16

3.1K 280 80
                                    

Harry's POV

"Sharon, jam berapa sekarang?" Tanyaku pada wanita yang baru saja masuk kedalam ruangan rapat.

"Enam menit lagi jam 11 malam, tuan." Jawabnya sopan.

Aku segera menutup buku laporan keuangan yang sedang kubaca. Bagaimana bisa aku lupa dengan Gayel yang menunggu ku.

"Brandon, kau selesaikan rancangan mu karena kita akan menemui klien besok. Sharon, koreksi laporan keuangan ini. Dan yang lainnya, selesaikan pekerjaan kalian dan beristirahatlah. Sampai jumpa besok sore." Aku segera keluar dari ruangan rapat dengan tergesa-gesa.

Jam 11 malam dan aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana Gayel yang menunggu ku dirumah Abby. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan gadis berusia enam tahun itu untuk membantu Abby. Entahlah siapa yang lebih ku khawatirkan, Abigail atau Abby.

*

Aku menengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. "Kau gila Harry." Protesku pada diri sendiri.

Aku mengetuk pintu rumah Abby dengan hati-hati, takut jika membangunkan mereka. Ketukan pertama tidak membangunkan siapapun. Ketukan kedua masih belum membangunkan siapapun. Kini ku coba mengetuk sedikit lebih keras, namun tidak ada satupun yang merespon.

"Abby." Panggilku tak sabaran sambil mengetuk pintu sekali lagi dengan keras. "Fuck!" Umpatku.

Belum sempat aku mengetuk pintu sekali lagi, pintu telah terbuka dan wajah Abby muncul dengan telunjuk di bibirnya. "Bisakah kau sedikit sabar? Oh ya Tuhan." Ucapnya terdengar kesal. "Orang memang tidak berubah." Lanjutnya seraya masuk lebih dulu.

"Apa yang kau katakan? Apa kau menyesal kita berbaikan?" Tanyaku yang lebih kesal dari sebelumnya.

"Harry, seriously? Kau mau kita bertengkar karena hal sepele?"

Abby sama sekali tak menoleh kearahku dan dia santai saja berjalan hingga menaiki anak tangga. Aku hanya mengekor di belakangnya sambil mengumpat. Oh sungguh ini sangat kekanakan.

"Bisakah kita berhenti memperdebatkan ini?" Tanyaku mulai kesal karena masalah yang tidak penting seperti ini.

"Kau yang memulainya! Diam! Diamlah jika kau mau kita berhenti." Ia membentak dengan mendengus kesal. Oh lihatlah nenek sihir ini kembali dalam hidupku. Entah sekarang aku masih bersyukur atau malah menyesal bertemu dengannya. "Masuklah." Perintahnya.

Aku segera duduk di sofa tanpa perintah dari Abby. "Kau lapar?" Aku mendongak pada Abby yang kini berdiri di depanku.

"Sangat lapar. Kau punya pizza?" Tanyaku.

"Ya Tuhan Harry, kau bercanda? Kau bahkan tak menanyakan tentang anakmu? Apa kau benar ayahnya?!" Sontak pertanyaan terakhir Abby membungkam ku. Ayahnya? Haruskah aku menceritakan hal itu? Tapi bagaimana jika tiba-tiba perasaan Abby pada Gayel berubah. Dan bagaimana jika Abby mendadak berubah jadi jahat pada Gayel. Oke itu tidak mungkin, Gayel ku bukanlah Cinderella.

Dan bodohnya aku. Sekali lagi aku berkeinginan memukul diriku sendiri. Bagaimana bisa aku lupa dengan Gayel. Ah sialan! Gara-gara berdebat dengan Abby, aku melupakan Gayel.

"Dimana Gayel?" Tanyaku.

"Aku menelpon rumahmu, dan untungnya ada Karen yang mengangkat teleponnya. Dan dia menjemput Gayel lalu membawanya pulang." Jelasnya. Aku bahkan lupa jika ada Karen yang bisa menjemputnya. Ayah macam apa aku ini. "Fuck!" Umpatku.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Abby. Suaranya terdengar khawatir. Aku hanya mengangguk pelan.

*****

"Dan kau tau, dia bertanya apakah aku teman kecil mu. Apa saja yang telah kau ceritakan padanya?" Tanyanya penuh semangat.

Kini aku dan Abby memakan pizza seraya bercerita tentang Abigail. Ini sangat menyenangkan untukku. Rasanya sama sekali tidak ada kecanggungan antara kami berdua.

"Ya, dia bertanya bagaimana bisa kau menangis saat pertama kali kita bertemu waktu itu. Lalu kubilang kau merindukanku hingga tak dapat menahan airmata mu." Ujarku menggodanya.

