Chapter 6

52 5 0
                                    

"Sesaat dia datang. Pesona bagai pangeran. Dan beri kau harapan. Bualan cinta dimasa depan. Engkau lupakan aku semua usahaku. Semua pagi kita. Semua malam kita" - Sewindu, Tulus

• • •

Aku menyesap teh Earl Grey milikku dengan pelan sambil menatap orang-orang yang berlalu-lalang dibawah sana. London terlihat begitu cerah pagi ini. Meski terkadang gerimis kecil menghiasi, tetapi aku tak pernah bosan untuk berkeliling meski sekedar merasakan wangi khas dari musim semi yang menyejukkan masuk ke dalam rongga paru-paruku.

"Hari ini mau jalan kemana lagi?" Suara bariton itu terdengar. Aku menoleh, mendapati Daniel berdiri menjulang didepan pintu kamarku. Dia menatapku dengan kedua alis diangkat tinggi-tinggi.

"The Shakespeare's Globe Theater mungkin?" Aku bergumam pelan, membuat Daniel membulatkan matanya sejenak dan detik berikutnya ia tertawa keras sekali. Iya, tertawa keras sekali hingga ia memegangi perutnya yang sakit. Aku mengerutkan keningku dengan bingung.

"Apanya yang lucu?" Tanyaku tidak mengerti. Daniel masih memegangi perutnya dan kembali menatapku dengan tatapan heran.

"Sejak kapan seorang Kevin tertarik sama dunia sastra kayak Shakespreare? Kenapa sekarang lo jadi gila sastra. Seriously dude, ini bukan seorang Kevin banget." Ujarnya masih disela-sela sisa tawa. Aku menghembuskan napasku pelan dan kembali menatap keluar dinding kaca. Tahu-tahu Daniel sudah berdiri disampingku sambil bersedekap. Matanya menatap lurus gedung-gedung bergaya vintage yang berada didepannya.

"Kayaknya emang dia berpengaruh besar buat hidup lo ya? Buktinya bisa merubah seorang Kevin yang monoton dengan segala hal berbau kedokteran, jadi mencintai dunia sastra juga." Daniel menghembuskan napasnya pelan. Ia mengerti. Ia sangat mengerti kondisiku yang kacau ini.

"It's feel like every single things around you changes and you still stuck on her. How pathetic you are." Aku mengulum senyum seraya memainkan cangkir yang kupegang, menggoyangkan isinya yang tinggal separuh. Kata-kata Daniel berdengung dipikiranku.

How pathetic I am.

•••

Hari itu, menjadi hari terburuk untuk semuanya. Bukan hanya kamu, melainkan aku juga. Bahkan rasanya aku yang lebih menderita daripada kamu. Mendadak aku kehilangan seluruh fokusku detik itu juga. SMS singkat yang dikirim Kellin lima menit yang lalu mampu membuat otakku mendadak kosong.

Kellin :
Pulang jam berapa? Nyokap Vira meninggal. Gue lagi di Bekasi.

Ingin rasanya aku pergi dari kelas saat itu juga, menghampirimu secepat yang kubisa. Tapi aku bukan Edward Cullen yang bisa berlari cepat atau Elaine yang bisa menghilang begitu saja hanya dengan satu kedipan mata. Membayangkan kamu seperti mayat hidup saja membuatku bergidik ngeri.

Kamu baik-baik saja bukan?

Seseorang menyikut lenganku, membuatku kembali tersadar dari lamunanku. Aku menoleh, mendapati Ega menatapku dengan kening berkerut.

"Lo daritadi dipanggilin malah nggak nyaut." Aku tersenyum kecil seraya menatapnya. Ia memberitahuku bahwa seseorang sedang menungguku di meja piket. Alisku bertaut. Siapa?

Setelah izin kepada guru yang mengajar, aku berjalan cepat menuju meja piket yang berada di koridor utama. Lalu langkahku berhenti saat melihat Galih tengah bersedekap memunggungiku.

"Ada apa?" Tanyaku to the point. Galih berbalik, manik matanya menyorotkan kesedihan yang mendalam. Aku tertegun menatap Galih yang terlihat lebih manusiawi hari ini.

Jingga Senja Dan Deru HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang