13

2.6K 281 31
                                    

Abby's POV

Setelah mengantarkan beberapa berkas dan meminta izin kepada ayah untuk meninggalkan klinik, akupun segera berjalan dan sesekali melambaikan tangan untuk memberhentikan taxi. Sebenarnya tadi ayah sudah menawari ku untuk menggunakan mobilnya, namun aku menolak.

Akhirnya setelah beberapa menit berjalan, aku berhasil memberhentikan sebuah taxi. Aku memperhatikan jalan sambil memikirkan barang-barang apa yang akan kubeli nanti. Ya sepertinya aku harus membeli beberapa lemari dan juga karpet. Atau mungkin juga sofa. Aku tersenyum begitu menyadari betapa bersemangatnya diriku untuk menghabiskan uang ku.

Dan disinilah aku sekarang, berjalan beberapa meter menuju toko perabotan rumah.

Bruk.

"Maafkan aku, ma------" Ucapanku terhenti begitu mataku menatap seorang pria yang tanpa sengaja bertabrakan dengan ku di pintu masuk.

"Abby!" Aku tau dari nada bicaranya, dia terkejut melihatku. Pria ini terkejut melihatku.

"Abby," Suara gadis kecil yang sudah ku kenali sebelum aku menoleh kearahnya, Abigail.

Aku menatap mereka berdua secara bergantian dan dengan tatapan yang berbeda tentunya. Aku tersenyum manis ketika menatap gadis kecil berambut pirang di depanku. Namun raut wajah gugup ku tidak bisa ku sembunyikan ketika menatap seorang pria yang sedang menggandeng tangan Abigail.

"Harry," Ucapku akhirnya. Aku masih menatapnya sebelum Abigail menarik tanganku dan segera memelukku. Aku memposisikan diriku sedikit berjongkok di depan Abigail untuk mengimbangi tingginya.

Mataku sama sekali tak bisa berhenti menatap wajah tampannya. Dengan pakaian yang sedikit terbuka di bagian dada, memperlihatkan beberapa tatto yang terlukis di dadanya. Harus kuakui, Harry nampak berbeda. Dia sedikit sexy dari beberapa tahun yang lalu. Oh tidak, dia sangat sexy!

Entah kenapa hari ini dia terlihat lebih berkelas. Dengan jam tangan yang mengitari pergelangan tangannya. Dulu dia sama sekali tidak suka mengenakan jam tangan. Dia juga tidak akan suka memakai kemeja seperti hari ini. Dulu, dia sangatlah tidak rapi. Dengan kaos hitam, celana jeans hitam, terkadang hanya mengenakan jaket untuk menghindari rasa dingin. Namun sekarang, dia sangatlah berbeda. Sangat amat mempesona.

Oh Abby tolong hapus pikiran itu. Fokuslah untuk mengatakan selamat tinggal lalu pergi  mencari barang-barang yang kau butuhkan.

"Gayel, lepaskan pelukan mu. Kurasa Abby sedang buru-buru." Ucapnya dengan nada sedikit menjengkelkan, yang bila aku cukup waras akan membuatku tersinggung karenanya. Tapi aku bahkan tidak memperdulikan ucapannya. Yang kuperdulikan hanya matanya yang tidak sedetikpun memutus tatapan kami berdua.

"Abby, apa kau sedang buru-buru? Hmm ayah, boleh aku pergi bersama Abby? Ayah bisa pulang, nanti aku bisa naik taxi sendiri jika aku ingin pulang. Bolehkan ayah? Bolehkan?" Abigail yang terus saja memohon tidak dapat membuat kami membuang tatapan intens kami berdua. Harry masih mengunci tatapan matanya padaku hingga akhirnya ia menatap Abigail yang menarik-narik tangannya.

"Tidak Gayel." Ucapnya pada Abigail. Entah kenapa aku sedikit terpana melihat ketegasannya kali ini. Dia terlihat sangat dewasa, tegas.

"Tapi ayah,--- Ah baiklah." Ucap Abigail terdengar menurut apa yang Harry katakan padanya.

"Harry," Ada nada getir yang kudengar dari suara ku ketika memanggil nama Harry. Dan dengan cepat pula, Harry kembali menatap ku. "Ku pikir akan menyenangkan kalau kalian membantu ku, karena hari ini aku akan menempati rumah baru." Aku berhenti sejenak karena merasa terlalu bersemangat mengajak mereka berdua. Tunggu dulu, ya Tuhan. "Uh maksud ku akan menyenangkan jika Abigail ikut dengan ku." Tambahku buru-buru.

Aku langsung menatap Harry setelah mengucapkan kalimat pembetulan ku. Aku bisa melihat bibirnya yang sedikit tertarik menandakan ia sedikit tersenyum. Apa perkataan ku membuatnya senang? Karena jujur saja kini aku berusaha menahan senyum agar tak terlihat konyol di depannya.

"Ayah,?" Abigail menatap Harry yang kini juga menatapnya. Harry mengangguk setuju membuat Abigail begitu bahagia. "Abby, apakah ayah ku boleh ikut bersama kita?" Tanya gadis kecil ini yang sekarang ditujukan untuk ku.

"Terserah ayah mu saja." Aku menjawab pertanyaannya tanpa menatap mereka berdua. Harus kuakui wajahku mulai memanas. Mungkin kini ada sembur merah merona di pipi ku.

"Baiklah, aku ikut." Aku tersenyum kecil begitu mendengar suara siapa yang menyetujui hal ini, Harry. Ada perasaan yang tak biasa begitu mendengar Harry akan bersama ku beberapa jam kedepan.

Dan akhirnya setelah semua setuju akan pergi, aku, Harry dan juga Abigail kembali memasuki toko perabotan rumah. Abigail memilihkan beberapa perabotan yang harus kuakui seleranya lebih baik daripada selera ku. Harry? Dia hanya diam mengikuti kami.

Sesekali aku kelepasan bertanya bagaimana pendapatnya tentang beberapa barang. Dan ia menatapku dengan sedikit terkejut tiap kali aku bertanya padanya, akupun juga begitu.

Hampir dua jam aku dan Abigail asik memilih beberapa barang. Melihat Harry yang sudah duduk kelelahan, membuat ku memutuskan untuk berhenti berbelanja dan segera menuju kasir.

"Baiklah sudah selesai." Ucapku yang ku peruntukan untuk Harry.

"Sudah? Baiklah kita menuju rumah mu." Ucapnya lalu pergi dan aku juga Abigail mengekorinya hingga sampai di depan mobilnya.

Harry segera masuk kedalam mobilnya. Aku yang ingin duduk bersama Abigail harus dengan terpaksa duduk di sebelah Harry di depan. Aku tau ini akan membuat kami berdua harus dalam keadaan canggung untuk beberapa menit berjalanan.

*****

"Lalu belok ke kiri. Nah rumah di depan situ." Ujarku. Aku segera melepaskan sabuk pengaman ku dan turun dari mobil. Aku segera merogoh tas ku, mencari kunci rumah dan segera membuka pintunya.

"Abby, kenapa begitu banyak kardus disini?" Tanya gadis kecil yang berada di samping ku.

"Ya aku belum sempat membereskan semuanya. Apa kau mau membantu ku?" Tanya ku. Abigail menjawabnya dengan anggukan semangat. "Baiklah kita mulai dari dapur. Bagaimana?" Sekali lagi Abigail hanya mengangguk.

Kami berdua berjalan membawa beberapa kardus menuju dapur. Dapurnya cukup nyaman daripada di apartemen lama ku. Kurasa aku bisa semakin bersemangat untuk memasak disini.

"Gayel, hati-hati." Aku segera menoleh kearah datangnya suara. Terlihat Harry sedang memegangi kardus dan Abigail menatapnya dengan senyuman lucunya.

"Maaf ayah, aku tidak melihat dinding di depanku." Ucapnya seraya tersenyum lebar penuh bahagia seakan

Akhirnya Harry membantu ku walaupun ia seakan menghindar dariku. Ya aku tau kenapa ia seperti ini. Kami sudah tak bertemu hampir enam tahun lebih karena suatu masalah, dan sekarang bertemu dengan keadaan yang menyulitkan. Walaupun aku tau aku dan Harry bisa saja saling menyapa dan bercanda seperti dulu. Tapi perasaan canggung itu tetap menggelayuti ku. Apalagi kini Harry tak sendiri. Ada Abigail yang harus kuakui karena inilah kami seperti sekarang.

"Aku akan mengambil beberapa kardus lagi." Harry memecah keheningan diantara kami bertiga.

"Tidak, aku saja Harry." Aku segera berdiri mendahului Harry. "Uh biarkan aku saja. Aku tidak ingin merepotkan." Ucapku setelah mendapati raut wajah Harry yang seakan tidak suka mendengar ucapanku. Aku tersenyum padanya untuk memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun dia tetaplah Harry yang dulu.

Aku segera menuju ruang depan untuk memilah kardus yang berisi perlengkapan dapur. Kuputuskan untuk membawa dua kardus sekaligus karna kardusnya sangat ringan.

Aku berjalan dengan hati-hati menuju dapur.

"Ahhh!"

Bruk. . .

_______
Hey readers, lama ya nungguin key update. Maaf ya late update banget soalnya masih ujian.

xx key

STYLES 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang