Chapter 15

16 0 0
                                    

"You make this heart beat. They say true love never fails. So I'm giving my all. Giving it all to you" - Yours Forever, The Overtunes

• • •

"Kapanpun mimpi terasa jauh. Oh ingatlah sesuatu kuakan selalu jadi sayap pelindungmu. Saat duniamu mulai pudar dan kau merasa hilang, kuakan selalu jadi sayap pelidungmu..."

Lagu itu menggema di ruang auditorium salah satu gedung stasiun radio nasional. Saat ini aku berdiri di antara para penonton yang sedang menyaksikan salah satu konser mini dari musisi pendatang baru tanah air. Dan salah satu bintang tamunya adalah band favoritku, The Overtunes. Aku bernyanyi, ikut larut dalam suasana gigs seperti ini. Jarang-jarang aku bisa datang pada saat mereka gigs, sekalinya datang dikasih tiket VIP konser mini. Siapa juga yang nggak mau?

"Jadi, sekarang sama Kevin nih?" Seketika aku berhenti bernyanyi dan menoleh. "Hah? Apaan?"

Kak Ana mendengus pelan. Dia alasan kenapa aku berada di ruang auditorium ini, "Jangan pura-pura nggak denger deh." Aku tersenyum enggan seraya kembali fokus menonton The Overtunes tampil.

"Hih, masa aku dicuekin." Dengan terpaksa aku kembali menoleh kepadanya.

"Maksudnya sekarang sama Kevin itu apa ya? Aku nggak ngerti." Seketika Kak Ana menyubit pipiku, membuatku meringis pelan. "Jangan pura-pura nggak tahu deh. Kamu ngerti maksud aku apaan."

Jujur, bukannya aku pura-pura nggak tahu. Aku paham, paham sekali dengan apa yang dibicarakan Kak Ana. Hanya saja aku enggan untuk mengakuinya. Maksudku begini, Kevin itu tipe cowok yang udah perfect banget di mata semua kaum wanita. Ganteng, iya. Pintar, duh nggak usah nanya sama orang yang punya IQ 152. Multitalenta, meskipun dia nggak bisa main gitar sebagus sepupunya, tapi dia bisa main piano dan biola (Nggak tahu ya kalo liat seseorang main kedua instrumen itu bawaannya emang lebih dan lebih sempurna daripada gitar) Dan yang terpenting dia cocok jadi eksmud (baca: eksekutif muda). Buktinya sekarang dia lagi ikut bantu proyek yang digeluti ayahnya di London. Dan sederet fakta lainnya yang membuatku minder.

"Tuh kan ngelamun lagi! Hayo lagi ngelamunin apa, pasti yang nggak-nggak deh!" tegur Kak Ana membuatku mendengus. "Aku bukan Kak Adri ya yang apa aja bisa dimesumin."

Kak Ana hanya terkekeh seraya menyenggol bahuku pelan, "Jangan gitu, gitu-gitu juga kan dia calon ipar kamu. Lagipula kita berdua udah restuin kamu kok sama Kevin."

Kan, mulai lagi ceramah Ibu Negara.

"Apaan sih. We're just friend." Kilahku pelan

"Oh, just friend ya. Terus ini apa?" Tanya Kak Ana seraya menunjuk jari manisku yang tersemat sebuah cincin dari akar pohon.

"Tenang aja, Vir, jodoh nggak kemana kok. Kalo akhirnya kalian sama seperti aku dan Adri, berarti doaku ngggak sia-sia selama ini, " Mendengar hal itu, aku hanya mendengus pelan meskipun pada akhirnya aku tersenyum untuk mengaminkannya.

***

Mobil yang dikendarai Kevin berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua di sebelah utara Kota Jakarta. Rumah yang dipenuhi dengan mural tersebut menarik perhatianku bahkan sejak pertama aku menatapnya dari balik jendela. Kevin mematikan mesin mobil lalu turun dan berjalan memutari depan mobil untuk membukakan pintu untukku. Di depan rumah tersebut berdiri sebuah papan berbahan besi yang bertuliskan Doué d'un Dieu.

"Ini rumah siapa?" Tanyaku penasaran. Dari luar, bisa kudengar dengan jelas suara anak-anak kecil yang sedang bermain di dalam.

"Nanti aku jelasin di dalam. Sekarang kita masuk ya?" Kevin mengamit lenganku pelan lalu membawaku masuk menyusuri jalan setapak yang menghubungkan ke pintu utama. Ketika aku membuka pintu utama, puluhan balon terbang di langit-langit ruang utama. Dinding-dinding dihias secantik mungkin dengan tulisan Adrian dan angka 3. Sepertinya akan diadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak.

Jingga Senja Dan Deru HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang