat sebuah ranjang besar. Gorden sedang dalam keadaan tertutup, namun ia dapat melihat sosok pria tua kemarin yang melecehkan si perawat. Chie mencoba melambaikan tangan di depan mata si pria tua, namun tak ada reaksi.
"Halooo..." ujarnya dengan amat pelan. Si kakek masih tidak bangun. Berikutnya, ia mencolek pelan kedua pipi si kakek.
"... Dia tidak mau bangun."
Si kakek terlihat sangat lelap. Mungkin ia telah mengonsumsi obat tidur. Jika memang begitu, maka kakek itu tak akan bangun semudah itu. Chie berhenti sejenak dan kembali mengamati seisi ruangan.
"Wooow!"
Benarkah ruangan ini disebut ruang rawat? Interior ruangan benar-benar luas dan tidak hanya punya toilet sendiri, namun juga kamar mandi dengan alat siram. Ditambah, ada sebuah sofa, meja, dan kulkas - apapun di sini semuanya terkesan lebih mewah dari hotel bisnis pada umumnya.
Chie duduk di sebuah sofa, mengagumi si pria tua. Jika ia bisa membayar untuk tinggal di sebuah ruang pribadi mewah, ia pasti seorang yang kaya, seperti yang Tsukiyama katakan sebelumnya. Seolah memamerkan kewenangan yang ia punya, ada banyak hadiah berderet di rak, termasuk rangkaian buket bunga mewah, makanan manis, bahkan buah-buahan. Chie bangkit dan menatap satu buah terpisah yang ada di atas rak. Ia ambil yang menurutnya paling mahal di antara yang lain; sebuah mangga. Mungkin itu lah asal dari aroma manis yang memenuhi ruangan, namun baunya lebih kuat. Merasa sedikit janggal, Chie memutar sisi buah tersebut dan mendapati bagian buah yang warnanya sudah berubah dan busuk.
"Hm..."
Mungkin tidak ada orang yang menyusun dan merapikan hadiah-hadiah yang diterima si kakek, meskipun hadiah dari para pembesuk menggunung. Di situ juga tidak ada tanda-tanda bekas penggunaan pisau buah yang tergeletak. Kelihatannya tidak ada yang peduli soal dimakan atau tidaknya buah yang berikan. Chie duduk kembali pada kursi panjang dan melihat beberapa foto si kakek yang ia potret kemarin.
"Waktunya hampir tiba..."
Ia memeriksa jam dan melihat bahwa angka menunjukkan pukul 11:55 malam. Sudah hampir tiba waktunya untuk bertemu dengan Tsukiyama. Si gadis meregangkan lengan dan berbaring. Sinar rembulan menembus memasuki ruangan melalui celah gorden.
"...?"
Chie yang mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari luar, langsung melesat bangun dan mendengarkan dengan seksama. Suaranya semakin nyaring melewati lorong dan memasuki salah satu kamar pasien. Sepertinya seorang perawat tengah patroli, dan di saat seperti ini, bisa saja si perawat mendatangi ruangan di mana Chie sedang berada.
"Uh oh..."
Chie melirik ke sekeliling untuk mencari tempat persembunyian. Kamar mandi mungkin bisa jadi pilihan bagus, namun suara langkah kaki si perawat kian mendekat.
"Sepertinya tak ada harapan."
Chie memanfaatkan tubuh mungilnya dan menghilang ke bawah kolong ranjang. Hanya dalam beberapa detik setelah ia bersembunyi, pintu terbuka dan cahaya senter memasuki ruangan. Si perawat yang berpatroli hanya akan memeriksa pasien dan pergi setelahnya. Itu lah yang ada di pikiran Chie, namun tanpa diduga si perawat malah menutup pintu dan tidak meninggalkan si kakek yang tengah tertidur. Selain itu, si perawat berjalan ke arah deret rak dan berhenti di sana. Apa yang sedang ia lakukan? Seiring prasangka Chie menhalar di kepala, terdengar suara pembungkus berdecit dari si perawat. Lalu disusul dengan suara yang terdengar seperti kunyahan.
