"Harry jangan pergi... Harry kumohon dengarkan aku... Harry... Harry!!" Aku terbangun dengan keringat bercucuran dari hampir seluruh tubuhku.
Aku memimpikannya lagi. Entahlah kenapa mimpi ini sering mendatangi ku dalam dua bulan terakhir. Aku benci harus memimpikannya lagi, aku benci harus mengingatnya lagi. Sudah hampir enam tahun aku berpisah dengannya, aku mencoba untuk melupakannya namun semua itu terasa percuma.
Berbagai cara telah aku coba. Mulai dari pergi jauh dari Orlando untuk menjauh darinya hingga memutuskan membangun hubungan dengan beberapa lelaki. Aku juga mencoba untuk berkeliling Eropa hanya untuk menemukan ketenangan. Tapi semua itu percuma. Seakan bayangan Harry terus saja menghantui ku.
Aku mencoba menghubungi nomor seseorang lewat ponselku. Tapi tak ada jawaban darinya. Lantas aku mencoba untuk tidur kembali karena seminggu terakhir ini aku tidak bisa kembali tidur setelah memimpikannya.
*****
"Selamat pagi Annie, ayah sudah datang?" Sapaku pada gadis muda yang sedang duduk di meja receptionist.
Ia tersenyum padaku lalu menggelengkan kepalanya. Aku menghembuskan nafas lega setelah mendengarnya. Ya mungkin sudah lebih dari tiga bulan aku bekerja di klinik ayahku. Aku mengikuti jejaknya menjadi dokter hewan.
Biar ku ceritakan bagaimana aku bisa bertemu dan bersatu kembali dengan ayahku. Ya ternyata beberapa tahun yang lalu yang kulihat di Orlando memang benar ayahku. Ia bersama mantan asistennya yang juga adalah kekasihnya mengamati ku dari jauh. Bahkan ia sampai mengikuti ku pindah ke London pada waktu itu.
Beberapa minggu di London, ayah belum juga menampakan dirinya. Sampai suatu hari ia muncul di depanku saat aku membantu Poppy berbelanja. Pada awalnya aku marah padanya. Aku bahkan tidak mau menemuinya. Sampai Lucy (kekasihnya) menemui ku dan berbicara padaku. Seakan ia membuka jalan pikiran ku, aku mulai mau bertemu dengan ayah.
Awalnya memang terasa canggung. Ibu tidak tau soal pertemuanku dengan ayah. Bahkan ia sempat mencurigai aku bertemu dengan Harry. Tentang ibu dan Harry? Ya akan kuceritakan nanti apa yang terjadi. Intinya pertemuan ku dengan ayah yang diam-diam membuat ku tertekan.
Lalu entah apa yang ayah pikirkan, ia menemui ibu untuk meminta aku tinggal dengannya di New York. Ibuku tidak setuju, bahkan aku juga sempat tidak setuju. Aku hanya belum siap kembali bersama dengan ayah. Tapi beberapa hari kemudian aku bersikeras meyakinkan ibu bahwa aku ingin tinggal dengan ayah. Pikirku tidak ada yang akan tau aku tinggal di sana, berbeda dengan ketika aku tinggal di London. Karena Harry pasti tau aku akan pergi ke London.
Dan ayah mendidik ku untuk menjadi mandiri sepertinya. Ia membiayai kuliah ku untuk menjadi dokter hewan di Georgia. Setelah lulus, aku bekerja di klinik hewan miliknya di New York. Membantu ayah di klinik hewan yang tidak begitu besar, hanya bertiga dengannya dan Annie.
Aku memilih untuk masuk keruangan ku, mencoba untuk tidur sebelum ayah datang.
Dan aku kembali lagi menatapnya. Menatap wajah lugu yang sedang membela ku di depan teman-teman kecil ku. "Pergilah kalian. Jangan mengganggu dia lagi!" Bentak suara kecil itu.
Yang kulakukan hanya menangis. Mengingat apa yang telah diperbuat oleh teman-temanku. "Jangan menangis lagi Abby. Mereka tidak akan mengganggu mu." Aku mendongak setelah menghapus airmata yang menetes di pipi ku. Anak laki-laki yang membela ku tersenyum padaku dengan memperlihatkan gigi depannya yang ompong.
"Mereka akan membalasku besok. Mereka akan datang mengganggu ku lagi besok." Ucapku takut. Tapi yang ia lakukan menarik tanganku menuju sebuah ayunan kecil dan menyuruh ku untuk duduk disana. Ia berdiri di depan ku seraya memperlihatkan wajah seriusnya. "Mereka tidak akan datang lagi! Aku akan bersama mu mulai hari ini dan seterusnya. Aku akan menjaga mu sampai aku tua nanti. Ingatlah janji seorang Harry Styles!"
"Aku mengingatnya. Kau berjanji. Haa----"
"Abby, sayang, bangunlah."
Aku terbangun ketika seseorang menggoyangkan bahu ku membuatku terkejut dan lepas dari mimpi buruk itu lagi. Aku menatap pria yang berdiri didepan meja ku, ia memandang ku dengan bingung.
"Ayah," Sapaku setelah aku benar-benar bisa menyadari siapa yang sedang berdiri didepan ku.
Ayah tersenyum padaku masih dengan wajahnya yang terlihat bingung. "Kau baik-baik saja? Apa yang kau mimpikan?" Tanyanya.
Aku menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan yang menurutku sangat menyulitkan itu. "Tidak ada ayah." Jawabku. Yang kulihat ayah bergumam dan aku sama sekali tak tahu apa yang ia katakan. Mendengar sedikitpun tidak.
"Abby, kau baik hari ini?" Tanyanya.
"Kurasa." Jawabku seraya memijat pelan pelipisku.
"Kau terlihat kurang tidur, nak. Apa ada kaitannya dengan dia?" Tanya sekali lagi.
"Tentu tidak ayah. Mana mungkin aku memikirkannya setelah aku mencoba melupakannya bertahun-tahun. Aku hanya terlalu banyak pikiran."
"Abby, yang ayah maksud adalah Shane. Dan sepertinya kau tidak membahas tentangnya." Aku terkejut dengan balasan yang keluar dari mulut ayahku. Ku kira 'dia' yang ayah maksud adalah Harry. Betapa bodohnya aku tidak bisa mencerna maksud ayah. Tentu saja ayah akan berfikir lain tentang aku sekarang.
Aku menatap ayah ketika ia mengisyaratkan akan pergi dari ruangan ku. "Pergilah beristirahat sayang. Kau bisa ke dokter meminta resep obat tidur dan tidak bekerja hari ini. Kau butuh tidur sayang." Ucapnya sebelum sempat menutup pintu ruanganku.
Aku hanya tersenyum mendengar perhatiannya. Setelah ayah benar-benar keluar, aku mengacak rambutku tanda frustasi. Begitu sulitkah melupakan pria yang selama ini hanya memanfaatkan ku? Aku benci harus mengakui aku merindukannya. Aku marah ketika sadar jika aku tak bisa sedikitpun melupakannya. Sebegitu pentingkah Harry hingga membuatku seperti ini?
Aku harus benar-benar melupakannya. Harry sudah mempunyai kehidupan indah bersama Jenny dan mungkin anak mereka. Yang bisa kubayangkan Harry mengambil alih perusahaan orang tuanya, dia sukses menjadi pebisnis seperti ayah dan ibunya, ia hidup bahagia dengan Jenny, dan memiliki anak yang lucu dan mungkin mirip dengannya. Kurasakan nyeri di dadaku semakin terasa ketika aku membayangkan semua itu.
Harusnya ia bersama ku. Harusnya ia menikah dengan ku, menghamili ku, mempunyai anak dari rahim ku. Bukan wanita lain! Aku membencinya!
Knock.. Knock..
Aku segera menghapus airmata yang menetes membasahi pipiku sebelum Annie membuka pintu ruangan ku. "Sudah siap, dokter? Pasien pertama menunggu mu." Tuturnya lembut. Aku yang masih mencoba mengontrol emosiku hanya bisa mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
________
Ah sudahlah aku tau ini chap awalny ga sesuai harapan
tapi key janji deh makin ke belakang makin ugh dah ceritanyaxx key