21.Gone (Part 2)

52 10 5
                                    

*Ariana's POV*

Hal yang pertama kali kulihat saat aku membuka mataku adalah langit keunguan dihadapanku yang menandakan bahwa hari sudah sore. Aku mendapati diriku tengah duduk di sebuah bangku. Bangku yang sama seperti yang kududuki bersama Lily kemarin.

Hanya saja kali ini bangku kayu tersebut nampak lebih mengkilat. Tak hanya itu, ornamen keemasan di pinggirannya pun nampak lebih bersinar.

Suara burung kini terdengar lebih merdu dan riang, angin hangat juga tak lagi malu-malu menerpa wajahku lembut.

Aku menyentuh kain piyama yang kupakai, dan terasa lembut sekali, tak selembut saat semalam aku menyentuhnya.

Semuanya terasa begitu damai dan menyenangkan, hingga aku pun berpikir, apakah ini mimpi? Dan jika jawabannya iya, jujur saja, aku tak ingin bangun.

Menoleh ke samping, aku akhirnya tersadar bahwa aku tak sendiri. Lily duduk di sebelahku, tersenyum dalam balutan piyama tidurnya.

Lantas aku pun ingat segalanya. Kalau seseorang yang ada dalam kantung mayat itu adalah Lily, ia tak seharusnya berada di sini, duduk di sebelahku, nampak baik-baik saja.

Aku masih begitu kebingungan saat Lily berkata "Ariana, apa kau pernah merasa takut dengan kematian?"

Aku menoleh kearahnya. Kupikir seharusnya aku merasa takut. Namun saat aku melihat kedalam matanya, hanya kehangatan yang kutemukan. Dan dapat kurasakan keraguanku hilang.

Mungkin aku memang tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, mungkin aku memang masih bingung dengan semuanya.

Tapi sungguh, kurasa aku tak perlu terlalu terburu-buru untuk mencari tau. Karena untuk sekarang ini, menikmati ketenangan dan kehangatan di tempat sedamai ini, adalah apa yang benar-benar apa yang kubutuhkan.

"Sebenarnya aku tak pernah benar-benar memikirkan hal semacam itu. Namun berhubung kau bertanya, ya. Kupikir, ya, aku takut dengan kematian", jawabku akhirnya.

"Apa yang kau takutkan?"

"Banyak"

"Misalnya?"

Aku menghembuskan nafasku sebelum menjawab, "Aku takut. Takut mengetahui hal apa yang pada akhirnya akan merenggut nyawaku, aku takut mengetahui seberapa banyak rasa sakit yang dihabiskan untuk proses kematian itu sendiri. Aku takut"

Kemudian suasana pun hening dan tak ada yang berbicara.

"Bagaimana denganmu? Apa kau juga takut?", tanyaku pada Lily yang kini tengah memandangi entah apa nun jauh di sana.

"Dulu iya. Tapi sekarang kurasa ada yang lebih kutakutkan", jawabnya, memandangku tepat di mata.

Aku terdiam. Dan ia pun melanjutkan.

"Aku tau, saat detak jantungku tak lagi terdengar dan nafasku tak lagi berhembus, bumi akan tetap berputar, dan waktu akan tetap berjalan, seakan tak ada suatu kehidupan yang baru saja hilang. Namun aku tetap saja takut untuk mengakui. Bahwa cepat atau lambat, ketika aku tak lagi menapakkan kakiku di dunia ini, orang-orang akan melupakanku. Dan memori-memori tentangku akan ikut terkubur bersama dengan ragaku", ucapnya sedih, diiringi dengan isakan pelan yang keluar dari mulutnya.

"Siapa bilang?"

Ia mengusap air matanya dan menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.

Aku pun menyambung kata-kataku barusan. "Tentu saja tak akan ada yang melupakanmu. Aku, Harry, Niall, Mila, kami semua tak akan melupakanmu"

"Sungguh?"

Aku mengangguk.

"Lagipula, apa yang kau bicarakan? Kenapa pula kami harus melupakanmu saat kau masih berada disini bersama kami. Kau kan tidak akan pergi kemana-mana"

The Black ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang