Jongin ceroboh. Semua bayangan tentang Seulgi dan Sehun, juga bagaimana Seulgi terus memaksanya untuk bertahan dengan Soojung, hanya membuat rasa sakitnya makin menyesakkan. Dia sudah tak peduli apa resiko yang akan dihadapi setelah menyatakannya—dengan emosi—pada Seulgi. Kini mereka berdua di dalam mobil, dengan amarah masing-masing, Jongin menatap tepat di bola mata gadis yang membuatnya gila belakangan ini, dan gadis itu juga balas menatapnya. Ada genangan air mata yang nyaris jatuh dari mata indahnya. Tidak, Jongin tidak ingin melihat itu. Sebegitu burukkah dirinya hingga yang bisa dia lakukan hanya membuatnya menangis? Maka pantaslah jika nantinya Seulgi memilih bersama Sehun. Karena Sehunnya selalu membuatnya bahagia. Sehunnya selalu membuat senyumnya merekah. Sehunnya tidak seburuk dirinya, yang malah membuatnya menangis.
"Abaikan..." Jongin mengusap wajahnya, frustasi. Lalu mengambil rokok dan pemantik dari dasbor mobil, menyalakannya. Dia terlalu kalut. Satu kali hisapan dan hembusan asap rokok, kemudian Jongin melempar kasar pemantik yang apinya sudah ia padamkan. Saat ia hendak menghisap rokok untuk kedua kalinya, tiba-tiba tangan Seulgi menggenggam bara api dari ujung rokok itu hingga padam. "Apa kau sudah gila?" bentaknya, murka. Dia langsung membuka genggaman tangan Seulgi dan membuang jauh-jauh rokok itu dari sana. Tangan Seulgi sudah terluka. Bagus sekali. Kini dia melukai tangan berharga gadis yang dia cintai.
"Jongin-ah... aku tidak tahu kau merasa kesulitan selama ini."
Tidak, jangan dengan suara bergetar itu. Jongin tidak bisa mendengarnya. Seulgi mungkin akan meminta maaf dan mengatakan bahwa dia tidak bisa melakukan apa pun untuk perasaannya. Lalu dia akan ditinggalkan dengan sangat menyedihkan.
"Kita ke rumah sakit dan mengobati tanganmu," Jongin menyalakan mesin mobil lagi.
"Aku juga tidak mengerti kenapa dan apa perasaanku padamu. Tapi aku... selalu memimpikanmu, Jongin-ah. Seringkali aku merasa iri pada Soojung yang bisa memilikimu dan menghabiskan lebih banyak waktu denganmu. Bahkan aku mulai membayangkan Sehun itu adalah dirimu."
"Jangan mengatakan apa pun. Tanganmu terluka."
"Jongin-ah..." suara Seulgi makin bergetar. Jongin sangat yakin air matanya mengalir sekarang. "Bagaimana ini—sepertinya aku juga menyukaimu."
"Diamlah..." Jongin menyetir secepat mungkin yang dia bisa untuk mencapai rumah sakit. "Jika kau terus mengatakannya, aku khawatir tidak bisa melepaskanmu."
"Lalu aku harus bagaimana? Kau tidak ingin aku mengatakannya tapi kau sendiri telah menyatakan perasaanmu padaku. Kau ingin aku tersiksa karena rasa bersalah?"
Persetan dengan kecerobohan dan kegilaan. Jongin tidak punya banyak waktu untuk berpikir tentang orang lain, entah itu Soojung atau Sehun. Dia menghentikan mobilnya lagi dan membungkam bibir Seulgi dengan bibirnya. Untuk membuatnya diam. Karena sungguh, sekarang dia tidak akan pernah melepaskan Seulgi. Dia bersumpah.
***
Seulgi bersikeras untuk tidak ke rumah sakit dengan meyakinkan Jongin bahwa dia bisa merawat lukanya sendiri. Maka Jongin hanya mengantarnya ke apotik untuk membeli alat dan bahan yang dia butuhkan. Dia biarkan Seulgi membubuhkan sesuatu—mungkin obat—entah apa itu karena dia hanya terus menyetir.
"Eh? Ini kemana?" tanya Seulgi saat mendapati jalan yang mereka lalui cukup asing baginya. Tangannya sudah terbalut dengan rapi. Beruntung sekali dia kuliah kedokteran sehingga tahu bagaimana menghadapi situasi mendadak ini.
"Rumahku," jawab Jongin singkat.
"Hah?"
"Jangan temui Sehun dulu besok."
"Tapi—"
"Kita sampai."
Mobil Jongin berhenti di sebuah halaman luas yang mengitari rumah besar. Seulgi jadi tahu, ini bukan rumah orang sembarangan. Jongin turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil. Sejenak Seulgi tampak bingung—hanya duduk diam hingga Jongin menggenggam tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Fanfiction"Love sucks. Sometimes it feels good. Sometimes it's just another way to bleed."