- Manisan itu.
Sudah bisa dipastikan bahwa si perawat sedang memakan makanan pemberian pembesuk milik si kakek tanpa izin. Sambil mengunyah, si perawat berjalan mendekati si kakek. Dari bawah kolong tempat tidur, Chie daoat melihat kedua kaki si perawat. Orang itu mengenakan sepatu perawat yang cantik, dan sudah pasti perawat itu adalah seorang wanita. Kemudian terdengarlah sebuah suara tamparan keras. Mungkin wanita itu sedang menepuk kedua telapaknya dari sisa manisan.
"Hei. Kau masih hidup?"
Sebuah tamparan terdengar lagi. Kedengarannya lebih berat dan berbeda dari suara sebelumnya.
"Ayo, jawab aku. Kalau aku tidak dapat memastikan bahwa kau masih hidup, nanti aku tidak bisa mendatangi kamar berikutnya."
Suaranya terdengar dingin dan merendahkan. Lagi; plak, plak, plak, bunyinya. Chie menyadari bahwa si perawat tengah menampar si kakek.
"Uuuugh..." pria tua itu melenguh, namun hal itu tidak menghentikan si perawat dari menamparnya dengan berkelanjutan.
"Apa, jadi kau masih hidup? Menjijikkan. Tak ada gunanya jika kau masih hidup. Seharusnya kau mati. Itu lah yang orang-orang pikirkan, seharusnya kau mati. Kenapa kau masih hidup, menjijikkan, penuhi permintaan kami dan mati lah!" pekik si perawat, sambil menghajar pria tua itu.
Chie beranggapan suara si perawat tidak menjurus ke kekesalan, melainkan lebih ke suara seorang pelaku kriminal. Ia pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya. Suara seseorang dibanting berkali-kali terdengar.
Tiba-tiba, sebuah suara meredam suasana dan suara seorang pria lain lagi terdengar, "Tidak kah itu manis, Malaikat Putih?"
Suara pria itu jelas milik Tsukiyama.
"W - wha - what?" Si perawat benar-benar terkejut mendapati sosok si penghalang yang tak terduga sampai ia terduduk lemas. Chie yang masih berada di bawah tempat tidur dapat melihat wajah si perawat. Wanita itu adalah perawat yang kemarin.
"Hah, kenapa ... Tsukiyama-kun? T - tunggu sebentar, kita berada di lantai delapan!"
"Maaf karena telah merusak jendela. Aku sudah bilang untuk membiarkannya terbuka, tapi si tikus kecil malah tidaj menurut."
Tsukiyama dengan perlahan melompat ke dalam ruangan, sementara Chie pun merangkak keluar dari kolong ranjang.
"K - kau orang yang bersama Tsukiyama-kun kemarin... apa yang terjadi?! Kenapa kau di sini?!"
"Permisi, tapi tolong biarkan aku bicara terlebih dahulu. Bagaimana menurutmu tentang 'pekerjaannya', tikus kecil? Ia menyakiti pasien seperti ini, malam demi malam!"
Sambil berujar tentang hal itu pada Chie, Tsukiyama menunjuk si perawat. Perawat itu tidak dapat sepenuhnya paham keadaan sulit tersebut, namun menyadari bahwa akan ada yang lebih buruk dari ini. Ia mulai gemetar ketakutan. Sambil menatap si perawat, Tsukiyama merobek selimut dari ranjang itu. Tubuh dari pria tua yang sedang berbaring di sana sekarang terekspos.
"Ada gejala pendarahan dalam."
Si perawat meringis.
"Tapi seperti yang dia (si kakek) lupakan tentang apa yang telah ia lakukan pada orang lain, ia melupakan apa saja yang telah orang lain lakukan untuknya. Dia tidak tahu mengapa kau menyakitinya dan ia tidak mengingatnya. Itulah sebabnya mengapa orang menganggap luka itu ia dapat dengan sendirinya. Akhir dari kisah. Bukan kah itu sebuah plot yang luar biasa? Indah, bravo!"
Tsukiyama menghadap ke arah si perawat dan bertepuk tangan untuknya. Dengan tepukan terakhir, Tsukiyama berhenti dan perlahan menggerakkan tangannya ke arah area tubuh si kakek yang mengalami pendarahan dalam dan, dengan jemarinya, ia mencubit si kakek.
Aroma terbaik menyebar semerbak di wajah Tsukiyama.
"Baiklah, waktunya makan malam."
S-r-e-e-k-k! Suara robekan terdengar lagi di penjuru ruangan.
Pada ujung jemarinya, Tsukiyama memegangi kulit robekan dari si kakek itu.
"Ahh!!!" Si perawat menjerit ketakutan.
"Lihat, katanya kulit seorang lelaki tua rasanya sangat enak. Aromanya unik dan teksturnya bikin ketagihan, makanya lumayan populer di antara beberapa kalangan."
Tsukiyama perlahan meletakkan kulit tadi di atas lidahnya. Untuk mencicipi makanannya dengan benar, ia memejam dan menggulungnya dengan hati-hati di atas lidah. Tanpa tergesa-gesa ia mengunyah dan menelannya. Kemudian, kedua matanya membelalak lebar.
"Cita rasa kering yang sempurna dari kulit luarnya sangat kontras dengan sisi satunya, sangat empuk dan lumer dengan darah, jalinan tekstur ini, ketajaman rasanya merangsang lidah menuju cita tertinggi, HARMONIIII!!!"
Tsukiyama merentangkan kedua tangannya dengan lebar dengan dada membusung seolah sedang menatap ke langit - kedua matanya berubah warna menjadi merah tua.
"T--t--tidak mungkin..."
Kakugannya yang bersinar terang jelas terlihat.
"A-apa yang-aduhhhh, sakit!!!"
Sepertinya rasa sakit berhasil mencapai otak si Kakek sampai-sampai ia terbangun.
Tsukiyama menjilat bibirnya sendiri dengan riang sambil menyinggung si kakek, "dibandingkan dengan wanita, angka harapan hidup pria lebih pendek, dan angka harapan pria dalam mencapai umur sembilan puluhan bahkan sangat kecil! Seseorang yang tua sepertimu benar-benar langka dan berharga!"
Sekali lagi, Tsukiyama mencubit kulit si kakek... dan merobeknya.
"Gwaaaaaaaaahhh!!!"
"Kulitnya dibubuhi dengan pigmen kering, seperti bubuk! Enak sekali!" "
To-tolong hentikan, hentikaaaaan..."
"Tepat, menyenangkan sekali mengetahui bahwa kulit seorang pria tua sangat mudah lepas! Proses perobekan sampai tertelannya kulit bahkan membuat acara makan malam ini terkesan lebih menyenangkan!"
Tsukiyama menguliti si kakek dengan penuh semangat. Melihat keberingasan yang tengah terjadi, si perawat sampai tidak mampu berdiri. Entah bagaimana, ia menyahut serak dengan suara gemetar, "Tsukiyama-kun... kamu, kamu itu ghoul...?"
Tsukiyama mengunyah, menelan, dan menjawab.
"Hah, aku lah si Gourmet! Yang memburu menu makanan yang luar biasa!"
Si pria tua, yang sudah sangat panik, sekarang berguling dari ranjang dan bertumpu pada telapak tangan serta lutut, mengulurkan tangan kepada si perawat.
"To-tolong aku, tolooong!"
Kulit tangannya sudah robek oleh Tsukiyama, memperlihatkan daging segar yang basah.
"Tolong aku, aku akan lakukan apapun, aku akan berikan apapun padamu! Uang! Aku juga punya banyak perabot! Aku mohon padamu, aku mohooon..."
Kedua lengan si kakek sekurus kayu kering, dan kedua matanya dibanjiri oleh air mata. Ia memohon pertolongan kepada si perawat. Ujung jemari si kakek hampir meraih si perawat. Sambil menelan ludah, si perawat kembali teringat akan emosinya, menggertak gigi-giginya dan berseru, "Pergi, dasar mata keranjang!!"
Bahkan meski si kakek dalam keadaan demikian, si perawat menendang kakek itu dengan sekuat tenaga. Dan di saat itu, sebuah cahaya melesat bersinar dari kegelapan. Yang menerangi ruangan sesaat adalah cahaya dari kamera, dan hal tersebut juga diikuti bunyi klik dari tombol. Chie telah memotret peristiwa si perawat yang menendang si kakek.
"Eksentrik! Sampai akhir pun kau sangat menarik!"
Tsukiyama mengeluarkan sanjungan sambil meraih cepat kerah piyama si gadis, dengan mudah mengangkat gadis itu untuk saling bertatapan dengannya.
"Tidak peduli bagaimana pun orang sedang menderita, kau tetap pada hobimu. Aku suka itu! Aku percaya itu sampai akhir, tentang hal yang membuat hidup manusia menjadi berwarna sampai sebaik itu adalah kegemaran mereka sendiri. Mereka menggunakan topeng orang baik dan berbohong pada orang lain hanya demi diri sendiri, serta dengan mudah berkhianat. Aku percaya bahwa itu lah kekejaman yang telah mempengaruhi manusia sejauh ini! Tapi entah bagaimana..."
Tsukiyama menyeringai kepada si gadis.
"Bersenang-senangnya cukup sampai di sini!!"
Berkata demikian, Tsukiyama menggantung Chie di luar jendela. Jika ia melepas Chie, gadis itu akan terjatuh dengan kepala membentur tanah terlebih dahulu, yang berarti kematian pasti. Angin menerpa bangunan, gorden dalam ruangan berkibar.
Ruang rawat yang telah hancur tersebut tiba-tiba menjadi hening.
"Jawab aku. Apa yang kau lihat sekarang?"
Tsukiyama menyamarkan senyum cerianya, dan seolah akan berhenti menutupi semuanya serta hendak langsung ke inti, Tsukiyama melepas satu dari jemarinya sambil menatap Chie.
"Ketakutanmu mulai menyergap, keputusasaan memenuhimu. Dunia kehilangan warnanya dan jantungmu berhenti berdetak..."
Chie terbatuk, tubuhnya melambai dan kedua kakinya menjuntai. Sekarang ini pilihan hidupnya sangat terbatas. Chie bisa saja menjatuhkan diri dan terluka parah, atau bisa saja mengiba memohon untuk tetap hidup; kedua hal tersebut adalah pilihan yang tersisa. Dalam keadaan yang demikian, setitik emosi dari bagian terdalam hatinya mulai muncul entah dari mana di tengah terpaan angin.
Tsukiyama melepas lagi satu dari jemarinya.
- Sekarang, orang macam apakah kau itu?
Tak lama, Tsukiyama melepas Chie dan ajal akan menjemput si gadis. Tsukiyama menunggu jawaban darinya.
"...?!"
Namun kata-kata yang ia harapkan tidak datang. Setelah menatap hening ke arah langit, Chie bertemu pandang dengan Tsukiyama dan memposisikan kameranya di kedua tangan. Menatap Tsukiyama melalui lensa, Chie menekan tombol potret.
"Ya...terlihat bagus."
Bahkan hingga momen puncak seperti itu ketika ajal hendak menjemput, ia masih sempat memotret seperti biasanya. Fakta ini membuat Tsukiyama merinding.
Chie bukanlah seseorang yang gagal dalam berpikir bahwa tidak masalah jika dirinya harus mengorbankan segalanya. Tidak, baginya, setiap kehidupan eksis dalam pesawat yang sama. Itu merupakan sistem yang berharga yang melampaui etik, yang telah membuat cara pandangnya seimbang. Tanpa ada pembatas antara manusia dan ghoul, anjing dan kucing, atau bahkan burung dan ikan; semuanya sama. Itu lah mengapa Chie dapat menerima hal apapun apa adanya, dan pergi ke manapun rasa penasaran membawanya dan melanjutkan memotret apapun yang memacu dirinya.
Hal tersebut benar-benar suci, dan tidak mungkin bisa hidup lebih daripada insting orang ini.
Mungkin semangatnya mencerminkan; persisten tantangan Tsukiyama untuk mencari hidangan gourmet.
"Tidak kah ini menarik!"
Tsukiyama meraih kain baju Chie dan mengangkatnya kembali ke ruang rawat tadi dalam sekali ayun.
"Oof!"
keseimbangan Chie oleng sesaat ketika ia tengah berayun di udara karena ketika Tsukiyama meletakkan dirinya kembali ke lantai, Chie goyah dan hampir jatuh. Namun Chie kembali pada keseimbangannya dan ketika ia berdiri tegap di atas kedua kakinya, ia berkata, "Ah... aku masih hidup. Beruntungnya aku!"
Ketimbang merasa lega melewati maut, Chie malah berkata demikian hanya dengan intonasi biasanya. Hal tersebut terjadi di depan mata Tsukiyama, "Aku tahu, sekarang aku mengerti! Kau adalah peliharaanku!"
Tsukiyama merasa sangat senang karena telah menemukan jawaban, namun Chie hanya memperhatikannya, merasa bingung. "Huh?"
"Aku berpikir tentang mengapa aku tidak merasa kalau kau mengundang selera makanku pada akhirnya, tapi itu masuk akal jika hal itu sama saja seperti seorang manusia yang merawat sebuah peliharaan! Little mouse, mulai hari ini aku menjadikanmu sebagai peliharaanku!"
"Um, tidak."
Tanpa ragu Chie menolak dan mulai memeriksa foto-foto yang telah ia potret.
Tidak ambil pusing dengan penolakannya, Tsukiyama menepuk puncak kepala Chie tanpa canggung dan berkata, "Apakah ini perasaan yang manusia rasakan ketika kucing tidak mau berada di dekatnya? Benar-benar menarik!"
Sambil berpendapat demikian, Tsukiyama juga berpikir bahwa ukuran tubuh Chie adalah pas dan kelihatannya mudah untuk merawatnya.
Chie melepas kameranya dan mendongak menatap Tsukiyama, mengganti topik dengan seenaknya, "Ah, yang terpenting, Tsukiyama-kun, pernah kah kau mendengar tentang post terjadwal dalam blog?"
"Tentu aku tahu itu. Tentang layanan di mana kau bisa menulis artikel sendiri dan menjadwalkan waktu postingannya sesuai waktu yang telah ditentukan, bukan?"
"Itu benar. Sebetulnya, aku telah menjadwalkan foto-fotomu yang sedang makan, yang aku ambil beberapa waktu lalu, untuk diunggah pada jam satu."
Hal tersebut merupakan tentang foto-foto brutal yang jelas bisa dinilai orang dalam sekali lihat bahwa Tsukiyama adalah seorang ghoul. Chie sempat berencana untuk mengunggahnya di situs online. Tetapi ia tidak berniat untuk mengancam atau menipu Tsukiyama.
"Aku mengaturnya jikalau tubuhku tidak dapat ditemukan karena aku sebetulnya tidak seperti itu. Jadi aku menulis, 'Pelakunya adalah Tsukiyama Shuu-kun! Siswa dari SMA Aflisiasi Universitas Seinan Gakuin, harap ditindaklanjuti!' namun karena aku bertahan hidup, jadi aku harus menghapusnya."
Hal tersebut terlihat tidak efisien pada awalnya namun tindakan tersebut sangat logis. Terkesan tolol, namun pintar dan peka.
Chie menatap ke arah luar jendela di mana ia sempat tergantung beberapa saat lalu dan menunjuk ke arah satu dari semak azalea yang agak jauh dari posisi mereka. Ia menyembunyikan barang-barangnya di sana.
"Ah, tapi bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini? Aku tidak bisa hanya berjalan melewati rumah sakit dan pergi begitu saja, 'kan? Aku tidak berpikir sampai sejauh itu," ucapnya dengan gelisah sambil memijat dengan gerakan memutar pada kedua pelipisnya dengan jemari. Melihat hal ini, Tsukiyama tertawa terbahak-bahak. Tingkah dari si gadis, yang tidak merencanakan apapun lebih dari ini, tidak dapat dikategorikan dalam apapun. Dialah seorang yang unik bernama 'Hori Chie.' "Kalau begitu, haruskah kita meninggalkan tempat ini?"
Hasil dari kejadian hari ini cukup memuaskan, dan keperluan Tsukiyama di sini sudah usai.
"Hm?!"
Tsukiyama memeluk Chie, membawanya di bawah lengan, bersiap di depan bingkai jendel. Di seberang pria tua yang sedang menangis itu, si perawat meringkuk dan menahan napas ketika Tsukiyama menatap kembali ke arahnya. Tatapannya membuat si perawat gemetar karena takut, namun Tsukiyama tersenyum simpul dan berkata, "Ku pikir kita bertiga bisa berteman baik."
"Ap..."
Tidak mengerti maksud darinya, suara si perawat tercekat kaget. Tanpa menjawab, Tsukiyama melompat ringan menuju luar jendela.
"Apa maksud dari itu tadi?..."
Ancaman bagi hidupnya telah berlalu. Entah mengapa si perawat masih belum bisa berhenti gemetaran dan masih terduduk di lantai. Ia terlalu kewalahan dan membungkuk agar dapat bergerak.
Dari semua itu, yang pertama berdiri dengan kaki sendiri bukan lah si perawat, melainkan si kakek yang tadinya merangkak di lantai. Namun setelah itu ia terjatuh lagi dan mulai meringis, "Aduh, aduhhh!"
Melihat keadaan si kakek yang dalam keadaan tak layak dilihat membuat si perawat kembali mendapatkan kesadaran penuh. Ia memegangi dinding dan perlahan mulai berdiri. Untuk saat ini, ia harus kembali ke posko perawat dan melaporkan ghoul. Ia mencapai pintu ruang rawat.
Kemudian, suara si kakek yang serak menggema dalam ruangan, "Aku tidak akan melupakan ini-!"
Si perawat menoleh dengan kaget.
"Aku tidak akan melupakan apapun yang telah kau lakukan padaku, tidak akan!!"
Si kakek yang telah dikuliti, berdarah di mana-mana, mendelik pada si perawat dengan tatapan tajam yang waspada.
"Aku akan bocorkan semuanya! Bahwa kau telah menghajarku! Kau bahkan tidak mampu merawat pasien dengan benar, dasar wanita sialan!!!"
Dalam sekejap, sesuatu hancur di dalam diri si perawat. Sesuatu yang telah lama ia pendam itu kini telah mencapai batas. Si perawat menurunkan tangannya yang tadi terangkat menuju pintu dan tanpa bicara sepatah kata pun ia kembali menapak ke arah si lelaki tua.
Ia berjalan melewati sang kakek, dan dari saku seragam putihnya, ia mengeluarkan sarung tangan tang selalu ada bersamanya selaku petugas kesehatan. Kedua kakinya berhenti di depan rak. Di sebelah buah-buahan terdapat pisau buah yang beraroma buah karena baunya menempel. Dengan hening si perawat mengambilnya.
"A- apa..."
Si perawat berputar ke arah si kakek. Sinar rembulan kecil yang menerangi ruangan tersebut jatuh kepada ujung pisau.

Novel Tokyo GhoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang