Bab 3

3.1K 340 34
                                    

Lucia mengambil nafas sejenak di dalam sebuah gedung pencakar langit yang masih kokoh berdiri, meskipun dalamnya tampak berantakan yang disebabkan efek ledakan bom beberapa saat yang lalu. Hyena yang mengejar Lucia sedang berdiri di luar gedung. Mengendus di permukaan tanah seolah mencari jejak mangsa yang menghilang dari pandangan.

Sampai kapan aku harus terus berlari? Sampai kapan mahkluk sialan itu akan mengejarku?

Masih dalam keadaan setengah takut Lucia bertanya pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian Lucia memberanikan diri untuk mengintip keadaan di luar. Mata bulat hitam hyena itu menatap tajam ke arah gedung yang di tempati Lucia. Lucia merasakan ketakutan luar biasa saat menatap mata hyena hitam yang akan memangsanya. Sepasang mata hitam kelaparan itu kini bertemu dengan mata Lucia. Lucia sesaat membelalak seakan tak mampu untuk berkedip. Jantungnya semakin berdegub kencang. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuhnya.

Aku tidak boleh takut. Aku tidak takut. Aku tidak akan lari lagi. Aku di mangsa atau memangsa.

Lucia mulai mengumpulkan keberanian dirinya. Genggaman Lucia pada pedang perak di lengan kanannya semakin kokoh. Bagaikan pendekar wanita yang hendak bertarung.

Kini Lucia menampakkan dirinya pada hyena yang ada di luar gedung. Sepasang mata buas tersebut tampak puas melihat mangsanya yang seakan pasrah menemui ajalnya. Tak dapat dipungkiri, secara tak sadar jantung Lucia berdetak semakin keras, keringat dingin masih mengucur di lekuk wajahnya. Tangannya terasa dingin dan bergetar. Tapi Lucia berusaha mengatasi rasa takutnya dengan mengatur nafas dan memegang erat pada pedang tajam.

"Kamu menginginkan aku? Makan aku jika kau mampu!" kata Lucia yang mencoba mengajak hyena tersebut berbicara. Tapi hyena itu hanya menatap kosong ke arah mangsanya.

Seolah mendengar panggilan dari Lucia, hyena hitam itu kini bergerak maju. Terlihat air liur tanda kelaparan menetes melalui mulutnya yang menyerengai menampilkan barisan gigi khas karnivora-hewan pemakan daging dengan struktur gigi taring yang tajam.

Lucia mencoba menggunakan akalnya untuk mengalahkan hewan buas tersebut. Ia mengamati sekelilingnyaIa. Lalu, Lucia melihat sebongkah batu di dekat tempat ia berdiri. Batu bekas reruntuhan tembok gedung yang cukup keras dengan ukuran sebesar genggaman tangan Lucia. Batu yang cukup keras untuk memecah kepala musuh atau setidaknya menakut-nakuti musuh.

Dalam pikirannya Lucia ragu. Mungkin saja batu lemparannya hanya dianggap sebagai seperti angin lalu. Tapi, tidak ada salahnya untuk mencoba. Lucia mulai mengukur jaraknya dengan hewan buas itu. Berbagai probablilitas muncul dalam otak Lucia. Bahkan ia teringat pelajaran fisika yang diajarkan oleh pak An dre. Otak Lucia mulai memilah rumus demi rumus agar ia mendapatkan kekuatan maksimal lemparan dengan jarak enam meter dari hyena dan tempatnya berdiri.

Aku prediksikan kita berada di sudut 30 derajat. Aku ingin melakukan percobaan pembunuhan yang mungkin bisa memecah kepalanya dengan batu di tanganku dalam waktu sesingkat-singkatnya. Satu detik cukup. Hanya satu detik waktu maksimal. Tiga koma dua joule mungkin cukup untuk membuatmu meraung. Hah...! Lempar sekuat mungkin dengan tepat.

Lucia mulai berkonsentrasi dengan batu yang ada di tangannya. Satu lemparan cepat dalam satu detik melesat. Batu tersebut mendarat tepat di kepala hyena. Darah segar mulai keluar dari bekas lemparan. Hewan buas itu sempat mengalami hilang keseimbangan sesaat. Dengan tenaga seadanya hyena itu meraung keras dan berlari cepat untuk menerkam Lucia.Lucia tetap berusaha menjaga detak jantungnya agar tetap stabil. Tampaknya percuma saja karena hal tersebut tidak dapat di kendalikan dengan kesadaran. Namun, ada yang dapat dikendalikan dengan kesadaran. Lucia melirik ke arah pedang di lengan kanannya.

COSMOS: Simulation SurviveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang