Pengunjung kedai siang itu membludak. Meja-meja di teras belakang yang berada tepat di tepi sungai Melaka terisi penuh dan para pegawai terus berlalu lalang menyajikan makanan untuk pengunjung. Theo menghitung berapa banyak perahu yang sudah melintasi sungai Melaka sejak siang hari, menyusuri sungai, melewati bagian belakang kedainya dan kincir air, juga bangunan-bangunan dengan lukisan dinding beraneka warna dan bentuk. Bila malam hari telah tiba, lampu-lampu kuning di sepanjang pesisir sungai akan dinyalakan dan menambah kesan romantis. Dan jumlah turis yang mengantri untuk menaiki perahu dan mengikuti tur keliling sungai Melaka akan semakin bertambah banyak.
"Sudah selesai?" Ibunya datang dan mengambil mangkuk besar berisi bulatan-bulatan nasi kepal dari atas meja yang dikerjakan Theo sejak pagi. Kemudian, ia mengeluarkan selembar foto dari kantung celemek dan memberikannya pada laki-laki itu. "Ini. Simpanlah baik-baik supaya kau tidak melupakan wajahnya."
Theo melepaskan sarung tangan plastik yang lengket karena butir-butir nasi dan menerima foto tersebut, mengamatinya sambil berjongkok di dekat anak tangga menuju teras belakang.
Anak laki-laki dalam foto itu kelihatan baik dan dewasa, meski ibunya bilang mereka hanya berbeda usia lima tahun. Senyumnya tipis, dan matanya seolah-olah juga ikut tersenyum. Theo menyukai gaya anak laki-laki itu. Rambut cokelat gelapnya keren dan garis wajahnya yang tegas juga membuatnya terkagum-kagum. Sifatnya mungkin tegas-agak keras bila dilihat dari bentuk matanya, tetapi pancaran auranya juga mengatakan laki-laki itu berhati lembut. Bila mereka satu sekolah, anak laki-laki itu pasti bergabung dalam klub basket atau klub band musik, lalu menjadi idola semua tingkat, tidak peduli senior maupun junior. Tidak mengherankan memang. Perempuan suka tipe laki-laki seperti itu. Justru yang membingungkan, kenapa ibunya tiba-tiba memberikan foto itu kepadanya? Tidak ada hujan, tidak ada angin, ibunya berkata suatu saat nanti ia harus menemui laki-laki di dalam foto itu tanpa alasan yang pasti.
Theo mendekatkan selembar foto itu ke wajahnya. Asing. Ia tidak mengenal laki-laki itu meski memaksa benaknya untuk mengingat-ingat. Ia menoleh kepada ibunya. "Ma, memangnya dia siapa?"
"Alex Cheung," jawab ibunya sambil memotong-motong ayam yang sudah dipanggang menjadi bagian yang tipis. Ia menaruh beberapa potong daging ayam di samping bulatan nasi, memberi sedikit acar timun dan mengoper piring itu kepada pegawai yang sudah menunggu di dekat pintu dapur.
Alex Cheung. Theo sudah tahu. Nama itu tertulis di sudut kanan bawah foto, dan ia juga mendengar nama itu disebutkan dalam setiap cerita ibunya.
"Bukan namanya," kata Theo lagi. "Maksudku, siapa dia?"
"Anak laki-laki dari keluarga tempat Ibu bekerja di Singapura dulu, waktu kau masih kecil. Ibu sudah cerita, kan?"
"Aku tidak ingat dia," kata Theo.
"Tentu saja. Umurmu masih delapan tahun,"sahut ibunya. Masih berdiri memunggungi Theo dengan tangan yang terus bergerak di atas papan potong. "Sebetulnya, kau pasti mengingatnya sedikit. Kalian pernah bermain sama-sama, kok. Lumayan sering malah."
"Sungguh?"
"Sungguh."
"Apa kami akrab?"
Ibunya berhenti sebentar, seakan tengah mengingat-ingat. "Kau suka membuntuti Alex, mengikuti dia ke mana saja setiap kali dia datang dan main ke rumah kita, seperti anak ayam mengikuti induknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Comes Along [G| Completed]
General FictionTheo Lee tidak memiliki banyak ingatan di masa kecil. Ketika ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, meninggal, Theo harus pergi ke Singapura untuk menemui seorang laki-laki bernama Alex Cheung sebagai permintaan terakhir dari ibunya. Alex Che...