-chapter 9- (3) by MarioBastian

1.9K 87 1
                                    

"Aku... tadi... barusan ada..." Dengan bingung aku mencoba menjelaskan situasiku. Sayangnya ada dua pendapat berbeda di benakku. Haruskah aku mengatakannya pada Zaki atau aku diam saja karena bisa jadi itu hanya penampakan tak berarti atau paling parah adalah halusinasiku.

Kalau memang hantu itu ada, dan bersembunyi di bawah ranjangku selama ini, kedengarannya mengerikan. Tapi tinggal di rumah ini sih mesti siap sama hal-hal tak masuk akal macam begitu. I mean, siapa yang bisa menjelaskan tentang Pak Darmo? Berkali-kali aku bertanya, aku hanya mendapat jawaban seadanya saja. Aku memang akhirnya tahu sedikit sejarah tentang hantu itu. Tapi orang-orang di sini memberikan kesan seolah "Pokoknya jauhin hantu itu dan jangan banyak tanya lagi".

Nah, bisa jadi dua hantu anak kecil itupun nggak ada bedanya dengan Pak Darmo. Bisa jadi aku mestinya diam saja, jangan banyak tanya. Dan mungkin menunggu "waktu yang tepat" seperti kata Granny, which might be in the next million years. Atau aku bisa menanyakannya, nothing to lose, paling-paling mereka akan membual lagi, mencari-cari alasan kesana kemari dan akhirnya aku nggak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Sebenernya tadi aku—"
"Besok pulang sekolah saya yang jemput ya Bos!" potong Zaki tiba-tiba sambil kembali merapikan untaian-untaian hair extension di atas meja. Dia juga nyengir malu-malu. "Kebetulan saya lagi libur."
"Oh..."
"Mau bandrek lagi?"

-XxX-

Sudah dua puluh menit aku bertengger di kedai sushi, beberapa meter dari sekolah. Tapi sudah dua jam sejak bel pulang dikumandangkan. Aku melirik lagi jam di ponselku dan geleng-geleng kepala. Kalau tau begini kan aku bisa naik angkot saja.

Aku menangkupkan tanganku di atas meja, memainkan Salmon Maki terakhirku yang tidak dimakan karena perutku eneg. Pesan apa lagi nih sambil nungguin? Apa ya sushi yang gampang dibikin? Ada di mana Zaki sekarang? Katanya dia mau menjemputku. Satu jam lalu dia bilang dia sudah "by the way" (instead of on the way) tapi sampai sekarang idung bangirnya yang menggemaskan itu belum nongol juga.

Oke. Mungkin aku pesan Kappa Maki saja. Yang itu gampang banget dibikin, kan? Lagipula mentimun rasanya segar. Itung-itung bikin perutku nggak eneg—oh, sial. Ada segelintir Mahobia sialan baru keluar dari gerbang sekolah.

Bukannya aku takut atau apa, ya. Aku hanya sedang menghindari mereka saja. Menghindari konfrontasi nggak penting yang menghabiskan tenaga. Jangan anggap aku pengecut dan nggak bisa berdiri sendiri. Tapi lebih baik menjaga bumi ini tetap damai, betul? Tenang tanpa ada perselisihan antar murid SMA. Mungkin aku akan membayar semua pesananku sekarang saja, melupakan Kappa Maki, dan buru-buru pergi dari sini. Berjalan santai kok, bukan berlari seperti yang barusan sempat terlintas di benakku. Dan mungkin sekali-sekali aku mau mencoba berjalan melewati gang-gang kecil itu, bukan berarti aku mencari jalan tikus dan bersembunyi. Aku cuma... yah, jalan-jalan sore aja.

Tapi ketika aku sedang membayar pesananku, anak-anak Mahobia itu sudah dekat dengan kedai sushi. Sial. Kenapa mereka nggak naik mobil, sih? Biasanya kan mereka ke CIS naik mobil mewah!

Kalau begini, aku bisa ketahuan sewaktu keluar dari kedai. Hanya ada tiga orang, tapi leader mereka, si Fucking Derry, ada di antara tiga orang itu. Mereka terbahak-bahak sambil bercerita sesuatu, mungkin tentang anak homo di CIS yang ketahuan ngondek atau apa gitu padahal dia sudah menyembunyikannya dengan rapi.

"Bukan, Anjing! Si Ontohod mah nggak pernah pake kolor! Lo liat ga pas pelajaran renang kemaren? Hahahaha..." Gelak tawa Derry terdengar makin jelas.
Astaga, memangnya mereka sudah dekat, ya? Secepat apa sih mereka berjalan dari gerbang sekolah ke kedai sushi ini? Dan kenapa si petugas kedai ini lama amat ngasih kembalian?!

"Nggak ada uang kecil ya, Mas? Bentar ya, saya tuker dulu."

For God's sake, hanya tiga belas ribu rupiah saja susah amat ngasihnya!

KADANG CUPID TUH TOLOL (KCTT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang