-chapter 3-

1.8K 51 0
                                    

Waktu Mom bilang bahwa perjuangan terberat dalam hidup adalah melawan diri sendiri, I think she's right and I think I know now what was that all about. Aku sering mendapat petuah dari orang-orang bijak (yang kudapat dari google tentunya—yang itupun nggak sengaja ke-click) bahwa perang terbesar di dunia bukanlah World War I & World War II. Bukan juga perang Israel dan Palestina, maupun perang Korea Utara with the rest of the world. Perang paling besar adalah perang melawan diri sendiri. Perang melawan nafsu.

Aku sudah menyadari aku gay sejak aku kecil. Pada usia enam tahun, aku ngefans berat dengan Enrique Iglesias dan selalu stand-by di depan teve, menunggu video klip "Hero" ditayangkan di MTV. Bahkan, kalau dipikir-pikir, aku mirip Granny waktu itu. Aku bisa melompat dari lantai dua kalau Mom kebetulan mengganti channel dan lagu Hero muncul.

Yang aku suka dari Enrique Iglesias of course bukan lagunya—tapi orangnya. Buatku dia seksi. Dan kalau ada liputan di teve yang menayangkan Enrique shirtless (at least menunjukkan lengannya deh) aku bisa merinding geli dan pergi ke kamar, memeluk guling, lalu membayangkan yang bukan-bukan.

Dan berhubung internet sudah ada saat itu, (di tengah krisis curiosity tentang "kenapa aku seneng lihat cowok telanjang?") akhirnya aku menyadari bahwa aku ini gay.

Masa-masa gay-ku nggak begitu dominan. Mungkin aku bukan tipe-tipe yang sex-addict. Aku lebih senang menghabiskan waktuku dengan melakukan beragam hobi dan agak-agak nerd soal dapetin cowok. Hanya saja, akhir-akhir ini, saat jerawat kadang muncul dan semua rambut-rambut di tubuhku sudah tumbuh, aku mulai tertarik lagi pada makhluk bernama "cowok". Aku mulai hobi membuka filestube untuk mencari video porno dan sering mondar-mandir di manjam meskipun aku nggak pernah ketemuan. Aku chat dengan banyak gay around the world dan pernah satu kali sex-cam dengan orang India. But that's it, my gay journey nggak pernah bertualang lebih jauh dari itu—meski aku ingin.

Semuanya keburu ditutup sama kematian Mom and Dad yang 100% mengalihkan perhatianku. Bahkan saat aku memutuskan pindah ke Indonesia, aku bertekad bahwa aku bakal berhenti jadi gay—even though I have no idea how to stop it. Aku bertekad akan menyelesaikan studiku, melupakan tetek bengek cinta monyet dan menjadi orang sukses di Indonesia.

Sayangnya, itu bukan perkara mudah.

Malam kedua aku ada di Indonesia, seorang cowok manis benar-benar menggoda imanku. Dia tidur bertelanjang dada—bukan, dia tidur nyaris telanjang, hanya ditutupi celana dalam saja, dan aku sudah "suka" dia dari hari pertama. Beban banget, kan?

Malam itu, seperti dugaanku, aku diserang insomnia. Apa yang dinyanyikan Craig David 100% bullshit. I can't sleep till you're next to me benar-benar kebalikan dari yang aku alami. Aku justru insomnia because you're sleeping next to me!

Aku dapat mencium aroma tubuhnya yang hangat sepanjang malam. Jenis-jenis aroma tubuh yang dapat membuat little jack manapun berdiri tegak. Setiap kulitku tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya, badanku langsung merinding geli. Mirip saat pertama kali aku nonton video porno. Perutku mulas kegirangan dan makin dilawan makin ingin aku memeluknya.

Aku bolak balik membelakanginya beberapa kali, tapi kemudian terpaksa berbalik lagi dan "aroused" lagi. Untung saja Tuhan masih sayang padaku. Entah jam berapa, mungkin lewat tengah malam atau mendekati subuh, aku akhirnya tertidur pulas dan nggak memimpikan apapun. Sama sekali. Tahu-tahu aku terbangun, tirai terbuka, sinar mentari masuk ke dalam, dan Bang Dicky udah nggak ada di sampingku.

-XxX-

"Sekarang jam berapa, Granny?" Aku berjalan terseok-seok ke ruang tengah, sebagian besar nyawaku masih melayang-layang dan bahkan morning erection-ku belum berakhir. Aku mengucek-ngucek mata dan menemukan rambutku acak-acakan di depan cermin ruang tengah (yang memiliki frames paling indah yang pernah kulihat).

KADANG CUPID TUH TOLOL (KCTT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang