Harry's POV
"Bukan itu yang ku mau. Dan aku tau bukan itu yang kau mau. BUKAN ITU, ABBY!!" Aku melayangkan tinju ku ke dinding di belakang Abby. Ia terlihat sedikit gemetar ketakutan. Aku tau aku telah membuatnya ketakutan dengan amarah ku.
Aku menarik diriku menjauh darinya setelah ku tatap matanya beberapa detik. "Baiklah. Baiklah jika itu yang kau mau. Aku akan menjauh dari mu, Abby." Aku menarik nafas dan membuangnya dengan segera. "Aku--- sudahlah lupakan. Senang bertemu dengan mu lagi."
Aku mulai melangkahkan kaki ku meninggalkannya. Aku tau sebagian dari diriku masih ingin meyakinkannya, membuatnya bisa kembali bersama ku. Tapi rasanya percuma saja. Abby benar, kita sudah berbeda. Entah aku yang berubah, atau dia yang berubah, atau mungkin juga kami berdua telah memutuskan untuk berubah.
"Harry, aku merindukan mu." Aku berhenti saat sebuah kalimat yang sangat ingin ku dengar akhirnya kudapatkan darinya. Ya, dia mengatakannya. Aku sangat yakin Abby mengucapkan kata-kata itu dari mulutnya. Tubuhku seakan kaku. Aku berdiam diri dengan memegang gagang pintu. "Kau dengar aku?! Aku merindukan mu bodoh! Aku sangat merindukan mu otak udang!" Ia kembali berteriak seakan putus asa untuk melawan gengsinya. Dapat kudengar isak tangisnya.
Kuputuskan untuk kembali padanya, menyudahi pertengkaran kami yang tak berujung. Aku memeluknya seakan tak ingin melepaskannya lagi. Bibirku tak mampu berucap sepatah kata pun. Aku bungkam, begitupun dengannya. Hanya ada suara isak tangisnya yang ia tahan di pelukan ku.
Aneh saja kini aku merasakan rasa sakit yang selama ini ia rasakan. Tubuhnya yang semakin kurus seakan memperlihatkan bahwa aku telah membuatnya begitu sakit selama enam tahun kemarin.
"Aku merindukan mu." Bisikku sambil mengecup puncak kepalanya. "Aku mencintai mu, sayang." Lanjutku. Aku semakin erat memeluknya. Rasanya seperti semua beban yang ku simpan sendiri selama enam tahun ini pelan-pelan mulai terbang menjauhi diriku. Ada perasaan ringan dalam hatiku. Aku bahagia. Sangat bahagia karena bisa mendengar kalimat itu terucap sekali lagi.
Abby menatapku masih dengan airmata yang pelan-pelan jatuh dari ujung matanya. Aku menghapusnya dengan ibu jariku. "Aku merindukan mu." Ucapku sekali lagi. Tak ada respon darinya. Dia hanya menatapku, tepat di mataku.
Seakan ada dorongan yang entah darimana datangnya, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku semakin mendekatkan wajahku secara perlahan, takut jika dia akan menolak tindakanku. Tapi nyatanya, ia memejamkan matanya dan semakin mendekatkan wajahnya kearahku. Bibir kami bertemu.
Untuk beberapa detik aku sengaja hanya menempelkan bibirku ke bibirnya. Sekali lagi aku takut, aku tidak ingin merusak suasana. Dan sekali lagi Abby mengejutkan ku. Pelan-pelan ia melumat bibir ku. Aku menikmatinya.
Tak kusangka, ciumannya masih sama seperti dulu. Aku bisa merasakan aroma caramel saat mengesap lidahnya.
Ciuman kami semakin panas kurasa ketika Abby mengalungkan tangannya keleher ku. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku mengangkatnya ke atas buffet cabinet yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Ia melingkarkan kakinya pada pinggul ku membuat jarak diantara kami semakin dekat. Dan ya tentu saja hal itu membuat ciuman kami semakin panas.
Tanganku yang sejak tadi berada diantara pinggulnya kini mulai naik. Aku mencoba meremas payudaranya yang keliatannya semakin membesar untuk ukuran tanganku kini. Ya Tuhan. Aku semakin menginginkannya saat ini. Aku meremasnya secara perlahan. Yang kudengar, Abby mendesah di sela-sela ciuman panas kami.
Desahan itu, desahan seksi yang sama seperti enam tahun yang lalu. Desahan yang selalu membuatku semakin terangsang. Aku tak tahan lagi, aku mencoba untuk membuka kemeja yang di kenakan Abby.