"Kau serius? Aku sama sekali tak menangis waktu itu. Mata ku berair karena aku menguap. Enak saja kau bilang aku menangis." Ujarnya tak mau dikalahkan.

"Begitukah? Tapi bukan aku yang bilang begitu. Abigail yang bilang." Ujarku.

Kami berdua tertawa bersama setelah menyadari kebodohan kami berdua.

"Harry, bukankah harusnya kita sama-sama malu dan harusnya suasana menjadi canggung. Benarkan?" Tanyanya. Aku menatap matanya dan entah kenapa ada sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih kencang.

Jarak duduk kami sangat berdekatan, bahkan wajah kami dapat dikatakan begitu berdekatan. Dia benar, harusnya ada kecanggungan diantara kami berdua. Harusnya ada jarak yang kami buat. Tapi itu sama sekali tak terfikirkan oleh kami berdua.

"Mungkin karena kita sudah kenal lama, jadi begitu bertemu rasanya sama sekali tidak canggung. Benar kan Harry?" Tanyanya sekali lagi.

"Aku mencintai mu, Abs."

Sontak aku membulatkan mataku. Sungguh aku tidak menyangka bisa mengeluarkan kalimat itu. Aku menatap Abby, ia sama kagetnya denganku. Dengan perlahan ia membenarkan posisi duduknya menjadi sedikit menjauh dariku.

"Harry," Panggilnya lirih. "Ini membuatnya menjadi sangat canggung." Lanjutnya. Ia lalu tertawa sedangkan aku masih berdiam diri karena sedikit bingung. Banyak sekali yang ku bingungkan. Bingung karena mengapa kalimat itu keluar dari mulutku. Bingung karena kenapa Abby malah menganggap ini lucu.

"Aku serius." Ucapku. Sungguh rasanya ini keluar begitu saja tanpa terpikirkan oleh otakku. Dan hal ini sukses membungkam kami berdua.

"Harry, maaf tapi---"

Aku mendaratkan bibirku ke bibirnya. Bibir kami bersentuhan satu sama lain. Apa yang kulakukan? Aku hanya tidak ingin suasana kembali canggung, tapi aku juga tidak ingin mendengar apa yang akan ia katakan. Maaf? Dia menolakku? Sekali lagi?

Dengan sedikit kesal, aku segera melumat bibirnya. Memainkan lidahku kedalam mulutnya dengan sedikit kasar. Biar kutegaskan sekali lagi, aku kesal.

Abby sama sekali tak menghalangi ku untuk bermain dengan tubuhnya. Ia tidak memberontak sedikitpun. Dan ini membuatku berkuasa atas dirinya.

Tanganku masuk kedalam kaos abu-abu tipisnya. Dengan sigap aku menggenggam payudaranya yang semakin besar dan ini sangat memuaskan. Terakhir kali, dia tak memperbolehkan ku untuk menyentuhnya, dan sekarang aku menyentuhnya.

Aku meremas payudaranya dari balik branya. Dia sedikit melenguh. Aku melepaskan bibirku dari bibirnya dan segera bermain di area lehernya. Ia mendesah begitu aku mengesap bagian dadanya yang tidak tertutupi oleh kaosnya.

"Fuck!" Aku segera menjauh dari Abby karena sadar apa yang ku perbuat.

Itu sama sekali bukan diriku. Aku mencintai Abby dan seharusnya aku tidak melakukannya. Seharusnya aku tidak melakukan itu karena aku kesal padanya. Harusnya aku melakukan itu karena aku mencintainya. Kau memang laki-laki payah Harry!

Aku segera membenarkan dudukku dan terus saja mengumpat kesal.

"Harry," Panggil Abby.

Aku menoleh padanya yang masih, oh sialan dia terlihat begitu menggoda. Aku menatap matanya dan dia juga melakukannya. Ada sedikit senyuman di bibirnya.

Abby segera membuka kaosnya dan juga branya. Aku hanya mendapat pemandangan dari payudaranya yang indah. Dan ia segera duduk diatasku. Dan sialnya lagi, legging yang ia kenakan begitu membantu ku merasakan miliknya yang berada diatas milikku.

"Harry, kau tidak bisa berhenti begitu saja dengan apa yang sedang kau lakukan."

____________

Haaaaalooooooo
Ada yang kangen sama key ga sih? Kangen dong please haha

Sorry ya kalau chapter ini ga jelas banget, yang penting endingnya kan uhuuuu banget

And, happy weekend 👙

xx key

STYLES 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang