15 - Caffè Mocha?

218 14 0
                                    

-Alena POV-

Malam ini hujan turun dikota Paris. Indah bukan? Dinginnya menyelimuti tubuhku. Lucunya aku merasa kau sedang memeluk ku hangat.

Aku tidak bisa kembali ke Indonesia untuk menemui mu. Aku masih disini dengan semua luka dan ketakutan. Sudah 6 tahun aku melarikan diri tapi bayanganmu selalu muncul.

Entah berapa banyak obat yang aku telan untuk menghilangkan depresiku. Aku pikir aku gila. Bayangamu selalu saja tergambar jelas. Aku menutup mata tertidur.

*****

Pagi ini Paris begitu cerah. Aku berkerja di butik Melody teman ku yang berasal dari Indonesia. Ayah Melody meninggal saat umurnya 14 tahun sejak itu ia dan ibunya memutuskan pergi dari Indonesia dan tinggal diParis. Kami kuliah ditempat dengan jurusan yang sama. Setelah selesai kuliah Melody membuka butik dan aku bekerja disana sebagai desainer.

"Melody lihat ini?" aku menunjukkan beberapa desain.

"Iya, kita bisa menjual ini. Jadi cepat selesaikan oke?" ucap Melody penuh semangat.

Senja mulai menghiasi langit di kota Paris.

"Len?"

"Iya?"

"Gue ingin lo temui seseorang."

"Siapa?" tanpa basa basi Melody nenarik tangaku dan membawaku ke kedai kopi.

Kami memesan 2 Latte green tea dan caffè mocha.

"Untuk siapa caffè mocha?" tanyaku pada Melody.

"Lo akan tau nanti. Ah itu dia! Daffi?" Melody melambaikan tangannya kepada seseorang yang tidak asing.

"Masa lalu itu? Kenapa dia hadir kembali? Apakah dia hadir untuk mengingatkan luka itu? Mengingatkan? Haha lucu bahkan luka ini belum sembuh!" batinku.

"Melody gue harus pulang!"

"Len lo harus bicara sama Daffi!"

"Gue nggak bisa!"

"Len!!" Melody sedikit menaikan nada suaranya.

"Hai?" sapa Daffi kepada kami.

"Daff.. Ini Alena.Len ini Daffi."

"Gue harus pergi!" ucapku.

"Bisa bicara sebentar?" Daffi menatap mataku begitu dalam.

"Baiklah gue akan pergi." ucap Melody yang berjalan menjauh dari kedai.

Daffi mulai berbicara.

"Gue minta maaf buat 6 tahun lalu?"

"Lo nggak salah kok!" ucapku acuh.

"Tapi kenapa lo selalu menghindar?"

"Menghindar? Hahaha lucu. Gue nggak pernah menghindar!"

"Baiklah. Tapi lo maafin gue yaa?"

Suasana begitu hening. Air mata ku tidak sanggup lagi tertahan dan mulai menetes.

"Kenapa lo lakuin itu?"

"Lakuin apa?"

"6 tahun lalu."

"Daffa sudah menjelaskan bukan?"

"Maksud gue kenapa lo mau?" Nadaku sedikit meninggi karena emosi.

Daffi mulai mengingat ingat kejadian masa lalunya "Dulu gue suka berlari mengelilingi lapangan. Gue berlari setiap pagi sampai suatu hari gue jatuh karena tersandung sebuah batu. Daffa cepat cepat berlari lalu dia mengatakan "Kau bukan laki laki bila menangis!" dia menggendongku sampai kerumah sakit. Sepanjangan jalan Daffa bernyanyi untukku. Suaranya bagaikan kekuatan. Lo tau kenapa gue cerita ini?"

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Hari itu sebelum kalian wisuda. Daffa menelfonku. Ia mengatakan semuanya dan matanya berkaca kaca menahan air mata. Seumur hidup gue nggak pernah lihat Daffa nangis. Hari itu Daffa terlihat lemah sekali dan dia menangis. Gue nggak bisa apa apa selain ngebantuin dia. Gue tau ini salah tapi.." Daffi menghentikan pembicaraannya dan menatapku "Di satu sisi gue terlalu serakah sampai akhirnya gue sendiri mulai suka sama lo Len!" sambungnya.

Jantungku berdebar hebat. Aku pikir pipiku memerah karena malu. Tapi di sisi lain aku marah. Aku hanya mematungkan diri menatapnya.

"Apakah dia hantu di musim panas?" batinku.

"Gue harus pergi." ucapku perlahan bangkit dari kursi.

"Apa lo udah maafin gue?"

"Yah!!"

Aku berlari kecil meninggalkan dia.

*****

The Last SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang