Bab 3

102 7 0
                                    

Sudah tiga hari lalu setelah pertemuan keluargaku dengan keluarga om Hendra.

Om Hendra orang yang asik, baik hati dan menyenangkan. Dipertemuan itu aku tidak terlalu banyak bicara karena aku bukan tipikal orang yang bisa akrab pada pembicaraan pertama. Sifatku ini diturunkan oleh mamaku, disana ia juga tidak berbicara terlalu banyak, hanya berbicara seperlunya, jika tidak terlalu penting ia akan diam, sama sepertiku.

Sekarang aku berada di kafe, tepatnya diruanganku. Aku sedang mengurus berkas-berkas. Dua hari lagi, ada seorang pelanggan yang ingin membooking kafeku untuk acara ulang tahun. Bisa dibilang hari ini aku sibuk sekali, karena kemarin orang tersebut minta acaranya dimajukan oleh karena itu aku diberi kepercayaan seutuhnya untuk mendekor, membuat makanan berat dan kue ulang tahun yang bertema putih.

Kring..kringg

Ponselku berbunyi, ada seseorang yang menelpon. Ku angkat ponselku tanpa melihat nama yang tertara disana.

"Halo Karlina,"
"Iya, pah ada apa?" Kataku saat mengenali suara papa dari seberang sana.

"Kamu masih di kantor?"

"Iya pah,"

"Kamu sudah makan?" Kata papa.
pantas saja perutku sedari tadi berbunyi ternyata ia meminta makan.

"Belum, pah."

"Papa tunggu di restauran teria, sekarang," kata papa

"Oke pa, aku kesana sekarang," kataku dan langsung beranjak dari duduk.

---

Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai. Aku mencari sekeliling sudut restauran, tidak ada orang yang aku cari tetapi ada satu orang yang ku kenal, ia adalah seseorang yang semalam aku temui, laki-laki itu sedang duduk sendiri didekat jendela sepertinya ia juga sedang menunggu seseorang. Langkahku berhenti di dekatnya.

"Aldi," ia sedang memainkan ponsel, saatku panggil ia menoleh dan menaru ponselnya di kantong celana.

"Oh, hai Karlina," agak kaget mendengar ia memanggil namaku, ku kira ia tidak tau namaku ternyata ia tau.

Dari ekspresi yang aku lihat di wajah putihnya itu ia juga kaget melihat keberadaanku.

"Boleh duduk disini?" Tanyaku

"Silakan,"

"Lo nungguin siapa?" Kataku memulai pembicaraan.

"Bokap gue, katanya dia mau makan bareng tapi belum dateng juga. Kalo lu?"

"Sama, bokap gue juga. Udah lu coba hubungin?" Tanyaku

"Udah tapi engga diangkat-angkat, mungkin macet," kata Aldi.

"Lu dah coba,-" Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dan tak lama ponselku juga berbunyi.

Papa engga bisa makan malem sama kamu, kamu makan sendiri aja

-papa

Aldi tiba-tiba mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan.

"Sirloin steak satu, minumnya jus melon," setelah memesan ia mengenokku untuk meminta jawaban apa yang ingin aku pesan.

"Sama in aja deh," kataku saat tau maksud dari tatapannya itu.

Pelayan itu pergi meninggalkan kami.
"Gue tau pasti bokap lu engga bisa dateng juga kan? Kelihatan dari ekspresi wajah lu saat menerima sms tadi," aku tersenyum menjawabnya.

"Oiya Katanya lu punya kafe?" Katanya saat beberapa detik kami terdiam.
"Iya kecil-kecilan," kataku sambil tersenyum tipis.

Aldi ber-oh dan pelayan mengantar makanan kami. Kami hanya fokus dengan makanan masing-masing.

"Kesini naik apa?" Tanya Aldi saat aku menyapu sisa makanan dibibirku menggunakan tisu.

"Bawa mobil." Kataku.
"Yaudah yuk balik," Aldi memanggil pelayanan dan menyerahkan kartu kreditnya.

Ia membayar makananku tanpa izin.

Satu kata dibenakku, cowo dingin.

Meskipun ia dingin, tapi kenapa hati ini menolak untuk mengatakannya. Tak apalah, ini permulaan. Mungkin memang seperti ini pembawaannya pada orang baru.

Saat aku melihat wajahnya sekilas tadi berjalan berdampingan tanpa bersentuhan, sempurna.

Tampan dan mempesona.

ONE THING(END)Where stories live. Discover now