Bab 19

63 5 0
                                    

Seharian ini aku banyak melamun.

Semenjak beberapa hari kemarin Aldi datang ke Kafe, aku jadi memikirkannya.

Ternyata Aldi baik, waktu itu ia sempat dingin kepadaku karena Aldi tau akan dijodohkan.

Setelah kompetisi dan mendapatkan juara dua, rasanya ada yang berbeda dari sosok Aldi.

Dia lebih perhatian kepadaku.

Dan kemarin, ia mencium keningku.

Aku tidak tau itu kecelakaan atau apa.

Aku memegang kening, ada senyum yang tersungging dibibirku.

Tring...tring..

Handphoneku berdering.

Nama Tina tertara disana.

Untuk apa ia menelpon ku.

Aku tolak panggilan itu.

Sekarang pukul setengah satu, waktunya makan siang.

Aku beranjak dari duduk mengambil tas ku dan bersiap pergi.

"Sit, pada mau makan apa?" Tanyaku.

"Udah pada makan nasi Padang tadi," kata Sita.

"Oh yaudah, gua cari makan dulu ya," kataku lalu melangkah keluar.

Dari kejauhan mataku melihat sosok yang tidak asing.

Ada apa lagi dia kesini?

Aku berhadapan dengan orang itu setelah dirinya masuk ke dalam.

"Apa lagi sekarang?" Tanyaku malas.

"Aku minta tolong," jawabnya.

"Minta tolong sama yang lain aja," kataku, saat aku ingin jalan tetapi Aldi menghadang ku.

"Cuman kamu yang bisa nolongin aku," katanya lagi.

"Masih banyak teman kamu yang mau nolongin," kataku lagi.

"Aku cuman mau kamu, bukan yang lain," katanya sedikit memohon.

Deg

Aku menghela napas panjang.

"Minta tolong apa?"

"Temani aku datang ke pernikahan sahabatku," katanya.

Alisku mengerut, tidak ada kah yang lebih penting lagi dari sekedar menemani ke acara temannya.

"Tidak bisa aku sibuk," kataku lalu pergi melewatinya.

Ia mengekoriku sampai ke parkiran.

"Karlina," tangannya berhasil menggapai tanganku.

"Apa lagi si?" Tanyaku kesal.

Aldi menatap mataku dalam.

"Sebegitu bencinya kamu sama aku?" Tanyanya pelan.

Aku mengalihkan mataku.

Bukan benci, aku hanya ingin mencoba melupakan Aldi

Tapi kenapa lelaki itu selalu saja muncul dihadapan ku.

Aku tidak bisa berkutik.

Bahkan dia tidak disisiku pun namanya masih terngiang di pikiranku.

"Aku engga benci sama kamu," kataku pelan.

"Terus? Kenapa kamu selalu mencoba menghindar?" Tanyanya lagi.

Pegangannya tidak lepas.

"Aku tidak mau nyakitin semua orang," kataku.

"Semua orang? Dengan kamu kayak gini kamu nyakitin aku," katanya lagi.

"Kamu pikir apa yang kamu lakukan kemarin tidak nyakitin aku?" Aku menaikan nada satu oktaf.

"Masalah kemarin aku sudah menjelaskannya sama kamu, terus apa lagi yang harus diselesaikan?" Tanya Aldi.

"Iya memang sudah selesai, begitu pun juga dengan urusan kita,"

Aldi menggeleng gelengkan kepala.

"Jadi kamu mau urusan kita selesai begitu saja tanpa ada persetujuan aku, orang tua kamu dan orang tuaku?" Tanya Aldi.

Deg

Kata kata Aldi sangat mengena di hatiku.

Aldi melepaskan genggamannya.

"Baik kalau begitu," katanya lalu pergi meninggalkan aku yang masih terhanyut dalam kata katanya.

---

Makan siang pun menjadi tidak berselera.

Pekerjaanku juga tidak ada yang beres.

Aku pulang agak lebih cepat, aku serahkan sisanya kepada Sita.

Di ruang keluarga, aku melihat mama sedang menonton TV.

Aku mendekat dan salim dengan mama.

"Gimana hari ini?" Tanya mama.

Mama memang sering menanyakan hari hariku di Kafe.

"Baik baik aja," kataku lalu duduk di samping mama.

"Terus kalo kamu kabarnya gimana?" Tanya mama.

Aku melihat mama sebentar, pertanyaan aneh.

"Mama kan tiap hari ngeliat aku, ko malah nanya kabar," aku curiga.

"Iya mama tau, tapi mama kan engga pernah tau keadaan hati kamu," kata mama yang masih fokus kepada handphonenya.

Aku menghela napas panjang.

Mulai membicarakan ini lagi.

"Apaan si ma, aku masuk dulu," kataku lalu berdiri.

Aku berjalan beberapa langkah.

"Besok keluarga om Hendra mau datang ke rumah," tambah mama.

Kakiku berhenti.

Kepalaku berbalik arah.

"Ngapain?" Tanyaku spontan.

"Ya makan malam sama keluarga kita," mama menatapku.

"Aku engga mau ikut," kataku mengalihkan pandangan.

"Kenapa?"

"Karena aku tau, tujuannya bukan hanya makan malam tapi untuk membicarakan,-" aku tidak mau melanjutkan pembicaraanku.

Mama berdiri dan berjalan mendekat. Mama mengelus anak rambutku.

"Kalau memang kamu tidak mau melanjutkan, bilang saja. Papa sama om Hendra itu sahabatan. Kalau kamu bersikap seperti ini, bisa bisa mereka bermusuhan karena kamu," kata mama.

Ya Tuhan.

Benar apa yang dikatakan mama.

Bisa bisa persahabatan papa dan om Hendra selesai karena keegoisan aku.

Kenapa jadi dampaknya ke orang tua ku. Padahal ini semua karena Aldi.

Aku diam.

"Kamu istirahat sekarang, besok kamu jangan datang ke Kafe, biar Sita yang ngurus satu hari," kata mama.

Besok aku akan bertemu laki laki itu lagi.

Apa yang akan aku katakan besok.

Pasti semua orang akan berfokus padaku.

Jika om Hendra bertanya kepadaku, aku harus jawab apa?

Tidak mungkin aku kabur saat orang orang membutuhkan jawab aku.

---

ONE THING(END)Where stories live. Discover now