Chapter 14

27 4 0
                                    

"I think that possibly. Maybe I'm falling for you. No one understands me quite like you do. Through all of the shadowy corners of me" - Fallin In Love At A Coffee Shop, Landon Pigg

• • •

Angin menerpa wajahku saat aku menginjakkan kakiku di pantai ini. Sesekali aku tersenyum saat menikmati rasa dingin yang menjalar ditubuhku akibat hantaman ombak yang menyentuh kakiku.

"Happy banget ya. Nggak salah deh nyulik lo subuh-subuh." Aku tertawa kecil seraya kembali menatap hamparan air laut sejauh mata memandang. Hari masih gelap. Bahkan sekarang masih pukul 04.19.

"Gila ini sih namanya. Nyulik gue subuh-subuh dan ternyata udah kerjasama sama Papa. Parah." Kevin hanya tertawa seraya menghembuskan napasnya pelan.

"Seenggaknya semua itu terbayar saat lihat senyum lo saat ini."

Blush!

Pipiku tiba-tiba saja merona merah. Aku menunduk, memainkan kakiku yang sengaja kutenggelamkan di pasir pantai.

"Perjuangan gue nggak sia-sia kan? Ha! Rasanya pengen tidur." Kevin sudah berbaring di sampingku, menenggelamkan tubuhnya pada lubang pasir yang ia buat sendiri.

"Kenapa bisa kepikiran ngajak gue kesini?" Tanyaku seraya memainkan pasir.

"Tadinya gue mau ngajak lo hiking sih. Tapi gue konsultasi dulu sama Kak Diana sebelumnya dan dia nggak menyarankan untuk ngajak naik gunung karena asma lo itu. Dan gue sadar ada hal yang lebih bagus ketimbang ide naik gunung. And I choose this place for you."

Aku tersenyum tipis dan mulai memainkan kembali pasir yang menenggelamkan kakiku. Ucapan Kevin barusan membuatku tertohok. Kalimatnya persis seperti yang diucapkan Galih dulu saat mengajakku ke Ancol.

"Lo nggak seneng ya, Vir?" Suara Kevin memecahkan lamunanku, membuatku menggeleng pelan dan tersenyum tipis. Kevin menatapku dengan kening berkerut.

"Gue seneng. Cuma rasanya kayak ada yang kurang." Kevin menghela napas pelan. Lagi-lagi tatapan itu tertuju padaku.

"Ayo!" Ia menarikku bangkit dan mengajakku untuk berenang menuju pantai. Awalnya aku menolaknya mentah-mentah. Tetapi tak ada kata tidak di kamus hidup Kevin. Melihatku menolak, ia pun langsung menaruh tangannya di pinggangku dan menggendongku dari belakang. Aku pun meronta sementara Kevin hanya tertawa kecil. Ia pun menjatuhkanku tepat di tengah pantai.

Ombak menyambut kami dengan riuh. Aku merasakan sensasi dingin saat air laut menyentuh kulitku.

"Selamat datang di markas besar Neptunus!" Aku tertawa saat ia berteriak lancang seperti itu. Dan ia pun mulai menyipratiku dengan air, membuat bajuku basah kuyup.

Dan pagi itu, entah kenapa aku merasakan gejala aneh yang mampir di perutku. Mungkin karena matahari berhasil terbit tepat waktu. Atau karena hal lain yang menyusup ke dalam hatiku.

***

Aku baru saja mengaduk susu cokelat panas yang kubuat saat mendengar suara ketukan pintu berulang kali di depan rumah. Angka jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.48 dan aku mengerutkan keningku heran. Siapa juga yang berani bertamu pada pukul segini?

"Hai."

Mataku melotot tajam saat mendapati Kevin berdiri di depan rumahku masih dengan menggunakan seragam basket sekolahnya.

"Ngapain kesini malem-malem?!" Desisku pelan yang hanya dibalas dia dengan cengiran khas miliknya. Sumpah, nggak ngerti lagi sama jalan pikiran anak satu ini!

"Nonton, yuk. Pengen refreshing." Rengeknya pelan.

Sableng!

"Mas, maaf ya, situ emang nggak punya ponsel sampe nggak tahu ini jam berapa?" Kevin memiringkan tubuhnya sedikit untuk melihat jam dinding yang ada di belakangku.

Jingga Senja Dan Deru HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang