17.Last Kiss

136 17 0
                                    

*Lily's POV*

Aku turun dari mobil seiring Harry membukakan pintu mobilnya untukku. Lantas aku berjalan hingga pintu depan rumahku.

Saat aku hendak menunggu untuk melambaikan tanganku selagi mobil milik Harry pergi, laki-laki berambut ikal itu justru tidak masuk ke mobilnya.

Ia melangkah mendekatiku, hingga akhirnya berhenti beberapa langkah tepat di depanku.

Suasana hening sesaat karena tak satupun diantara kami yang membuka mulut untuk berbicara.

"Terimakasih", ucapku akhirnya, gugup. "Untuk makan malamnya yang menyenangkan"

Suasana kembali menjadi hening sesaat hingga akhirnya suara tawa kecil Harry terdengar.

Itu bukan jenis tawa yang kau lakukan saat seseorang memberitahumu lelucon lucu.

Itu jenis tawa yang kau lakukan saat seseorang memberitahumu sebuah kebohongan sementara kamu tau kebenanrannya.

Ya, tentu saja. Kami berdua sama-sama tau bahwa makan malam tadi tidak benar-benar menyenangkan.

"Omong-omong, tentang perasaanmu dengan Niall.."

Aku semakin gugup mendengar kata-katanya. Aku takut perasaanku pada Niall akan merusak persahabatan mereka.

"Apa kau marah?"

Harry tersenyum, menggeleng.

"Aku mulai berpikir untuk merelakanmu saja. Lagipula, aku percaya Niall akan menjagamu dengan baik. Tapi...", ia lagi-lagi memotong ucapannya.

"Tapi apa?"

"Aku punya satu permintaan untukmu", katanya seraya melangkah semakin dekat ke arahku.

Kini jarak antara wajahku dan wajahnya hanya beberapa sentimeter.

"Beri aku sebuah ciuman terakhir", ucapnya pelan. Sebelah tangannya telah menyentuh pipiku.

"Ciuman yang akan membuatku rela untuk melepaskanmu", dan setelah mengucapkan kalimat itu—tanpa menunggu persetujuanku,

bibirnya menyentuh bibirku, kemudian mendorong semakin dalam.

Merengkuhku masuk ke dalam sebuah ciuman penuh hasrat, dan juga siratan cintanya.

Dan ditengah ciuman itu, aku bertanya-tanya apakah ciuman ini benar-benar akan menjadi yang terakhir.

*Mila's POV*

Aku melihat semuanya. Ciuman itu—ya, aku melihatnya.

Dari balik jendela kamarku, dimana dibaliknya terdapat gelap langit malam dengan gugusan bintang menggantung di atasnya.

Yang kemudian kusadari telah menjadi saksi bisu kesedihanku.

Lagi, aku menepis kasar air mata yang mengalir di pipiku. Dengan tangan gemetar aku mengambil telepon genggamku.

Aku menekan layar telepon untuk menghubungi seseorang.

"Halo", ucapku begitu panggilannya sudah tersambung. Dengan suara mengantuk gadis di seberang telepon bertanya ada apa.

"Boleh aku menginap semalam, atau mungkin dua malam di rumahmu?"

Aku berkata sebuah kata 'baiklah' sebelum memutuskan panggilan begitu mendengar orang yang kutelepon mengiyakan permintaanku.

Aku mengemas beberapa pakaian ke dalam ransel dan menulis sebuah pesan untuk Lily.

Aku tau mereka masih berada di depan rumah. Jadi aku tak ingin mereka melihatku.

The Black ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang