Chapter 4

60 5 0
                                    

"Kau tahu rasanya saat melihat dia berdiri tepat disampingmu? Hatiku kebas. Mati rasa." - Maya Indira, 1988

• • •

Heathrow International Airport terlihat super sibuk dihari-hari menjelang liburan natal dan tahun baru seperti ini. Angin musim dingin menerpaku, membuatku kembali merapatkan jaket tebal yang kukenakan. Setelah melewati gate imigrasi dan mengambil koper di baggage claim, dengan langkah santai kuseret koperku menuju ruang tunggu.

Aku kembali memandangi sekelilingku yang berlalu-lalang. Bandara ini benar-benar padat. Aku mencium aroma espresso yang menggoda saat melewati salah satu kedai kopi. Kuputuskan untuk memasukinya terlebih dahulu dan memberitahu Daniel bahwa aku sudah sampai. Selagi menunggu Daniel, kuhirup aroma kopi yang berasal dari dalam cangkir kertas pada genggamanku. Terlihat asap mengepul dari cangkir kertas, membuatku sesekali harus meniupkan kopi tersebut agar tidak terlalu panas.

Lagi-lagi aku mengingat kamu.

Aku masih ingat saat kamu melampiaskan kesedihanmu pada secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Aku yang begitu terperangah saat kamu berkata bisa menghabiskan tiga cangkir kopi sekaligus jika sedang kesal. Kalian boleh mengatakan dia tidak waras. Tetapi percayalah, hanya itu yang bisa ia lampiaskan, saat kata-kata tak mampu ia uraikan dengan sedemikian rupa.

•••

Ini tahun kedua dimana liburan sekolah kembali datang. Dan ini merupakan tahun kedua juga kamu memutuskan untuk kembali liburan di Jakarta. Disaat semua orang sibuk memikirkan akan pergi liburan pulang ke kampung halamannya, kamu berkata jika kamu akan pulang ke kota. Aku yang mendengar itu hanya tertawa. Waktu itu hubungan kami sudah dekat. Dekat dalam artian yang bagus mengingat kamu sering diajak Kellin untuk main di PSB dan aku masih sering bertemu denganmu jika sedang sendirian.

Kamu mengatakan bahwa sebenarnya kamu juga ingin sekali pulang ke kampung halamanmu di Jawa Tengah. Tetapi kamu berkata jika Ayahmu tidak mendapatkan cuti yang panjang untuk saat ini dan Ibumu sedang dalam kondisi yang tidak baik. Saat kamu menceritakan kondisi Ibumu yang sedang sakit, raut wajahmu terlihat sedih. Entah mengapa saat mendengar hal tersebut pikiranku langsung melayang kepada Galih.

Galih dengan kebiasaan dia, sebat.

Aku menepuk pundakmu, memberikan simpati semampuku. Meskipun aku bisa saja memberikan perhatian yang lebih dari itu. Tapi siapa yang akan percaya seorang Airlangga Kevin yang terkenal cuek dan cenderung masa bodoh dengan lingkungannya mendadak mempunyai empati yang begitu besar terhadap seseorang?

Aku mengajakmu berkeliling menggunakan sepeda. Mengitari Kompleks Perunahan Kelapa Gading. Saat sedang melewati sekolahku-yang juga dulu merupakan sekolah Ayahmu-seseorang memanggil kamu. Kami menghentikan kayuhan sepeda lalu menoleh, mendapati seorang Ibu muda keluar dari rumah besar bergaya Victoria.

"Kamu kapan dateng?" Kamu memperkenalkan Ibu muda tersebut sebagai Tantemu. Aku tersenyum sopan lalu Ibu tersebut menawarkan aku dan kamu untuk mampir sebentar ke rumahnya. Kamu menyetujuinya sementara aku meragukan hal tersebut. Kamu yang melihatku hanya berdiam diri di depan pagar lantas menarikku untuk ikut masuk juga.

"Sultan sama Reza lagi main. Kalo Nabila ada tuh dikamar lagi belajar." Mereka terlihat bercakap-cakap sementara aku hanya mendengarkan saja. Kemudian datang seorang kakek dengan rambut putih masuk kedalam rumah.

"Wah ada orang Bekasi rupanya." Kamu terkekeh sementara aku tersenyum. Kamu lagi-lagi memperkenalkan anggota keluargamu yang lain. Kakek bertanya kepadanya siapa aku sementara kamu hanya menjawab sebagai teman dekat.

Jingga Senja Dan Deru HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang