Gan, ane butuh jamu nih, diminta kritikan pedasnya dong buat cerita absurd ane. Caci maki yang bertanggungjawab tentang tulisan ane. Sumpah serapahnya yang membangun. Kalau nggak mau nelurin kata-kata pedasnya di kolom komen, bisa kok ente lewat pm atau bbm.
Ane mah apa atuh.
En, ane juga mau ketularan syndrome selametan ah. biar kekinian gitu, ahahaha...
Pertama buat Mr. (r) yang udah mau dengerin celotehan ane, dan mau ane repotin, uhuhu
Buat dua silent readers ane. Miss D & Mr. H, tengs somad udah mau review cerita gaje ini.
hahaha.... bacot banget siihhh,,,, biarin lah, biar pada penasaran. hihihi
penasaraan... ea... cuzz baca, vote, komennya ane tunggu :)
Makassar, 1996
Seorang bocah laki-laki berusia empat tahun, berlari-lari kecil dengan tapak mungilnya di dalam rumah megah yang banyak benda porselain mahal. Rambut hitamnya berurai lembut, bergerak seirama dengan ayunan kakinya. Matanya berpijar imut, bibirnya merah basah, ada liur menetes di sudut. Sebelah tangannya memegangi mainan, sebelah lagi mengepal liat.
Dari mulutnya terdengar suara racauan meneriakkan mama, suaranya kecil, melengking, memekakkan telinga. Sepatunya yang tiap kali mengjinjak lantai menyala merah dan berbunyi, berdecit-decit nyaring. Berbenturan dengan nama 'mama'.
Begitu sampai di dapur, dan mendapati sosok wanita anggun berparas cantik tengah sibuk memotong wortel, bocah tersebut langsung memeluk lutut wanita itu, kemudian tertawa lepas sambil mendongak, membuat liur yang menetes di sudut bibirnya semakin banyak.
"Satya sayang, manja banget sih!" seru wanita itu tersenyum gemas, meletakkan pisau pada tatakan, mengelap kedua tangan pada apron biru laut yang sedang dia kenakan, kemudian menarik tubuh si bocah dan menggendongnya.
"Habis mama tidak pernah pulang, Satya kan kangen mama..." si bocah merajuk, memeluk leher mama dan mengerucutkan bibir.
"Mama kan ada misi rahasia, sayang, makanya mama sering pergi keluar kota."
Satya kembali manyun, mencebik lucu.
Mama terkikik geli kemudian mencubit pipi Satya sayang, sambil mengecup kecil-kecil wajah Satya.
"Tapi kan Satya kesepian, mama, tidak ada yang nemenin Satya di rumah, Satya bosen main ama robot-robotan."
Mama menghela nafas, masih tersenyum, "Kan ada bibi yang bisa nemenin Satya main, biasanya kan Satya sering main sama bibi."
"Bibi tidak bisa nemuin Satya kalau lagi main petak umpet, mama, tidak kayak mama yang selalu bisa nemuin Satya. Pokoknya, tidak seru ah bibi," Satya bersedekap, berseru jengkel, mainan yang tadi dia bawa, dipegang kuat.
Mama kembali tergelak, mencubit kuncup hidung Satya, dan akan menjawab pertanyaan bawel anaknya, tatkala sebuah ponsel yang dia simpan di saku celana bahan, berdering menyela. Mama buru-buru meraih HP-nya, menekan sebuah tombol di sana kemudian menempelkannya di telinga.
Percakapan orang dewasa yang tidak dimengerti Satya terjadi antara mama dengan orang entah siapa di seberang telpon sana. Diselingi ketawa-ketiwi membahas hal entahlah apa itu, mama menurunkan Satya dari gendongannya, dan ― tanpa mengucap kata perpisahan pada Satya ― pergi begitu saja meninggalkan dapur setelah sebelumnya melepas apron dan menggantungnya di gantungan.
Satya mengekor, menatap punggung mama yang sangat dicintainya. Dilihatnya mama mengambil tas bermerk mahal yang tergeletak di atas meja, hal berikutnya, seperti yang sudah-sudah ― masih dengan mengabaikan Satya yang menatap harap padanya ― mama berjalan keluar dari rumah, lalu suara deru mesin mobil terdengar bersamaan perginya haha hihi mama dengan orang di seberang telpon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness
AcakHidup Bayu adalah kepingan - kepingan petualangan, dari satu gunung ke gunung yang lain, dari satu jalan ke jalan yang lain. Hidupnya adalah kebebasan dan keliaran. Hidup beralas bumi dan beratap langit dengan seberkas sinar Matahari dan Bintang. Di...