16.Dinner (Part 2)

105 13 1
                                    

*Mila's POV*

Aku mendengar suara bel berdering dan seketika ingat dengan pizza yang tadi kupesan.

Aku bergegas menuruni tangga-berpikir bahwa yang membunyikan bel adalah si pengantar pizza.

Namun dugaanku salah.

Saat aku sampai di ujung tangga, aku melihatnya. Dia yang kumaksud adalah Harry.

Dia berdiri di ambang pintu. Tersenyum, dibalut pakaian formalnya. Pemandangan itu hampir sempurna-

Sampai aku melihat Lily berdiri di  sana.Ia mengenakan gaun merah kesayangannya.

Mereka berdua tersenyum, selagi saling bertatap wajah.Keadaan itu sudah cukup menyakitkan bagiku, hingga aku melihat mereka-berpegangan tangan.

Dan sedetik kemudian aku dapat merasakan air mata mengalir di pipiku. Aku berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarku.

Sialan, kenapa harus Lily, kakakku sendiri?

Aku berlari masuk kembali ke kamar. Menghamburkan wajahku ke bantal, yang sebenarnya lebih untuk meredam suara tangisku.

Aku menyesali kebodohanku.

"Dasar idiot", rutukku dalam hati mengatai diriku sendiri.

I already love him, tenderly, totally, tragically. And sadly I can't neither stop nor control the feeling.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*Harry's POV*

Setelah memastikan penampilanku dari kaca mobil, aku dengan percaya diri membunyikan bel di kediaman keluarga Collins ini.

Tepat malam ini, aku akan mengajak Lily untuk makan malam berdua di salah satu restoran.

Dan akhirnya gadis itu pun membukakan pintu rumahnya untukku. Ia terlihat begitu cantik dalam gaun merahnya.

Ia tersenyum. Begitupun denganku. Dan tanpa ragu aku menggenggam tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam mobil.

Aku begitu senang saat itu. Aku tak tau, kalau aku baru saja merusak sebuah hati.

Pun aku tak tau, kalau akan ada lebih banyak lagi hati yang tersakiti malam ini.

Aku tak tau

----------------

*Lily's POV*

Harry kelihatannya tidak suka dengan lagu yang diputar radio.

Aku dapat melihatnya terus sibuk mengganti siaran radio sambil tetap berusaha memperhatikan jalanan.

Seandainya aku dan Harry masih kami yang dulu, mungkin aku akan tertawa dan berkomentar tentang betapa lucu ekspresi kesalnya.

Seandainya aku dan Harry masih kami yang dulu, mungkin aku akan berebut memencet tombol radio, memilih siaran yang kusuka.

Seandainya aku dan Harry masih kami yang dulu, mungkin aku telah sibuk memainkan rambut ikalnya-membuatnya tersenyum hingga nampak lesung pipitnya.

Seandainya aku dan Harry masih kami yang dulu, aku tak akan membiarkan suasananya menjadi secanggung ini.

Sekarang ini, kami sudah tidak seperti dulu lagi. Kisah kami yang dulu sempurna, hanya tinggal cerita.

Kalau dulu perjalanan seperti ini akan diwarnai dengan canda tawa kami,

maka kali ini yang ada hanya ketidaknyamanan oleh atmosfer canggung yang meliputi kami.

Sementara Harry masih sibuk dengan radio, aku hanya diam memperhatikannya.

The Black ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang